HomeNalar PolitikTidak Mungkin Jokowi Tidak Berbohong?

Tidak Mungkin Jokowi Tidak Berbohong?

Di era keterbukaan informasi saat ini, sekiranya begitu sulit untuk membuat propaganda atau melakukan noble lie tanpa mendapat kritik dari masyarakat. Lantas, untuk menciptakan trust dan demi efisiennya transaksi sosial-politik, haruskah pemerintahan Jokowi mengedepankan kejujuran atau meninggalkan noble lie?


PinterPolitik.com

“The truth sounds good in theory, especially if it’s truth with which we agree or that positions us in a favorable light. It’s when we hear truth that isn’t so pleasant that we start to resist.” – Mark Murphy, dalam Cognitive Dissonance Helps Explain Why We Hate To Hear The Truth

Tulisan ini adalah seri lanjutan dari artikel PinterPolitik.com sebelumnya, Noble Lie, Jokowi Pasti Berbohong?. Terkait lie atau kebohongan yang kerap menjadi preseden atas ketidakpercayaan, menarik untuk melihat tulisan terbaru Francis Fukuyama di American Purpose yang berjudul Infrastructure, Governance, and Trust.

Seperti judulnya, tulisan itu membahas mengenai trust atau kepercayaan terhadap pemerintah. Mengutip Ethan Zuckerman dalam bukunya Mistrust: Why Losing Faith in Institutions Provides the Tools to Transform Them Hardcover, Fukuyama menyebut tingkat kepercayaan pada pemerintah telah menurun hampir di semua tempat di dunia, tidak hanya dalam beberapa tahun terakhir, melainkan dalam beberapa dekade terakhir.

Menariknya, Fukuyama menyinggung pendidikan yang telah mengalami kemajuan pesat dibanding 50 tahun yang lalu sebagai salah satu faktornya. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, masyarakat akan cenderung berpikir lebih kritis dan tidak mudah percaya terhadap informasi yang disodorkan oleh kekuasaan.

Alhasil, sikap kritis tersebut berkorelasi pada meningkatnya ketidakpercayaan (distrust) terhadap pemerintah. Di sisi lain, seperti yang disebutkan Fukuyama, konteks ini sebenarnya dapat dimaknai positif. Ini menunjukkan masyarakat memiliki akses yang lebih banyak terhadap informasi. Ledakan internet juga telah memicu tuntutan atas transparansi.

Baca Juga: Menanti Jokowi Ubah Paradigma Infrastruktur

Namun, bukan persoalan akses informasi yang menurut Fukuyama menjadi faktor terbesar meningkatnya ketidakpercayaan, melainkan karena semakin meningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap negara.

Tidak hanya soal kemampuan negara dalam menunjukkan prestasi, melainkan juga karena adanya peningkatan ekspektasi keterlibatan. Menurut Fukuyama, di tengah demokrasi modern saat ini, masyarakat tidak hanya menuntut partisipasi di pemilu, melainkan juga partisipasi dalam penentuan kebijakan publik, seperti penentuan anggaran dan menyumbangkan ide.

Konteks itu yang membuat Fukuyama memberi contoh pembangunan infrastruktur. Pembangunan terminal dan jalur kereta api cepat di Stuttgart, Jerman dan pembangunan smart city di tepi laut Toronto, Kanada telah menimbulkan protes karena publik merasa tidak dilibatkan.

Menarik konteksnya pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang terlihat ingin meninggalkan legacy (warisan) pembangunan infrastruktur, apakah noble lie atau kejujuran yang harus dipilih sebagai respons atas masalah distrust yang disebutkan oleh Fukuyama?

Kebohongan Lebih Disukai?

Persis seperti yang dibahas Fukuyama, persoalan distrust jelas terlihat di pemerintahan Jokowi, khususnya di berbagai proyek infrastruktur. Pada proyek Ibu Kota Negara (IKN), misalnya, desain Istana Negara yang dibuat oleh pematung I Nyoman Nuarta memantik reaksi minor.

Baca juga :  Luhut ke Mana?

Nyoman yang bukan arsitek telah memantik kritik, khususnya dari asosiasi profesional arsitektur. Desain “Garuda” Nyoman dinilai tidak menunjukkan konsep forest city atau kota berwawasan lingkungan yang mencirikan pembangunan rendah karbon.

Ada pula kekhawatiran desain Nyoman dapat meningkatkan anggaran karena proyeknya sebelumnya, seperti Patung Garuda Wisnu Kencana di Bali, bahkan menghabiskan biaya sebesar Rp 1,4 triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dari biaya pembangunan patung Liberty (sekitar Rp 157 miliar) dan menara Eiffel (sekitar Rp 556 miliar).

Baca Juga: Istana Negara sebagai Legasi Pancasilais Jokowi?

Terkait keganjilan penunjukan Nyoman yang bukan arsitek untuk mendesain Istana Negara, berbagai analisis mencuat. Salah satunya adalah sebagai upaya Presiden Jokowi untuk meninggalkan legacy politik. Ini bertolak atas desain burung Garuda yang besar dan megah yang dapat memantik reaksi takjub bagi yang melihatnya. Ini disebut sebagai hard legacy.

Jika analisis tersebut benar, pertanyaannya, mungkinkah Presiden Jokowi akan jujur? Mungkinkah ia akan berterus terang mengatakan, “proyek IKN adalah usaha saya dalam meninggalkan legacy agar saya tetap dikenang oleh masyarakat?”. Sulit membayangkan itu dilakukan.

Kejujuran itu jelas akan memantik reaksi minor yang jauh lebih masif. Hal tersebut dapat kita amati pada kasus pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Pada Sabtu, 1 Mei, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini meminta masyarakat tidak sepenuhnya kecewa kepada pemerintahan yang masih koruptif dan oligarki karena kemajuan yang telah dicapai juga tidak boleh dilupakan.

Mahfud MD mencontohkan angka kemiskinan yang mengalami penurunan. Dari 11,7 persen pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menjadi 9,1 persen di pemerintahan Jokowi. Di tengah pandemi Covid-19, angkanya naik sedikit menjadi 9,7 persen.

Kendati pernyataan tersebut tidak salah karena kenyataannya memang demikian, kritik justru berdatangan. Berbagai pihak menilai pernyataan Mahfud janggal. Deputi Balitbang DPP Partai Demokrat Yan Harahap, misalnya, menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk pengakuan bahwa pemerintahan Jokowi memang koruptif.

Kritik Yan Harahap tentu tidak salah. Tapi pertanyaannya, pemerintahan mana yang tidak korup? Apakah di bawah kepemimpinan Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan SBY tidak terjadi kasus korupsi yang masif? Kita semua mengetahui jawabannya.

Baca Juga: Justifikasi Korupsi ala Mahfud MD?

Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 juga menyoroti masalah ini. Menurutnya, reformasi yang membawa otonomi daerah di Indonesia justru telah berkonsekuensi pada terjadinya korupsi di semua tingkatan eselon.

Kritik atas pernyataan Mahfud tersebut dapat dipahami melalui tulisan Mark Murphy yang berjudul Cognitive Dissonance Helps Explain Why We Hate To Hear The Truth. Menurutnya, kita memiliki tendensi psikologis untuk membenci mendengar kebenaran, terutama jika itu melibatkan hal yang kita percayai.

Baca juga :  Jokowi Tak Bisa Sapu Kemiskinan Ini Alasannya Menurut Peraih Nobel!

Murphy menjelaskan tendensi tersebut melalui teori cognitive dissonance atau disonansi kognitif. Ini adalah keadaan ketika seseorang memegang dua keyakinan, sikap, atau pendapat yang tidak konsisten dan menciptakan ketegangan mental yang tidak menyenangkan.

Ketidaknyamanan tersebut kemudian melahirkan perubahan pandangan salah satu keyakinan untuk memulihkan kondisi mental. Demi kepentingan itu, tentunya keyakinan yang mengganjal yang akan diubah atau dinegasikan. Disonansi kognitif kemudian melahirkan fenomena selected reading, di mana kita memilih sesuatu yang hanya kita sukai.

Noble Lie Tak Terhindarkan?

Nah, pada kasus Mahfud, sekiranya pernyataan tersebut adalah rahasia umum. Kita semua mengetahuinya. Akan tetapi, banyak dari kita hanya ingin mendengar kondisi ideal, yakni pemerintahan yang tidak koruptif dan oligarki. Pertanyaannya, seberapa banyak dari kita yang secara objektif menilai keadaan?

Pertanyaan itu juga disinggung oleh David Shaw dalam tulisannya Plato’s “Noble Lie” and the Management of Corporate Culture. Menurutnya, karena sebagian besar masyarakat tidak mampu memahami kebenaran secara proporsional, para “pengatur keadaan ideal” mendapat wewenang untuk memberikan masyarakat “cerita” agar tercipta harmoni sosial.

Dalam ilmu komunikasi, persoalan ini kerap disebut sebagai manajemen isu. Untuk mencegah kristalisasi masalah, di mana itu dapat melahirkan dampak destruktif yang besar, perhatian masyarakat perlu dialihkan dengan disodorkan isu baru.

Dalam perdebatan etika, afirmasi atas noble lie dapat kita lihat dalam kritik terhadap teori etika deontologis Immanuel Kant. Teori etika Kant disebut sebagai ethics of duty atau etika kewajiban karena tidak menitikberatkan penilaian etis pada konsekuensi. Kontras dengan utilitarianisme.

Persoalan berbohong, misalnya. Itu tidak boleh dilakukan bukan karena akan mendatangkan konsekuensi buruk, melainkan karena sudah menjadi kewajiban kita untuk menyampaikan kebenaran.

Baca Juga: Jokowi Diterpa Terorisme Politik?

Dalam tata pemerintahan, seperti yang dijelaskan Plato (Platon) dalam buku Republic, kebohongan atau mitos kerap menjadi pilihan karena itu lebih berguna untuk menciptakan harmoni sosial. Persoalan justice atau keadilan, misalnya. Konsep itu mungkin adalah utopia, namun keadilan harus tetap didengungkan oleh kekuasaan agar masyarakat percaya pada hukum dan tidak menjadi anarkis.

Pada kesimpulannya, seperti kutipan pernyataan Murphy di awal tulisan, mungkin kebenaran sangat baik secara teori, namun pada praktiknya, kita kerap kali lebih menyukai kebohongan.

Atas persoalan kompleks, di mana berkelindannya distrust, era keterbukaan informasi, meningkatnya tuntutan partisipasi publik, hingga tendensi psikologi untuk mendengar hal-hal menenangkan, pemerintahan Jokowi, ataupun berbagai pemerintahan di seluruh dunia, tampaknya sulit untuk tidak melakukan noble lie.

Namun tentu catatannya, jangan sampai noble lie menjadi pure lie. Karena kondisi yang asimetris, di mana pejabat negara seperti sulit tersentuh hukum ketika berbohong, praktik berbohong tidak lagi untuk mewujudkan kebaikan bersama, melainkan semata-mata untuk memperdaya masyarakat semata. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...