HomeNalar PolitikTidak Malu Impor Beras Melulu?

Tidak Malu Impor Beras Melulu?

Mentan kerap menyebut bahwa Indonesia sudah berhenti mengimpor beras sejak tiga tahun lalu. Akan tetapi, impor terus terjadi. Bahkan di awal 2018 ini, ada 500 juta ton beras impor yang akan hadir.


PinterPolitik.com

[dropcap]H[/dropcap]arga beras kian tak terbendung. Makanan pokok favorit orang Indonesia tersebut, stoknya kian langka di pasaran. Kelangkaan beras jenis medium membuat komoditas pangan ini mengalami kenaikan. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah hadir dengan solusi klasik: impor.

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengumumkan bahwa akan ada 500 ribu ton beras impor yang masuk ke Indonesia. Direncanakan, beras ini akan masuk ke Indonesia pada akhir bulan Januari 2018. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyebut beras yang diimpor adalah beras khusus yang akan dijual setara beras medium.

Pemerintah menilai, pilihan untuk mengimpor dapat menjadi solusi efektif untuk jangka pendek. Kehadiran beras impor ini diharapkan dapat mengisi kekosongan untuk sementara, hingga masa panen yang akan jatuh pada bulan Februari dan Maret.

Di lain pihak, langkah pemerintah ini justru disesalkan petani. Kedatangan beras impor yang berdekatan dengan masa panen raya, membuat para petani menjerit. Mereka bisa saja merugi karena harga gabah yang akan mereka jual jatuh.

Kelangkaan beras merupakan sebuah ironi bagi negara seperti Indonesia yang menargetkan diri akan menjadi lumbung pangan dunia. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman juga kerap mengklaim bahwa Indonesia sudah tidak lagi mengimpor beras. Lalu mengapa impor komoditas ini kerap tidak terhindarkan?

Indonesia Surplus Beras?

Mentan berkali-kali mengatakan bahwa Indonesia tidak mengalami kekurangan stok beras. Ia bahkan menyebut bahwa Indonesia mengalami kelebihan atau surplus stok kebutuhan pokok tersebut. Meski demikian, silang data kerapkali terjadi.

Di tahun ini, Amran mengatakan produksi beras masih mencukupi. Ia menunjukkan data bahwa produksi padi pada Januari 2018, diprediksi mencapai 4,5 juta ton gabah kering giling (GKG). Sementara itu, ketersediaan beras mencapai 2,8 juta ton dengan konsumsi beras 2,5 ton. Ini berarti, stok beras beras mengalami surplus sebesar 329,3 ribu ton.

Jika ditanya mengapa harga beras naik dan mengapa pemerintah harus membuka keran impor, Mentan sepertinya lebih banyak menghindar. Ia bersikukuh bahwa kondisi stok beras, kini mengalami surplus. Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan data yang ia terima dengan fakta yang ada.

Tidak Malu Impor Beras Melulu?
Mentan Amran Sulaiman (Foto: Kementan)

Salah satu perbedaan data yang paling nampak adalah antara pemerintah dengan Badan Pusat Statistik (BPS), soal impor beras di tahun 2016. BPS menyebutkan bahwa impor beras di tahun tersebut mengalami lonjakan luar biasa, bahkan hingga mencapai 1,6 juta ton.

Pemerintah kerap berdalih, bahwa impor beras yang demikian tinggi tersebut bukanlah beras yang sehari-hari dikonsumsi masyarakat. Menurut pemerintah, beras yang diimpor adalah beras khusus seperti beras premium, beras diabetes, atau beras untuk restoran.

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Meski begitu, pengamat ekonomi Bustanul Arifin menyangsikan pernyataan pemerintah tersebut. Menurutnya, jika benar beras yang diimpor pemerintah tergolong pada beras dengan kualitas tersebut, maka jumlahnya tidak akan sebesar itu.

Perbedaan data stok beras ini menjadi penanda adanya kesalahan koordinasi antara pemerintah dengan Bulog. Data yang dimiliki pemerintah selama ini, dapat dikatakan tidak kredibel. Atau bisa saja data yang diterima pemerintah benar, tetapi ada pihak lain yang bermain di lapangan. Apapun penyebabnya, nyatanya pemerintah tetap tidak kuasa menahan laju impor ke negeri ini.

Secara spesifik, Amran menyebut bahwa ada yang tidak senang jika pemerintah menutup keran impor. Ia menyebut bahwa ada saja pihak yang menggoyang upaya pemerintah untuk melindungi petani. Hal ini berakibat pada impian swasembada yang terus terganggu.

Ada Mafia?

Jika melihat harga beras yang naik turun, orang kerap mengaitkan dengan adanya aktivitas mafia atau kartel beras. Sekelompok orang atau perusahaan ini, disebut-sebut menikmati untung dari impor beras sehingga akan merasa rugi jika pemerintah menutup keran impornya.

Di era Orde Baru, beberapa pihak menyebut ada kelompok yang tergolong ke dalam ‘Delapan Samurai’. Delapan orang atau delapan perusahaan ini, disebut-sebut mendapat jatah impor beras dalam skala puluhan ribu hingga jutaan ton.

Banyak orang menyebut, perusahaan-perusahaan yang mendapat untung tersebut adalah orang yang berada di lingkaran dalam Keluarga Cendana. Pasca reformasi, lingkaran ini disinyalir meluas ke orang-orang yang di luar Keluarga Cendana.

Secara khusus, politisi-politisi Golkar seperti Setya Novanto dan Nurdin Halid kerap disebut sebagai orang yang terlibat dalam impor beras. Mereka disebut-sebut mengambil posisi lowong yang ditinggalkan oleh Keluarga Cendana pasca reformasi.

Mafia-mafia ini memiliki izin impor, karena hampir 95 persen kepemilikan stok beras nasional dikuasai swasta. Sementara itu, Bulog yang bertugas menstabilkan harga hanya memegang lima persen dari total persediaan beras nasional. Tentu saja kondisi ini membuat negara tidak mampu mengendalikan harga beras di tingkat nasional.

Harga beras domestik yang amat tinggi tidak sebanding dengan harga beras internasional. Dengan kualitas serupa, beras impor ini memiliki harga yang lebih murah. Hal ini dapat memicu kebijakan impor beras. Dalam praktiknya, importir ini disebut-sebut memiliki aliansi dengan para politisi.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Politik dalam Karung Beras

Memandang impor beras ditataran kebijakan, maka tidak dapat dilepaskan dari aktivitas politik. Jika dilihat secara teliti, ada kaitan antara kebijakan impor komoditas ini dengan parpol-parpol yang menjadi bagian dari koalisi pemerintah.

Jika dilihat secara historis, kebijakan impor beras kerapkali terkait dengan lobi-lobi yang dilakukan oleh parpol di DPR. Di tahun 2004, kebijakan terkait penghentian impor beras dihapus oleh pemerintah. Langkah ini didukung oleh parpol-parpol pendukung pemerintah, yaitu Golkar dan Demokrat.

Tidak Malu Impor Beras Melulu?

Sebagai partai dengan pemilik kursi terbanyak di DPR saat itu, Golkar tergolong cukup getol mendukung impor beras. Ketika itu, Golkar menyebut bahwa impor beras adalah hal yang dapat diberikan toleransi.

Meski dianggap perlu, parpol seperti PDIP dan PKS menolak keras kebijakan pemerintah untuk mengimpor makanan pokok tersebut. Mereka bersikap cukup keras dengan menggulirkan wacana untuk mengajukan hak angket.

Wapres Jusuf Kalla nampaknya cukup kesal pada aksi parpol yang mewacanakan hak angket. Ketika itu, ia secara khusus memanggil politisi-politisi partai lain untuk menggagalkan bergulirnya hak angket tersebut. Ketua-ketua fraksi di DPR, ia panggil ke sebuah hotel di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan. JK berharap, parpol-parpol tersebut mau berada dalam satu barisan dengan Demokrat dan Golkar.

Jika melihat komposisi pemerintahan saat ini, ada kondisi serupa yang terjadi dengan pemerintahan di tahun 2004. Kini, pemerintah yang berkuasa juga didukung oleh Partai Golkar. Jika melihat pola yang terjadi sejak dahulu, publik bisa saja berpikir bahwa partai ini memiliki andil. Terlebih jika tudingan politisi Golkar terkait dengan importir beras dapat dibuktikan.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sendiri lama berkiprah di parpol berlambang beringin tersebut. Jejaringnya di Golkar bisa saja memberikan pengaruh dalam keputusan mengimpor beras.

Kondisi yang kurang lebih serupa juga terjadi dalam wujud Wapres Jusuf Kalla. Saat menghadapi kondisi harga beras yang melonjak di 2018, ia mengatakan kalau opsi melakukan impor beras bukanlah sesuatu yang terlarang. Nampaknya, ia bukanlah orang yang benar-benar anti pada opsi impor. Hal ini serupa dengan upayanya untuk menjegal hak angket pada beberapa tahun yang lalu.

Bukan mafia namanya jika langkahnya dapat terdeteksi. Meski begitu, dengan fluktuasi harga yang kerap terjadi, anggapan Mentan bahwa ada yang tidak senang jika impor ditutup bisa saja benar. Bila begitu, Pemerintah seharusnya perlu mengambil langkah yang lebih serius untuk dapat membuktikan dan memberantas keberadaan mafia tersebut. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...