Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) telah memicu berbagai protes di masyarakat. Di tengah penolakan besar-besaran terhadap kenaikan BBM dan krisis ekonomi, pemerintah tetap memilih kebijakan tersebut dan tetap lanjutkan proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menaikkan harga BBM pada 3 September 2022 lalu. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kenaikan ini akan berdampak bagi inflasi dan kenaikan jumlah kemiskinan. Pemerintah mengklaim melakukan pertimbangan secara hati-hati untuk melindungi kepentingan masyarakat terutama golongan yang kurang mampu.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa kenaikan BBM merupakan keputusan yang sulit dan menjadi alternatif pilihan terakhir pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM. Pemerintah pun melakukan penyesuaian harga BBM subsidi maupun non subsidi. Ia juga melihat bahwa harga BBM tetap berada pada level saat ini dan menekankan bahwa kas keuangan negara telah menanggung beban yang cukup berat atas kenaikan subsidi BBM.
Kenaikan BBM pun menuai pendapat kontra baik dari kalangan masyarakat dan ahli. Akhirnya, demonstrasi besar-besaran tidak dapat dihindari. Pada saat yang sama, pemerintah menimbang kondisi ekonomi dunia saat ini, padahal harga minyak bumi sedang mengalami penurunan.
Di samping itu, meskipun pemerintah telah menaikkan harga BBM, pemerintah tetap bersikeras untuk melanjutkan proyek besar seperti pembangunan IKN . Padahal, pembiayaan APBN yang dialokasikan untuk pembangunan IKN dapat digunakan untuk membiayai bantuan sosial.
Menurut ekonom, Celios Bhima Yudhistira Jokowi memiliki otoritas selaku pemegang kuasa proyek IKN dapat berkuasa untuk menghentikan proyek ini untuk sementara. Terlebih menimbang urgensinya yang tidak tinggi, seharusnya bukan menjadi masalah untuk diberhentikan sementara.
Menurutnya lebih lanjut apabila Jokowi berkehendak untuk menghentikan mega proyek tersebut, maka kemungkinan Ia dapat menaikkan dana bantuan sosial untuk subsidi BBM mencapai puluhan triliun atau setidaknya sekitar Rp 97 triliun.
Angka perkiraan ini muncul dari pernyataan Jokowi yang Ia nyatakan pada sidang paripurna DPR RI yang membahas terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2023 mendatang. Pada perhitungan tersebut, Jokowi berniat untuk membangun IKN dengan nilai proyek sebesar Rp 486 triliun. Dana ini sebagian atau sekitar 19 persennya berasal dari APBN.
Apabila Jokowi dapat menggunakan dana APBN itu sebagai subsidi, mungkin saja rakyat tidak akan kewalahan akibat kenaikan listrik. Selain itu, pihak pengusaha lah yang mendapat untung besar oleh proyek ini antara lain di lahan IKN itu sendiri dengan 162 koneksi Ia juga menekankan dampak buruk jika Jokowi tetap melanjutkan proyek ini sehingga rakyat dapat menderita.
Lalu, apakah peningkatan dana IKN memang memiliki urgensi yang berarti untuk masyarakat?
Dana IKN Naik, Sudah Etis?
Sebenarnya ide pembangunan IKN bukan berasal dari Presiden Jokowi, namun sudah ada sejak tahun 1957 oleh Soekarno dengan alasan geografis yang lebih strategis untuk menunjukkan eksistensi Indonesia yang modern kepada dunia.
Seiring berjalannya waktu, masalah kemacetan dan banjir di Jakarta mendorong kemunculan wacana pemindahan IKN. Akhirnya, pada masa pemerintahan Jokowi wacana ini benar-benar direalisasikan dengan urgensi tantangan transformasi ekonomi di masa depan, pemerataan ekonomi dan inklusivitas, kondisi Jakarta yang sudah terlalu padat, permasalahan lingkungan di Jakarta, dan kemacetan yang tidak kunjung membaik.
Terlepas dari pro dan kontra pembangunan IKN, saat ini Indonesia sedang menghadapi krisis yang membuat pemerintah perlu mencari prioritas yang terbaik dan pro kepada masyarakat miskin. Bagaimana pun, demonstrasi besar-besaran yang terjadi akibat kenaikan BBM membuktikan bahwa masyarakat menolak kebijakan tersebut.
Penolakan tersebut membuat kita perlu mempertanyakan mengenai pemikiran atas legitimasi politik yang bertanggung jawab, rasional, objektif, dan argumentatif. Hal ini sesuai dengan makna etika politik yang dijelaskan oleh Niccolò Machiavelli bahwa terkadang seorang pemimpin politik berkemungkinan untuk berperilaku jahat jika diperlukan untuk mempertahankan otoritas.
Di samping itu, etika politik idealnya dianggap sebagai etika publik dimana hal tersebut merupakan penilaian moral terkait tindakan politik dan agen politik. Adapun terdapat dua bidang etika politik yaitu etika proses dan etika kebijakan. Etika proses menitikberatkan pada etika pejabat publik, sedangkan etika kebijakan menitikberatkan pada kebijakan dan hukum.
Pembangunan IKN memang mudah untuk dicampuri dengan urusan politik. Terlebih, pembangunan memakan dana yang sangat fantastis. Proyek besar ini seakan-akan seperti ladang uang yang sangat menguntungkan.
Kembali lagi pada penalaran mega proyek ini, tentunya akan ada banyak pengusaha yang akan diuntungkan. Ini sangat memperlihatkan dengan jelas keberpihakan pemerintah jika dilihat dari segi politiknya. Dengan demikian, kita dapat nalarkan kembali atas hasil analisis bahwa ternyata pemerintah sepertinya tidak prioritaskan rakyat.
Ketika rakyat merasa bahwa kepentingannya bukan lagi menjadi prioritas, lantas mereka akan turun ke jalan. Ini adalah fenomena yang terjadi ketika BBM mengalami kenaikan. Lantas, apakah pemerintah benar-benar mendengar suara rakyat?
BLT, Kebijakan Cacat Logika?
Kalau kita lihat perkembangannya, pemerintah berusaha merespons amarah publik tentang harga BBM naik dengan menyajikan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Namun, jika melansir dari tulisan Nalar dari PinterPolitik.com yang berjudul “Sia-sia, Megawati Kritik BLT Jokowi?”, BLT sebenarnya dianggap hanya sebagai solusi sementara bagi masyarakat golongan menengah ke bawah. Apakah memang kebijakan ini merupakan suatu pilihan yang tepat dan bijak untuk dipilih bersamaan dengan menerbitkan BLT?
Berdasarkan artikel tersebut, BLT tidak dapat menjadi jawaban pemerintah untuk membantu orang, karena BLT yang diberikan tidak akan menjadi dana investasi, melainkan justru hanya dilihat sebagai uang tambahan untuk melengkapi kebutuhan berbelanja. Artinya, BLT akan langsung habis digunakan oleh masyarakat kelas menengah, terlebih lagi memang ada fenomena konsumerisme tinggi di kelas masyarakat yang satu ini.
Di sisi lain, pemerintah justru mencoba untuk menggiring opini publik bahwa ada urgensi untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sekaligus munculkan BLT seakan-akan pemerintah tidak punya solusi. Lantas, pemerintah mencoba membuat kesan bahwa opsi kebijakan di sini hanya 2 yaitu menaikkan harga BBM bersubsidi atau APBN akan jebol.
Dari sini, kita bisa interpretasikan bahwa meski BLT dianggap sebagai jawaban pemerintah yang sudah mendengar aspirasi rakyat, fungsionalitasnya yang patut dipertanyakan jadi kecurigaan tersendiri tentang apakah pemerintah memang benar-benar sudah mendengar keluhan rakyat.
Kembali ke perandaian pemerintahan yang baik, angan-angan good governance seakan mengingatkan kembali ambisi Jokowi untuk mewujudkan reformasi birokrasi. Melihat dinamika sekarang, mungkin angan-angan itu terlalu jauh untuk dicapai, terutama selama 2 tahun pemerintahan Jokowi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kenaikan BBM dapat menjadi momen dimana kita melihat kegagalan implementasi good governance. Ini terlihat dari hasil analisis politik etis yang diungkapkan oleh Niccolò Machiavelli. Pemerintah tidak mengindahkan etika yang seharusnya ada dalam kebijakan supaya dapat memilih apa yang terbaik untuk rakyatnya.
Pada akhirnya, kita memang perlu terus melakukan kritik terhadap kebijakan yang ada. Politik akan selalu melekat pada aspek ekonomi, maka dinamikanya akan berdampak langsung pada masyarakat. (Z81)