Telah sejak lama, berbagai pihak memperdebatkan angka kematian Covid-19 di Indonesia. Ada yang menyebut buruk karena lebih tinggi dari Singapura. Ada pula yang menyebut masih lebih baik karena lebih rendah dari Inggris. Bermoralkah perdebatan semacam ini?
“One death is tragedy; one million is a statistic.” – Joseph Stalin, pemimpin kedua Uni Soviet
Di tengah keterbatasan, Vino, seorang anak berusia 10 tahun harus mendapati dirinya akan hidup sendiri. Kedua orang tuanya telah meninggal tepat pada hari raya Idul Adha karena Covid-19. Jika sang ibu masih hidup, Vino mungkin akan menjadi kakak. Ibunya, Lina, tengah hamil saat itu.
Vino adalah segelintir cerita yang beruntung terangkat ke permukaan. Seperti fenomena gunung es, di luar sana terdapat Vino-Vino lainnya, yang mungkin tidak akan pernah kita ketahui.
Cerita Vino, anak yang sekarang sebatang kara ini mungkin terdengar pilu. Namun, bagaimana jika ceritanya disatukan bersama ribuan Vino lainnya dan menjadi statistik? Persoalan ini yang tengah menjadi perdebatan warganet.
Ya, mereka tengah sibuk membandingkan statistik kematian Covid-19 di Indonesia dengan di negara lain. Mereka yang membandingkan dengan Singapura, akan mengatakan kasus kematian di Indonesia begitu buruk. Ini berbanding 90.552 dengan 37 kematian.
Namun beda halnya dengan mereka yang membandingkan dengan Inggris. Selaku negara yang berpenduduk 55,9 juta jiwa, kematian Covid-19 di Inggris justru menembus angka 114 ribu kasus. Sementara Indonesia yang penduduknya jauh lebih besar bahkan belum menyentuh angka 100 ribu kasus.
Baca Juga: Bilal, Jokowi dan Negara Penjaga Malam
Seperti ungkapan Joseph Stalin di awal tulisan, “satu kematian adalah tragedi; satu juta kematian adalah sebuah statistik”. Ribuan kasus kematian Covid-19 tampaknya tengah dilihat sebagai statistik semata.
Terkait hal ini, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas memberikan pernyataan penting. “Semua elemen bangsa harus kompak, bersatu dan melakukan langkah yang saling dukung dan terpadu untuk menyelamatkan nyawa rakyat yang bukan hanya sekadar angka-angka statistik,” begitu ungkapnya pada 22 Juli.
Ya, seperti kata Gus Yaqut, “bukan sekadar angka-angka statistik”. Kematian Covid-19, entah itu mencapai 100 ribu kasus, ataupun tidak mencapai 100 kasus sekalipun, adalah kehilangan nyawa.
Lantas, mengapa warganet justru disibukkan dengan perdebatan membandingkan statistik semacam itu?
Melihat Wajah Penderitaan
Pemikiran filsuf Prancis, Emmanuel Levinas sangat tepat kita gunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Karena penggunaan pemikiran Levinas pula, tulisan ini menggunakan kata “moral” sebagai judul.
Levinas memberikan kita penjelasan penting terkait salah satu big question umat manusia, bagaimana moral bisa terbentuk atau dirasakan manusia? Dalam bukunya On Thinking of the Other, Levinas memberi jawaban mengejutkan. Kematian adalah apa yang membuat manusia merasakan moralitas.
Ketika kita membahas moralitas, pada dasarnya yang kita maksud adalah responsibility dengan orang lain (the other/yang lain). Kita tidak memukul orang asing di tengah jalan hanya gara-gara sedang emosi karena kita merasa bertanggung jawab untuk tidak menyusahkan orang lain.
Kematian, adalah fakta tak terelakkan dari kehidupan manusia. Menurut Levinas, pertanggung jawaban terhadap the other akan terjadi apabila kita menyadari tentang kematian. Kita sadar, bahwa manusia yang lain adalah entitas yang bisa menderita. Mereka akan mengalami kematian. Mereka adalah kehidupan yang dapat merasakan rasa sakit.
Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana kita bisa melihat rasa sakit tersebut? Apakah dengan refleksi mendalam? Tidak. Kita mengetahuinya melalui wajah orang lain. Kita dapat melihat kesedihan, penderitaan, amarah, dan rasa putus asa dari wajah seseorang.
Penekanan ini kemudian melahirkan istilah face-to-face relation dari Levinas. Pertanggung jawaban terhadap orang lain terjadi karena adanya relasi antar wajah.
David Campbell, Ken McPhail, dan Richard Slack dalam tulisannya Face work in annual reports: A study of the management of encounter through annual reports, informed by Levinas and Bauman menggunakan pemikiran Levinas tersebut untuk memberikan saran menarik.
Menurut mereka, laporan-laporan korporasi telah mengarah pada dehumanisasi. Laporan-laporan tersebut hanya dibaca sebagai statistik. Apakah performa karyawan menunjukkan angka sepuluh atau hanya angka delapan.
Melihat karyawan sebagai statistik membuat para petinggi perusahaan kerap melakukan kebijakan yang terkesan “bodo amat”. Perasaan para karyawan bukanlah variabel dalam mengambil kebijakan.
Baca Juga: Mengapa Luhut Klaim Covid-19 Terkendali?
Atas lumrahnya fenomena tersebut, Campbell dan kawan-kawan memberikan saran agar laporan perusahaan menampilkan wajah dari karyawan-karyawannya.
Harapannya? Tentu saja agar para petinggi perusahaan tidak melihat karyawannya sebagai sebuah statistik, melainkan sebagai manusia yang dapat merasakan rasa sakit.
Artikel Abraham Utama yang berjudul Covid-19: Wajah para korban meninggal di Indonesia akibat virus corona – ‘Mereka bukan sekadar data statistik’ di BBC Indonesia pada 30 Desember 2020, tampaknya terinspirasi dari gagasan face-to-face relation Levinas.
Dalam artikelnya, Abraham tidak hanya menghadirkan cerita-cerita mereka yang kehilangan keluarga akibat Covid-19, tapi juga menampilkan wajah-wajah (foto) dari mereka yang telah tiada.
Salah satunya adalah Abidah. “Hidupku hancur. Masih di bawah umur, kehilangan orang tua, dan waktu itu masih harus berjuang untuk sembuh karena aku juga positif Covid-19. Berat sekali. Aku hampir mencoba bunuh diri,” begitu kenangnya.
Anonimitas Media Sosial
Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan media sosial karena dapat mengancam kohesi sosial.
Di satu sisi, media sosial memang menjadi pengejawantahan nilai-nilai demokrasi, setiap orang dapat mengekspresikan suaranya. Namun di sisi lain, media sosial justru telah mempertebal polarisasi di tengah masyarakat.
Dengan sifat anonimitas di media sosial, berbagai pihak merasa bebas menyuarakan apa pun. Mereka tidak jarang menghardik, menghakimi dengan kejam, hingga memberikan fitnah hanya dalam beberapa ketikan jari.
Alih-alih menjadi wadah hangat mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan dialog, media sosial justru menjadi wadah-wadah kebencian dan peluapan emosi terdalam manusia.
Mengacu pada Levinas, face-to-face relation jelas tidak terjadi di media sosial. Tidak terjadi dialog antar identitas. Sifat anonimitas telah membuat seseorang seolah terbebas dari pertanggung jawaban dengan orang lain.
Karena identitasnya tidak diketahui, mereka merasa bebas mengatakan apa pun. Tidak peduli perasaan orang lain, bahkan diniatkan untuk membuat konfrontasi. Mereka suka dengan keributan.
Sikap anonimitas dan ketiadaan face-to-face relation ini lah yang membuat berbagai warganet dengan mudahnya membandingkan angka kematian Covid-19 di Indonesia. Mereka dapat mengatakan buruk ketika membandingkan dengan negara yang lebih rendah, tapi mengatakan baik ketika membandingkan dengan negara yang lebih tinggi.
Mereka melakukan perbandingan tersebut tanpa membayangkan wajah-wajah sedih keluarga korban. Mereka tidak memikirkan Vino, ataupun Abidah yang kehilangan orang tuanya. Mereka tidak membayangkan rasa sakit mereka.
Baca Juga: Covid-19, Politik Ketakutan, Siapa Menang?
Yang ada hanyalah kematian yang merupakan angka-angka statistik. Kembali mengutip Joseph Stalin, kematian satu juta jiwa adalah sebuah statistik. (R53)