Site icon PinterPolitik.com

Tidak Ada Kebenaran di Era Informasi?

tidak ada kebenaran di era informasi

Massa PA 212 dkk tampak masih melakukan aksi unjuk rasa menolak omnibus law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Tampak sejumlah demonstran duduk-duduk di kawasan Patung Kuda di tengah aksi tolak omnibus law UU Cipta Kerja. Sejumlah demonstran tampak membawa serta poster yang berisi aspirasi mereka saat ikut serta dalam aksi tolak omnibus law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta. (Foto: Detikcom)

Di era kemajuan internet, manipulasi kebenaran justru malah semakin marak. Bagaimana kita memaknai fenomena ini?


PinterPolitik.com

Saat pertama kali internet diciptakan, sejumlah pengamat politik memprediksi bahwa teknologi tersebut akan menjadi harapan bagi demokrasi dan liberalisme di era modern. Dengan adanya ruang baru untuk berekspresi, internet – dan kemudian media sosial (medsos) – semua orang bisa bersuara, bahkan tanpa perlu bergabung dengan suatu instansi politik.

Namun, mirisnya, setidaknya dalam dua dekade terakhir setelah masyarakat dunia dikenalkan dengan medsos, keutuhan demokrasi justru sedang dihadapkan ujian yang begitu berat. Berbagai kasus bisa kita jadikan contoh. Pertama, adalah polarisasi dukungan politik kala Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, ketika manipulasi informasi begitu kuat, khususnya berdasarkan sentimen agama, di sejumlah medsos.

Kedua, dan yang paling sering dijadikan contoh para pengamat internasional, adalah Pilpres 2016 di Amerika Serikat (AS), ketika kubu mantan Presiden, Donald Trump diduga mendapat bantuan dari intelijen Rusia dalam menciptakan buzzer-buzzer yang mampu menarik sekaligus menciptakan dukungan yang begitu kuat dari kelompok-kelompok radikal di AS.

Dan kita juga tidak bisa mengabaikan dugaan adanya campur tangan Facebook – sekarang Meta – dalam sejumlah aksi kekerasan di berbagai negara, seperti promosi kekerasan di Myanmar pada 2017 lalu. Kemudian, seperti yang pernah diungkapkan CEO Rappler, Maria Ressa tentang dugaan keterlibatan mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte dalam menyebar berita palsu untuk menjustifikasi kekerasan dalam kebijakan war on drugs-nya.

Satu hal yang jadi kesamaan dari kasus-kasus tadi adalah adanya manipulasi kebenaran. Kalau kata Ressa, medsos, khususnya Facebook, mampu membuat fakta menjadi kebohongan dan kebohongan menjadi fakta.

Ini kemudian memancing pernyataan. Sudah tidak adakah kebenaran di era informasi ini?

Merefleksikan Kebenaran di Era Informasi

Perdebatan filosofis tentang makna sebenarnya dari kebenaran sudah dibicarakan manusia sejak ribuan tahun lalu, tapi untuk menyederhanakannya, setidaknya kita bisa memaknai kebenaran menjadi dua hal penting melalui teori correspondence theory of truth yang dipopulerkan Bertrand Russell dan G. E. Moore.

Teori ini memaknai bahwa dalam kebenaran ada interaksi penting antara fakta dan persepsi. Fakta adalah keadaan yang ada di lapangan, dan persepsi adalah pandangan manusia yang melihatnya. Nah, untuk memahami sebuah fakta, apapun klaimnya, persepsi manusia pasti akan mempengaruhi kebenaran yang seharusnya direpresentasikan fakta tersebut.

Dari hal yang vulgar seperti pernyataan publik, sampai metodologi saintifik yang digunakan untuk memperoleh fakta, tidak bisa kita pungkiri bahwa kemungkinan bias manusia pasti akan ada. Masalahnya menjadi lebih rumit ketika kita sadari bahwa persepsi seseorang, terlepas dari dia seorang politisi atau ilmuwan sekalipun, rentan akan adanya kemungkinan rekayasa.

Kalau kata Aristoteles, selama persepsi yang disampaikan seseorang bisa dibuktikan di lapangan, maka hal itu tidak jadi masalah, kebenaran akan bisa kita temukan. Akan tetapi, pernyataan Aristoteles tadi sepertinya hanya mudah untuk diucapkan, karena realitasnya sangat sulit sekali bagi kita untuk bisa membandingkan persepsi dengan fakta.

Apalagi, saat ini juga kita sepertinya sudah sering mengalami suatu fenomena sosial yang disebut information overload atau kelebihan informasi. Maksudnya adalah, di era informasi ini, di mana informasi bisa dengan mudah kita peroleh, kita justru malah sering dibuat bingung, informasi mana yang paling relevan?

Steve Tesich dalam tulisannya The Government of Lies menyebut keadaan seperti itu sebagai pertanda era post-truth atau pasca-kebenaran, yakni ketika masyarakat suatu masa begitu kebingungan mendapatkan kebenaran sehingga akhirnya mereka lama-lama tidak peduli lagi dengan kebenaran itu sendiri dan lebih memilih ajakan tokoh politik yang kuat untuk dijadikan arahan. Sederhananya, populisme kini lebih diminati dibanding kebenaran.

Sebagai perenungan bersama, Aldous Huxley dalam novelnya Brave New World sudah memprediksi kondisi demikian dengan memprediksi bahwa di masa depan metode kontrol masyarakat yang efektif sebenarnya adalah kontrol yang didasarkan pada kebanjiran informasi. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat secara tidak sadar akhirnya akan setuju dengan narasi yang dimainkan para manipulator media karena mereka sudah muak dengan banyaknya informasi yang perlu dicerna.

Oleh karena itu, bisa jadi di era modern ini kita memang sama sekali sudah tidak bisa menemukan kebenaran yang sebenarnya. (D74)

Exit mobile version