HomeNalar PolitikTHR, Pemerataan Ala Jokowi

THR, Pemerataan Ala Jokowi

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Presiden Jokowi menandatangani cairnya Tunjangan Hari Raya bagi pegawai negeri, TNI, Polri, dan juga para pensiunan. Apakah ini sekedar kebijakan populisnya saja?


PinterPolitik.com

“Stimulus adalah jembatan untuk mengarungi arus deras. Jika diinvestasikan dengan baik, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meraih sedikit laba.” ~ William J. Clinton

[dropcap]P[/dropcap]residen ke 42 Amerika Serikat yang lebih dikenal sebagai Bill Clinton, masih memiliki pengaruh dan cukup dihormati di negaranya. Walau sempat tersandung skandal perselingkuhan, namun suami Hillary Clinton ini dianggap berhasil menstabilkan perekonomian Paman Sam dalam dua periode kepemimpinannya.

Sepak terjang Clinton di Indonesia sendiri, ternyata juga memiliki pengaruh yang besar – terutama perannya dalam menjatuhkan Soeharto dari 32 tahun kekuasaannya. Fakta ini tertuang dalam buku “Lengser Keprabon, Perjalanan Terakhir Jenderal Besar Soeharto” yang ditulis oleh Sulastomo.

Ketika menggambarkan situasi krisis ekonomi di tahun 1997, Sulastomo juga mengutip pernyataan politikus Singapura, Lee Kwan Yew dalam memoarnya, “From Third Word to First”. Di buku itu, Lee secara gamblang mengisahkan bagaimana Soeharto pernah meminta bantuannya agar rupiah tidak ikut terimbas krisis seperti Thailand.

Lee yang ketika itu hanya menjabat sebagai Menteri Senior, mengaku tak bisa berbuat banyak, apalagi karena Bill Clinton sendiri mengatakan ingin pemerintahan Soeharto jatuh. Menurut pengakuan Lee, Clinton bahkan menyamakan Soeharto dengan mantan presiden Filipina, Ferdinand Marcos.

THR PNS Siap Cair

Keengganan Lee dan Clinton untuk membantu Soeharto, pada akhirnya membawa negeri ini terlepas dari sistem otoritarian Orde Baru. Namun, tidak begitu saja membawa Indonesia lepas dari bayangan krisis ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai dollar terhadap rupiah, seperti yang terjadi lagi saat ini.

Bagaimana pun juga, depresiasi rupiah tetap menjadi momok bagi Pemerintah karena terbukti mampu mengguncang stabilitas negara. Demi menstabilkan kondisi dalam negeri, rangsangan (stimulus) yang dikatakan Clinton di atas, mau tak mau harus dilakukan demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Salah satu stimulus yang dilakukan Pemerintah menjelang Hari Raya Idul Fitri, adalah dengan memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) bagi TNI, Polri, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan pensiunannya. Pembagian THR ini sebenarnya hal yang wajar, namun tetap saja kebijakannya menjadi polemik karena menyedot anggaran negara cukup besar.

Sehingga tak heran bila pihak oposisi mulai mempertanyakan dana untuk THR tersebut, termasuk menudingnya sebagai kebijakan populis Jokowi demi mendongkrak suara di Pilpres mendatang. Namun dengan dana THR yang jumlahnya mencapai Rp 35,76 triliun, mungkinkah Jokowi memperberat defisit hanya atas alasan popularitasnya semata?

Baca juga :  TAKSI VINFAST VIETNAM

Legacy Ketimpangan Ekonomi

“Apa yang harus dilakukan agar pertumbuhan ekonomi terus berjalan, adalah dengan memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan.” ~ Barack Obama

Walau hanya empat tahun tinggal dan bersekolah di Indonesia, namun presiden ke 44 AS tersebut begitu dielu-elukan di tanah air. Apalagi liburan Lebaran tahun lalu, Barack Obama sengaja membawa istri dan kedua putrinya mudik dan berlibur di kampung halaman ayah tirinya ini.

Dari segi kebijakan ekonomi, Obama termasuk presiden yang pro-rakyat kecil walau negara tersebut menganut sistem kapitalis murni. Salah satu kebijakan populisnya adalah Obama Care yang memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat kecil. Sehingga tak heran bila lembaga ini langsung diberangus oleh Presiden Trump.

Sebagai negara kapitalis, AS memang menerapkan sistem pembangunan yang menggunakan strategi Trickle Down Effect atau Fountain Effect. Sistem ini pertama kali dipopulerkan oleh Presiden ke 40 AS, Ronald Reagan, dan diakui mampu membawa perekonomian AS keluar dari kondisi stagnasi ekonomi yang dialami kala itu.

Pendekatan ekonomi yang dikenal sebagai “Reaganomics” ini, lebih memusatkan keuntungan pada golongan pengusaha kaya, dengan harapan keuntungan yang mereka peroleh dapat menetes ke bawah, yaitu kepada golongan masyarakat miskin melalui perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan melalui upah, dan perluasan pasar.

Darimana datangnya THR

Teori pertumbuhan ekonomi yang menurut John Kenneth Galbraith telah ada sejak 1890-an dengan nama Horse and Sparrow Theory ini, diakui sangat berhasil diterapkan di AS. Namun ternyata tidak sama ketika diterapkan di tanah air, kira-kira begitulah yang diakui oleh Presiden ke 6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ketika memulai periode kedua pemerintahannya, SBY secara terbuka menyatakan kalau strategi “menetes ke bawah” tersebut telah gagal. Bukan itu saja, sistem pembangunan yang tidak mengutamakan pemerataan ekonomi ini juga telah menyebabkan perekonomian Indonesia dikuasai oleh segelintir konglomerat di era Orde Baru.

Oligarki tumbuh subur akibat Soeharto tidak menerapkan sistem trickle down secara murni, sehingga keuntungan dari kebebasan berbisnis yang diberikan pemerintah pada pengusaha tidak ikut dinikmati rakyat kecil, seperti seharusnya. Sebaliknya, kekayaan tersebut hanya ditimbun sendiri sehingga menyebabkan ketimpangan ekonomi.

Demi memperkecil kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin, akhirnya SBY menjalankan strategi baru yang ia sebut sebagai triple track strategy. Melalui sistem pembangunan baru tersebut, ia menjalankan pembangunan dan pemerataan ekonomi secara bersamaan, yaitu dengan strategi pro-growth, pro-job, dan pro-poor.

THR, Stimulus Ekonomi Inklusif

“Hanya pertumbuhan ekonomi saja tidaklah cukup, Anda harus mendistribusikan kekayaan secara menyeluruh melalui rakyat.” ~ Tabare Vazquez

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Presiden Uruguay periode 2005-2010 ini, merupakan presiden pertama dari partai sosialis yang terpilih secara mayoritas (70 persen suara). Walau beraliran kiri, namun Tabare Vazquez yang berprofesi sebagai dokter onkologi ini, mampu membawa perekonomian Uruguay menjadi salah satu negara paling stabil di Amerika Latin.

Kebijakan ekonomi Vazquez mampu mengurangi kemiskinan di negaranya secara drastis, salah satu caranya adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan, persyaratan kerja, serta ekspansi secara signifikan pada sistem kesejahteraan masyarakat. Hasilnya, kemiskinan di Uruguay yang awalnya mencapai 32 persen turun menjadi 20 persen.

Walau Vazquez juga membuka negaranya bagi investasi asing, namun kebijakan pembangunan ekonomi Uruguay ditekankan pada pemerataan ekonomi yang langsung menyentuh ke masyarakat bawah. Sistem ini sejalan dengan Trickle Up Strategy yang lebih menitikberatkan bantuan ekonomi langsung ke masyarakat kelas bawah.

Berdasarkan teori pembangunan John Maynard Keynes, strategi “muncrat ke atas” ini merupakan kebalikan dari trickle down strategy. Pertumbuhan ekonomi yang juga disebut sebagai bottom up strategy ini, lebih memfokuskan pada bantuan langsung ke rakyat kecil dan diharapkan juga akan menguntungkan para pengusaha.

Program-program bantuan yang dilakukan Vazquez di atas, juga tak berbeda dengan kebijakan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Bantuan Langsung Tunai, dan bahkan program THR yang diberikan Jokowi belakangan ini. Suntikan dana langsung ke masyarakat tersebut, juga dapat meningkatkan roda pertumbuhan ekonomi.

Memanfaatkan momen Hari Raya Idul Fitri yang umumnya disertai dengan lonjakan kebutuhan, pemberian THR diakui Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, akan menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada kuartal II, dibanding kuartal I tahun ini, karena mampu mendorong daya beli dan konsumsi masyarakat.

Peningkatan daya beli, pada akhirnya juga akan menyebabkan inflasi terkendali. Apalagi di saat yang hampir bersamaan, juga ada dorongan dari aktivitas belanja pemerintah yang ikut meningkat. Rentetan ini, pada akhirnya akan menghasilkan perbaikan harga komoditas yang mendorong kinerja ekspor domestik, serta investasi.

Walau strategi ini membuat alokasi anggaran menjadi membengkak, yaitu dari Rp 23 triliun tahun lalu menjadi Rp 35,76 triliun, namun pergerakan ekonomi yang dihasilkan setidaknya dapat menciptakan rasa aman di masyarakat. Di sisi lain, efek samping populis yang diraih Jokowi, membuatnya mampu melalui dua pulau dalam sekali dayung dalam menghadapi Pilpres nanti. (R24)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...