Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menunjuk mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong sebagai Komisaris Utama PT Pembangunan Jaya Ancol. Lantas, apa motif Anies menunjuk Thomas?
Manuver Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menunjuk Thomas Lembong – atau dikenal juga sebagai Tom Lembong – untuk menjadi komisaris di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terbesar milik pemerintah daerah DKI Jakarta cukup menarik perhatian publik. Thomas sendiri seperti yang diketahui merupakan salah satu pebisnis yang sempat menjadi “tangan kanan” Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kabinet pertamanya.
Pria yang akrab disapa Tom Lembong ini menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sejak 27 Juli 2016 hingga 20 Oktober 2019/ Sebelumnya, Tom juga menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) sejak 12 Agustus 2015.
Dalam satu kesempatan, Presiden Jokowi pernah mengatakan Tom Lembong merupakan orang kepercayaanya untuk menarik investor datang ke Indonesia. Presiden juga pernah memuji karier dan keberhasilan Tom memboyong investor yang tergabung dalam 20-20 Investment Association itu ke Istana Negara.
Lebih lanjut, berbagai pihak menilai kehadiran Thomas Lembong bisa dimaknai lebih dari sekedar strategi ekonomi Anies untuk menyelamatkan perusahaan. Lalu, jika benar demikian, manuver apa yang tengah dijalankan Anies? Apa sebenarnya kepentingan dan tujuan strategi ini?
Perluas Jaringan?
Kepala Badan Pengelola (BP) BUMD DKI Jakarta Riyadi mengatakan bahwa pengangkatan Thomas Lembong sebagai Komisaris Utama tak lepas dari kebutuhan Ancol terhadap jejaring yang luas untuk investasi pengembangan usaha. Tom Lembong sendiri memang dikenal mempunyai jejaring yang sangat luas – setidaknya ini juga telah diakui Presiden Jokowi ketika menunjuknya menjadi Mendag dan Kepala BKPM.
Ia merupakan seorang bankir investasi sekaligus menjadi salah satu dari pendiri private equity fund, Quvat Management (Quvat). Selain itu, Tom juga berpengalaman selama puluhan tahun bekerja di beberapa perusahaan multinasional seperti Farindo Investments, Deutsche Bank, dan Morgan Stanley.
Dengan pengalaman dan jejaringnya yang luas, pada tahun 2014 Ia juga berhasil memboyong sejumlah investor besar yang tergabung dalam 20-20 Investment Association yang disinyalir berhasil mendanai sejumlah proyek infrastruktur besar dalam pemerintahan Jokowi.
Setahun kemudian, Tom juga meraih penghargaan Gwanghwa Medal. Ini merupakan medali diplomatik tertinggi yang diberikan Pemerintah Korea Selatan (Korsel) kepada warga negara asing yang telah berjasa meningkatkan hubungan bilateral dengan negara ginseng tersebut.
Baca Juga: Menguak Strategi PKS Amankan Anies
Kembali dalam konteks ini, kehadiran Tom untuk saat ini bisa dibilang merupakan solusi yang tepat bagi PT Pembangunan Jaya Ancol. Seperti yang diketahui, perusahaan pelat merah terbesar milik Pemprov DKI ini sedang mengalami permasalahan pelik akibat terkena dampak pandemi Covid-19.
Kondisi keuangan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) diketahui semakin membengkak seiring pandemi Covid-19 Pada triwulan I-2021. Perusahaan ini mencatatkan rugi bersih Rp 57,08 miliar, penurunan pendapatan tersebut dialami oleh semua lini bisnis Ancol.
Kehadiran Tom Lembong dengan pengalaman dan kapasitasnya diharap dapat memberikan strategi survival dan inovasi-inovasi baru bagi perusahaan sehingga dapat menyelamatkan perusahaan daerah yang sedang “sakit” ini karena keberadaan Ancol dinilai sangat penting bagi Pemprov. Tercatat pada tahun-tahun sebelumnya perusahaan ini adalah BUMD penyumbang keuntungan terbesar bagi pemerintah daerah.
Lalu, apakah hanya karena faktor ekonomi dan bisnis? Mungkinkah ada strategi atau taktik lain yang tengah dilakukan oleh Anies dalam memilih Tom Lembong sebagai komisaris di perusahaan tersebut?
Manuver Politik?
Sudah menjadi rahasia umum jika bisnis dan politik memiliki hubungan yang sejak lama saling mempengaruhi. Pada tataran makro, dalam sistem ekonomi dengan pasar bebas sebagai penggeraknya, para pengusaha dan pemerintah saling bekerja sama untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial atau lingkungan.
Sementara, pada tataran praktis, hubungan bisnis dan politik yang saling mendukung selalu bermuara pada kepentingan tertentu. Dalam hal ini, pengusaha punya kepentingan mempengaruhi pengambilan kebijakan yang bisa diupayakan oleh politisi. Sementara, politisi punya kepentingan untuk mendapatkan dukungan finansial memenangkan kontestasi elektoral macam Pemilihan Umum (Pemilu).
Dalam kasus ini sulit untuk tidak mengaitkan diangkatnya Tom Lembong oleh Anies dengan manuver politik. Seperti yang diketahui, Tom Lembong merupakan pengusaha yang mempunyai jejak politik yang panjang sebelumnya.
Beberapa sumber Rappler menyatakan Tom merupakan sosok pengusaha yang telah lama dekat dengan pusaran politik. Tom juga disebut memiliki jaringan luas dan teman politisi yang banyak – di antaranya adalah Happy Hapsoro yang merupakan suami Puan Maharani.
Terkait hal ini, menurut Marcus Mietzner, setidaknya ada tiga alasan mengapa pengusaha masuk ke dalam urusan politik Indonesia. Di antaranya adalah untuk mendapat perlakuan khusus untuk perusahaan mereka, meningkatkan karier politik, dan sikap oportunistis skala kecil
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, relasi antara Anies dan Tom Lembong bisa dimaknai lebih dari sekadar tentang motif ekonomi bisnis semata. Bisa saja ada unsur ekonomi politik yang muncul setelah pengangkatan jabatan komisaris ini. Lalu, seberapa penting peran Tom Lembong dalam kepentingan politik Anies?
Dalam konteks ini jika nantinya Anies akan maju pada kontestasi politik Pilpres 2024 ada beberapa modal politik yang perlu diperhatikan. Tulisan Hyun Jung Yun yang berjudul Polls and Elections Beyond Political Capital: Do Social and Economic Capital Matter? menjelaskan tentang modal yang dibutuhkan dan harus ada pada seorang calon presiden (capres), yakni modal sosial, modal ekonomi, dan modal politik.
Modal politik dapat dilihat dari dukungan politisi, partai politik, dan reputasi politik kandidat tersebut – seperti kredibilitasnya, kebijakan, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Sementara, modal sosial dapat diperoleh dari kepercayaan, interaksi, dan hubungan kandidat dengan komunitas atau masyarakat. Terakhir, untuk modal ekonomi, dibutuhkan pendanaan untuk melancarkan manuver kandidat dalam Pilpres.
Baca Juga: Anies-Sandi “Risih” Sama PKS?
Berangkat dari tulisan Yun, Anies dinilai memiliki modal yang cukup kuat jika ingin maju di Pilpres 2024. Dilihat dari modal sosial, Anies memiliki elektabilitas yang tinggi. Berdasarkan survei yang dilakukan berbagai lembaga nama Anies tak pernah keluar dari tiga besar capres elektabilitas tertinggi.
Berdasarkan modal politik, Anies juga dinilai mendapatkan dukungan politik dari aktor politik dan partai politik. Seperti yang diketahui, kedekatan Anies dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sudah menjadi rahasia umum. JK juga secara blak-blakan memberikan dukungan kepada Anies menjadi Calon Gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Kemudian, dari segi partai politik meski Anies bukanlah kader partai, ada dua partai yang telah memberi sinyal terang untuk mengusung Anies pada 2024, yakni Nasdem dan PKS. Di luar dari itu, tidak menutup kemungkinan partai lain juga akan merapat – mengingat elektabilitas Anies yang selalu konsisten masuk dalam tiga besar capres tertinggi.
Kepingan Terakhir Anies?
Meski begitu, dari segi modal ekonomi Anies dinilai masih lemah. Lain halnya dengan para kandidat capres lain seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, bahkan Puan Maharani, Anies dinilai belum memiliki modal ekonomi dan jaringan yang kuat.
Peneliti politik dari Northwestern University, Prof. Jeffrey Winters, juga pernah mengatakan kalau politik Indonesia juga tak lepas dari kekuatan insan bisnis yang menguasai sektor ekonomi dan bisnis. Maka dari itu, walau masyarakat memiliki kekuatan melalui suaranya, kekuatan itu masih dapat “ditunggangi” oleh para oligark yang dalam hal ini dimaknai sebagai pebisnis.
Oleh sebab itulah, para calon pemimpin negara ini tak hanya harus mampu mengendalikan ekonomi dan bisnis, melainkan juga dapat mengakomodir dan mengontrol kalangan oligark atau pebisnis tersebut.
Dari pemaparan-pemaparan tersebut, dalam konteks ini kehadiran Tom Lembong bisa dimaknai sebagai kepingan terakhir Anies yang dapat memenuhi kriteria di atas. Seperti yang telah dipaparkan di atas Tom dianggap memiliki jaringan yang cukup kuat sebagai modal dasar kapital ekonomi yang dapat mengakomodir dan mengontrol kalangan pebisnis.
Apalagi, friksi-friksi yang menguat antara Tom dengan Presiden Jokowi pada masa akhir jabatan semakin menguatkan tesis bahwa mantan Kepala BKPM tersebut tidak sedang berada dalam kubu yang sama dengan kubu pemerintah setidaknya sampai 2024 nanti.
Munculnya nama pengusaha seperti Tom Lembong dalam panggung politik ini sesungguhnya membenarkan teori investasi dalam persaingan politik (investment theory of politic competition). Dalam bukunya yang berjudul Golden Rule, the Investment of Party Competition and The Logic of Money-Driven Political System, ilmuwan politik Amerika Serikat yang bernama Thomas Ferguson mengatakan bahwa, dalam politik, peran para elite pengusaha sebagai aktor utama dalam sistem politik jauh lebih besar ketimbang masyarakat biasa yang memberikan pilihan politiknya.
Secara garis besar, teori ini membenarkan konteks mahalnya kontestasi politik bagi para aktor politik. Tanpa dukungan “the golden rule”, mustahil bagi calon presiden untuk memenangkan dukungan masyarakat.
Hal inilah yang membuat banyak aktor politik memandang penting hubungannya dengan pengusaha. Well, pada akhirnya kehadiran Tom Lembong dengan segala kapasitasnya bisa menjadi angin segar bagi Anies untuk menyelamatkan perusahaan daerah yang sedang “sekarat”.
Namun, hanya waktu yang bisa menjawab, apakah manuver Anies mengangkat Tom Lembong menjadi orang kepercayaan dalam mengelola perusahaan BUMD terbesar milik Pemprov DKI hanya berbasis pada tujuan ekonomi dan bisnis semata atau lebih jauh ini bisa dimaknai sebagai strategi politik. Hanya pihak terkait yang mengetahuinya. (A72)
Baca Juga: Anies Lebih Jago dari Giring?