Dengarkan artikel ini:
Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik di bawah pemerintahan ayahnya. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?
“He’s my father!” – Max Kenton, Real Steel (2011)
Hubungan antara ayah dan anak laki-laki sering kali menjadi fondasi penting dalam kehidupan. Kedekatan emosional yang terjalin tidak hanya membentuk karakter sang anak, tetapi juga memperkuat peran ayah sebagai sosok teladan.
Dalam perjalanan hidup, banyak anak yang mencontoh langkah-langkah ayahnya, baik dalam nilai-nilai, etika kerja, maupun keputusan-keputusan besar. Namun, hubungan ini tidak hanya bergerak satu arah. Ada kalanya anak justru menjadi sumber kekuatan bagi ayahnya, terutama ketika sang anak tumbuh dewasa dan mulai memahami dunia lebih luas.
Hal ini tergambar jelas dalam film Real Steel (2011), yang mengisahkan Charlie Kenton (Hugh Jackman), seorang mantan petinju yang awalnya jauh dari putranya, Max Kenton (Dakota Goyo). Dalam kisah itu, Max menemukan robot tua bernama Atom, dan bersama sang ayah, mereka menghidupkan kembali harapan dan semangat hidup melalui kerja sama memperbaiki robot tersebut.
Kisah ini menunjukkan bahwa hubungan ayah dan anak dapat memberikan kekuatan bahkan dalam situasi yang paling sulit. Hal ini juga berlaku dalam dunia politik, di mana hubungan ayah dan anak bisa menciptakan dinamika yang unik. Ketika seorang ayah memegang peran penting dalam pemerintahan atau organisasi politik, anaknya sering kali turut serta dalam berbagai diskusi atau bahkan mengambil bagian dalam aktivitas yang berpengaruh.
Sebaliknya, anak yang terjun ke dunia politik dapat membawa kebijaksanaan yang ia pelajari dari ayahnya, menciptakan harmoni antara generasi. Seperti Charlie dan Max yang menemukan kekuatan bersama, banyak hubungan ayah-anak dalam politik yang mampu membentuk perubahan besar melalui kerja sama yang erat.
Namun, apakah hubungan seperti ini hanya terbatas pada ikatan pribadi, atau justru memiliki dampak yang lebih luas? Mengapa hubungan ayah dan anak ini bisa mempengaruhi jalannya dinamika politik? Mengapa bahkan ini bisa mempengaruhi masa depan sebuah negara?
The Tale of the Sons
Peran anak laki-laki bagi ayah yang menjadi pemimpin sering kali melampaui sekadar hubungan keluarga, terutama ketika anak tersebut memiliki potensi untuk menghubungkan ayah mereka dengan kelompok pemilih yang lebih luas. Anak laki-laki, terutama yang tumbuh di era digital seperti Baron Trump, dapat memanfaatkan keahlian dan koneksi mereka dalam dunia maya untuk memperluas jangkauan politik ayah mereka.
Baron Trump, sebagai anak Gen Z, menunjukkan bahwa pemimpin politik modern tidak hanya bergantung pada cara konvensional dalam berkomunikasi, tetapi juga harus bisa beradaptasi dengan tren digital yang ada.
Meskipun usianya masih muda, Baron telah menunjukkan kemampuannya untuk menjangkau pemilih muda yang merupakan bagian penting dalam Pemilu AS 2024. Dengan memiliki koneksi yang kuat di kalangan generasi muda dan pemahaman tentang platform media sosial, Baron dapat membawa ayahnya lebih dekat dengan pemilih baru, khususnya mereka yang lebih memilih media digital dan podcast untuk mendapatkan informasi politik.
Dalam artikel “Defining Political Capital” oleh Kimberly Casey, dijelaskan bahwa modal politik tidak hanya datang dari kekuasaan atau uang, tetapi juga dari kemampuan untuk menghubungkan dengan kelompok-kelompok baru yang memiliki potensi untuk menentukan hasil pemilu. Baron, sebagai bagian dari Gen Z, memiliki modal politik ini dengan cara yang sangat relevan, yaitu melalui penggunaan media sosial dan platform daring yang menjadi andalan banyak pemilih muda.
Berkaca dari peran Baron ini, lantas bagaimana dengan peran sang anak di Indonesia, yakni Didit Hediprasetyo yang merupakan putra dari Presiden Prabowo Subianto? Mengapa Didit bisa memegang peran kunci dalam strategi politik Prabowo?
The Political Tale of Didit
Didit Hediprasetyo, putra tunggal Prabowo Subianto, memiliki modal politik yang unik, memanfaatkan keahliannya sebagai desainer internasional dan koneksinya yang luas.
Dalam artikel Defining Political Capital oleh Kimberly Casey, dijelaskan bahwa human capital, atau modal manusia, meliputi keahlian dan kemampuan yang membuat seseorang dianggap mumpuni di bidangnya. Didit, dengan reputasi sebagai desainer haute couture yang sukses, memiliki human capital yang menjadikannya sosok berpengaruh di lingkaran elite.
Keahlian Didit sebagai desainer tidak hanya memberinya pengakuan internasional tetapi juga koneksi ke banyak orang kaya yang menjadi pasar utama untuk karya haute couture. Hubungan ini memperkuat posisinya sebagai tokoh yang bisa memengaruhi kelompok tertentu yang kerap memiliki daya dukung finansial dan sosial yang signifikan dalam dunia politik.
Bukan tidak mungkin, koneksi-koneksi ini bisa menjadi aset strategis bagi ayahnya, Prabowo, dalam membangun citra sebagai pemimpin yang modern dan berkelas. Inipun juga berlaku bila Prabowo ingin meningkatkan modal politiknya, misal modal sosial melalui relasi.
Selain human capital, Didit juga memiliki modal sosial yang kuat, salah satunya adalah kedekatannya dengan Pinka Haprani, putri dari Puan Maharani. Foto kebersamaan mereka yang diunggah di media sosial mengindikasikan hubungan yang dekat, membuka peluang untuk Didit menjadi jembatan antara Prabowo (trah Soeharto-Djojohadikusumo) dan keluarga Megawati Soekarnoputri (trah Soekarno).
Pada akhirnya, dalam konteks politik Indonesia, di mana sejarah kedua keluarga ini sering kali bersinggungan, keberadaan Didit sebagai “the flamboyant bridge-builder” menjadi nilai tambah strategis bagi Prabowo. Layaknya Max dan Charlie di film Real Steel, bukan tidak mungkin Prabowo dan Didit menjadi duo ayah-anak yang siap menciptakan impact dalam perpolitikan Indonesia. (A43)