Site icon PinterPolitik.com

The King of Lip Service, Apa Salahnya?

The King of Lip Service, Apa Salahnya?

Foto: Instagram @bemui_official

BEM Universitas Indonesia (UI) telah hangat diperbincangkan karena unggahan “Jokowi The King of Lip Service”. Mengacu pada logika kekuasaan, lip service sebenarnya lumrah dilakukan. Namun, respons dari kekuasaan atas unggahan tersebut tampaknya menunjukkan tendensi kontrol tertentu.


PinterPolitik.com

“The story of the conflict between truth and politics is an old and complicated one.” — Hannah Arendt, dalam Truth and Politics

Lip service tengah menjadi frasa viral. Uniknya, dalam temuan Pascal Tréguer, frasa yang pertama kali ditemukan pada tahun 1590 ini pada awalnya merupakan sebuah doa. Ini ditemukan dalam A Treatise Against Witchcraft yang ditulis oleh Henry Holland.

Frasa lip service sendiri viral karena unggahan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai The King of Lip Service.

Ada empat komparasi yang ditunjukkan BEM UI dalam unggahannya. Pertama adalah pernyataan kangen didemo, namun berbagai aksi demonstrasi justru mendapatkan represi. Kedua adalah keinginan merevisi UU ITE, namun berbuah usulan pasal baru.

Ketiga adalah keinginan memperkuat KPK yang justru berakhir pada indikasi pelemahan. Keempat adalah penegasan Presiden Jokowi yang mempersilahkan Omnibus Law digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) begitu kontras dengan pernyataan agar MK menolak semua gugatan terhadap UU Cipta Kerja.

Baca Juga: KPK di Bawah Tangan Jokowi?

Keempat komparasi tersebut disimpulkan sebagai bentuk inkonsistensi antara pernyataan dengan kebijakan Presiden Jokowi. Ini kemudian menjadi landasan atas label The King of Lip Service.

Ya, seperti yang mudah ditebak, unggahan viral ini membelah publik, antara yang pro dan kontra. Terlebih lagi, terdapat surat dari Rektorat UI untuk memanggil BEM UI, serta penegasan unggahan tersebut melanggar aturan.

Lantas, fenomena politik apa yang dapat dimaknai dari unggahan BEM UI ini?

Hal Lazim?

Apabila menggunakan kacamata logika kekuasaan atau politik realis, unggahan BEM UI sebenarnya hanya menegaskan bagaimana cara kerja kekuasaan. Postulat itu terpampang nyata dilihat apabila membaca Il Principe dari Niccolo Machiavelli dan The Origins of Totalitarianism dari Hannah Arendt.

Meskipun Il Principe (1532) dan The Origins of Totalitarianism (1951) terpaut 419 tahun, kedua teks tersebut sebenarnya menyiratkan hal yang sama, yakni rumus menjaga kekuasaan. Apa yang disiratkan Machiavelli dan Arendt adalah biarkan masyarakat berada di tengah ketidaktahuan.

Dalam tulisannya Truth and Politics, Arendt lebih lugas memaparkannya. Tulisannya, “Tidak ada yang pernah meragukan bahwa kebenaran dan politik memiliki hubungan yang agak buruk satu sama lain.”

Lanjutnya, “Kebohongan selalu dianggap sebagai alat penting dan dibenarkan, tidak hanya untuk politisi dan demagog, melainkan juga sebagai keahlian seorang negarawan.”

Dalam kesimpulannya, Arendt seperti menunjukkan kesedihan dan kekalahan. “Melihat politik dari perspektif kebenaran, seperti yang telah saya lakukan di sini, berarti mengambil sikap di luar ranah politik”.

Singkatnya, entah sejak kapan, kebohongan telah menjadi begitu akrab dengan politik. Kebenaran, adalah tempat mereka yang terpinggirkan.

Kendati terdengar tidak bermoral, dalam buku Republic, Plato (Platon) uniknya memberikan justifikasi moral atas penekanan tersebut.

Baca Juga: Tidak Mungkin Jokowi Tidak Berbohong?

Namun perlu digarisbawahi, Plato tidak menyebutkan semua kebohongan itu dibenarkan, melainkan hanya kebohongan yang mulia atau noble lie. Ini adalah kebohongan yang dilakukan untuk menciptakan kohesi sosial atau untuk mewujudkan suatu agenda politik.

Contoh paling menarik dari noble lie adalah keadilan. Jika kita menyelami perdebatan etika atau teori-teori keadilan, mungkin akan banyak yang menemui kebuntuan karena perdebatannya begitu kompleks dan tidak jarang saling menegasi.

Ini misalnya tergambar dalam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada 16 Desember 2020.

“Memahami keadilan itu sulit. Saat Mas Fahri Hamzah menang Rp 30 miliar di Mahkamah Agung (MA) dalam gugatan pemecatan kepada PKS dia bilang, ‘ada keadilan’ di Indonesia. Sekarang, giliran kemenangan Rp 30 miliar itu dibatalkan oleh Peninjauan Kembali (PK) di MA juga, Ustaz Hidayat Nur Wahid yang bilang, putusan MA adil. MA adil terus, ya?,” begitu ujar Mahfud.

Pertanyaannya, mungkinkah pemerintah yang berkuasa dengan lantang menyebut keadilan itu hanyalah utopia? Sulit membayangkan itu dilakukan. Imbasnya besar, itu dapat menghancurkan kepercayaan terhadap hukum, rakyat menjadi anarkis, dan kohesi sosial dapat terpecah.

Poin ini yang disebut Plato sebagai noble lie. Pada kasus-kasus seperti itu, kebohongan justru harus dilakukan.

Di titik ini, pertanyaannya adalah, jika benar Presiden Jokowi telah melakukan lip service, apakah itu merupakan noble lie atau pure lie?

Indikasi Kontrol?

Jika merupakan noble lie, mudah menebak alasannya, yakni untuk mendinginkan tensi publik. Namun, bagaimana jika itu adalah pure lie. Seperti pertanyaan Vojin Golubovic dalam Inexperience or bad intentions of the new Montenegrin government?, apakah terdapat intensi buruk di baliknya?

Menurut Golubovic, selalu ada teatrikal di tengah-tengah isu dan ketegangan besar publik. Dalam banyak kasus, untuk meredam tuntutan, pemerintah sering memberlakukan kebijakan yang seolah-olah sesuai dengan keinginan masyarakat agar mendapatkan citra yang baik, namun di waktu yang sama aspirasi masyarakat justru tidak terjawab.

Penjelasan Golubovic tampaknya adalah apa yang menjadi jantung kritik dari unggahan BEM UI. Keempat komparasi tersebut menunjukkan pernyataan Presiden Jokowi yang seolah mengikuti tuntutan publik, namun justru seperti mengabaikannya.

Tidak hanya itu yang menjadi persoalan. Yang patut diperhatikan serius adalah respons dari kekuasaan atas unggahan tersebut. Pasalnya, pihak Rektorat langsung melayangkan surat pemanggilan. Yang menjadi masalah, dalih unggahan tersebut melanggar aturan mengacu pada aturan yang tidak tepat.

Disebutkan, unggahan BEM UI melanggar karena mencantumkan gambar presiden yang merupakan simbol negara. Padahal, dalam UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2009, yang tercantum sebagai simbol negara adalah bendera merah putih, bahasa Indonesia, burung garuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Baca Juga: Jokowi Tidak Sadar Otoriter?

Yang ditakutkan, pemanggilan tersebut adalah indikasi dari apa yang ditulis Rieke Diah Pitaloka dalam bukunya Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Dengan mengutip konsep banalitas dari Hannah Arendt, Rieke menyebutkan masyarakat secara tidak sadar telah memberi pelumrahan atas tindakan represif negara. Alhasil, secara tidak sadar mereka melakukannya pula.

Nah, spekulasi tersebut selaras dengan pernyataan berbagai pengamat politik, baik dalam maupun luar negeri yang menyebut pemerintahan Jokowi mengarah ke otoriter. Ini misalnya disebutkan Thomas P. Power dalam tulisannya Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline.

Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) juga menunjukkan tren kemunduran, di mana indeks demokrasi Indonesia pada 2020 mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir.

Well, pada akhirnya, persoalan ini kembali pada interpretasi kita masing-masing. Unggahan The King of Lip Service sendiri melahirkan pembelahan di tengah masyarakat. Kita bebas menentukan berada di kutub mana. (R53)

Exit mobile version