Terlepas dari tuduhan kecurangan yang terjadi di Pilpres 2019, berbagai analisis menyebut gaya komunikasi politik Prabowo jadi salah satu kelemahan mantan Danjen Kopassus itu. Sementara yang lain menyebutkan bahwa kondisi Indonesia saat ini memang tidak cocok dengan karakter Prabowo – hal yang dalam kondisi sebaliknya pernah terjadi pada Winston Churchill di Inggris. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“Anybody can become angry – that is easy, but to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way – that is not within everybody’s power and is not easy”.
:: Aristoteles (384-322 SM) ::
Situasi politik di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno beberapa waktu terakhir ini memang terus disorot pemberitaan. Koalisi kubu pasangan calon tersebut memanas setelah hubungan dengan Partai Demokrat kian menimbulkan gesekan.
Secara personal, pernyataan Prabowo saat mengunjungi Ketua Umum paratai tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk melayat pasca meninggalnya ibu negara, Ani Yudhoyono, makin memanaskan persoalan.
Ucapan Prabowo yang menyinggung pilihan politik Bu Ani kala itu langsung diklarifikasi oleh SBY yang tak ingin suasana duka keluarga diganggu oleh pernyataan politik – hal yang tentu menimbulkan kecanggungan politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini situasi politik cenderung kurang menguntungkan untuk Prabowo. Selain karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan kemenangan pasangan Jokowi Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, berbagai isu juga mencuat pasca kerusuhan 22 Mei 2019 lalu.
Terlepas dari berbagai tuduhan kecurangan yang terjadi dan masih dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), perjuangan Prabowo untuk memenangkan kursi kekuasaan memang mendapatkan benturan besar.
Berbagai pandangan kemudian bermunculan untuk menganalisis alasan atau kekurangan apa yang dianggap menjadi penyebab kondisi ini. Dari sudut pandang komunikasi politik misalnya, beberapa pihak menyebut gaya komunikasi politik Prabowo tidak begitu cocok dengan karakter masyarakat Indonesia. Hal ini salah satunya berkaitan dengan kekuatan dalam penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi.
Sementara analisis yang lain juga melihat konteks ini dari posisi Prabowo yang dianggap bukan sebagai pemimpin yang tepat di saat yang tepat untuk Indonesia. Benarkah demikian?
Prabowo, The Dynamic?
Sebagai politisi bertangan kuat alias strong-man politician, Prabowo Subianto merupakan politisi dengan karakter yang sangat kuat. Hal ini kemudian berdampak pada cara komunikasi dan pendekatan politiknya.
Gun Gun Heryanto dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menyebutkan bahwa gaya komunikasi Prabowo bertipe dynamic style. Menurut Gun Gun, gaya yang demikian ini ditunjukkan oleh kata-kata yang cenderung eksplisit, to the point dan menggunakan bahasa lugas. Gaya komunikasi ini sering juga disebut sebagai komunikasi apa adanya.
Kelemahan gaya komunikasi ini terjadi ketika maksud dan tujuan yang ingin dicapai dimaknai secara berbeda oleh publik atau lawan bicara. Hal ini cukup sering terjadi pada Prabowo. Publik mungkin ingat kata-katanya mengenai “tampang Boyolali”. Yang terbaru adalah yang disampaikannya terkait pilihan politik Ani Yudhoyono.
Istilah dynamic ini tentu berbeda dengan yang umumnya dipahami, utamanya untuk menyebut pemimpin yang mengubah-ubah gaya komunikasinya ketika berhadapan dengan lawan bicara atau audiens yang berbeda.
Gaya komunikasi dynamic cenderung terlihat dinamis dan agresif. Umumnya gaya komunikasi ini bisa dijumpai pada juru kampanye, orang-orang marketing dan sales.
Tujuannya adalah untuk menstimulasi, merangsang, dan memengaruhi orang lain untuk melakukan suatu tindakan. Gaya komunikasi ini sangat berorientasi pada tindakan, sehingga tepat digunakan dalam kondisi kritis.
Dalam konteks komunikasi politik, istilah ini sering diasosiasikan dengan ajakan-ajakan bahwa sesuatu akan lebih baik jika dilakukan dengan lebih efektif dan cepat.
Variabel cepat dan efektif ini sangat kelihatan dari bahasa kampanye politik Prabowo yang sering menggunakan terminologi macam “kehancuran bangsa”, “kebocoran kekayaan negara”, dan lain sebagainya, yang cenderung mengidentikkan dirinya sebagai solusi tercepat dari persoalan-persoalan tersebut.
Sementara, di kubu seberang, Jokowi cenderung sering menggunakan gaya komunikasi equalitarian. Gaya komunikasi ini biasanya bersifat turun ke bawah dan merangkul, serta menekankan pada kesederajatan.
Model komunikasi ini bisa dilihat dari penggunaan diksi yang lebih sederhana, terutama jika audiensnya mayoritas berasal dari kelas bawah. Orang yang equalitarian juga kerap membingkai pesan dengan mencoba untuk tetap menjaga harmoni.
Equalitarian style umumnya bertumpu pada adanya arus komunikasi timbal balik di mana komunikasi yang terjadi bersifat lebih terbuka. Gaya komunikasi ini efektif dalam membina empati dan kerja sama apabila digunakan secara tepat.
Dalam konteks Jokowi, menurut Ridwan Purwanto dalam salah satu tulisannya untuk International Journal of Progressives Sciences and Technologies, gaya komunikasi mantan Wali Kota Solo itu merupakan kombinasi equalitarian style dengan paduan budaya lokal.
Konteks lokalitas tersebut terlihat ketika ada yang mengistilahkan gaya komunikasi Jokowi sebagai “gaya Arek” yang lugas dari budaya Jawa Timur, serta “gaya Mataraman” yang mewakili budaya Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Gaya komunikasi ini membuat isu yang panas sekalipun bisa dikomunikasikan secara cair dan dingin – hal yang berbeda dengan tipe dynamic yang cenderung berapi-api.
Perbedaan style komunikasi politik ini nyatanya berdampak besar, terutama di masyarakat yang secara kultural – terutama budaya Jawa – masih cukup kuat. Ini terbukti dari hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU, di mana Jokowi unggul cukup jauh dibandingkan Prabowo di provinsi-provinsi yang secara kultural kuat ke-Jawa-annya dan – secara kebetulan – menjadi lumbung-lumbung suara.
Di Jawa Tengah misalnya, Jokowi-Ma’ruf unggul hingga 77,2 persen berbanding hanya 22,7 persen milik Prabowo-Sandi. Hal serupa juga terjadi di Jawa Timur, di mana Jokowi-Ma’ruf unggul dengan 65,9 persen berbanding 34,08 persen milik Prabowo-Sandi.
Di Yogyakarta, Jokowi-Ma’ruf unggul dengan 69,04 persen berbanding 30,96 persen milik Prabowo-Sandi. Bahkan di DKI Jakarta pun Jokowi-Ma’ruf unggul tipis dengan 51,6 persen berbanding 48,3 persen milik Prabowo-Sandi. Sebagai tambahan, di provinsi ibu kota ini, suku Jawa memang menduduki tempat teratas dalam hal populasi dengan 35,16 persen.
Praktis, Prabowo-Sandi hanya unggul atas petahana di Jawa Barat dan Banten yang nota bene adalah provinsi yang mayoritas didiami oleh suku non-Jawa, dalam hal ini suku Sunda.
Selain itu, gaya komunikasi Prabowo secara keseluruhan memang cenderung lebih dekat ke pendekatan politik ala Barat. Harold Crouch, salah satu peneliti terkemuka asal Australia yang karya-karyanya banyak membahas tentang politik Indonesia, menyebutkan bahwa Prabowo berasal dari keluarga post-colonial Dutch-educated.
Dalam bukunya yang berjudul Political Reform in Indonesia After Soeharto, Crouch menyebutkan bahwa konteks ini sedikit banyak membentuk karakter dan gaya komunikasi Prabowo dan membuatnya cukup berbeda dibandingkan orang Jawa pada umumnya.
Sekalipun memiliki latar belakang keturunan Jawa dari sang ayah, karakter Prabowo dan latar pendidikannya membuat gaya komunikasi politiknya menjadi berbeda dibanding politisi-politisi Jawa lainnya.
Sebetulnya, gaya dynamic ini coba diimbangi oleh pasangannya, Sandiaga Uno. Jika Prabowo cenderung top-down, Sandi dan aktivitas blusukannya dan berkunjung ke banyak wilayah mencoba lebih equalitarian. Namun, efeknya belum cukup mampu mengimbangi kekuatan politik Jokowi dan Ma’ruf Amin secara keseluruhan.
Right Leader for the Right Time?
Dalam ilmu filsafat, ada konsep yang disebut sebagai logic and language. Konsepsi ini menyebutkan bahwa bahasa – secara spesifik kalimat dan kata-kata – seringkali punya makna yang sangat banyak saat digunakan. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan konteks dan cara penyampaian.
Kalimat perintah misalnya, tidak selalu berarti menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu, tetapi bisa juga digunakan untuk menyampaikan perasaan. Artinya, semuanya tergantung bagaimana cara seseorang mengkomunikasikannya.
Dalam konteks Prabowo, gaya dynamic sebetulnya bukanlah hal yang buruk. Gaya ini juga terlihat dalam beberapa tokoh besar, misalnya Soekarno dan Winston Churchill di Inggris, yang cenderung menggunakan bahasa yang keras dan berapi-api ketika menyampaikan pesan-pesan politiknya.
Persoalannya, dua pemimpin ini hadir pada saat yang tepat, yaitu perang yang kritis. Soekarno membawa Indonesia keluar dari penjajahan Belanda, dan Churchill memimpin Inggris di saat-saat genting Perang Dunia II.
Seperti disinggung sebelumnya, gaya dynamic akan mampu menstimulus publik dan efektif untuk saat-saat kritis. Churchill – bila kita menyaksikannya dalam film The Darkest Hour – adalah karakter pemimpin yang keras, namun sering kali membuat penilaian-penilaian yang salah.
Guatam Mukunda dari Harvard Business School menyebut Churchill sebagai the right man at the right time – orang yang tepat untuk memimpin Inggris saat itu. Namun, menurut Mukunda, jika ia memimpin di waktu yang lain, ia bisa jadi pemimpin yang “buruk”.
Pun dengan Soekarno, adalah pemimpin yang tepat di saat yang tepat, yaitu saat perang kemerdekaan. Namun, ketika keadaan telah damai, ia terbukti tak mampu memperbaiki kondisi Indonesia, setidaknya tergambar dari krisis ekonomi di tahun 1960-an.
Konteks tersebut membuat gaya komunikasi politik Prabowo bisa dianggap kurang cocok saat ini. Pasalnya, Indonesia tidak sedang dalam keadaan genting dan perang. Sang jenderal sebetulnya sudah coba untuk mengubah gaya komunikasi politiknya – misalnya lewat wacana the new Prabowo – namun hal tersebut tidak kunjung terjadi hingga hari-hari pemungutan suara.
Yang jelas, analisis dan pandangan ini hanya bisa terjadi jika tudingan kecurangan dan pembuktiannya dikesampingkan. Sebab, jika kecurangan tidak terjadi, maka sangat mungkin gaya komunikasi politik Prabowo-lah yang menjadi alasan kegagalan menantu Soeharto itu. Tak ada yang tahu pasti, mari menunggu hasil sidang MK. (S13)