Dengarkan artikel ini:
IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun. Pada saat yang sama, banyak isu politik lain yang bikin publik riuh bergunjing: soal revisi UU TNI yang dipercaya akan memperkuat dwifungsi militer, korupsi yang terjadi di banyak sektor โ salah satunya di tubuh Pertamina โ hingga masalah lain seperti efisiensi APBN. Sorotan juga mengarah pada Menkeu Sri Mulyani yang sempat diwacanakan berniat untuk mundur dari jabatan.
Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia mengalami guncangan ekonomi dan politik yang semakin memperumit pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 7% pada Selasa, 18 Maret 2025 lalu menjadi salah satu tanda bahwa pasar tengah berada dalam ketidakpastian. Selain itu, efisiensi APBN yang diterapkan pemerintah berdampak pada sulitnya pendanaan, baik bagi sektor swasta maupun lembaga pemerintahan.
Selain faktor ekonomi, pemerintahan Prabowo juga dihadapkan pada isu-isu politik yang memicu kontroversi, seperti revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dinilai mengarah pada dwifungsi militer ala Orde Baru.
Kasus korupsi di Pertamina semakin memperburuk kepercayaan publik terhadap pemerintah, sementara transparansi APBN dipertanyakan akibat lambatnya pemaparan kinerja anggaran oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Setelah kinerja APBN dipaparkan pun publik akhirnya jadi tahu bahwa untuk awal tahun 2025 saja negara sudah mengalami defisit hingga Rp31 triliun.
Lebih lanjut, proyek Coretax senilai Rp1,3 triliun yang seharusnya menjadi tulang punggung sistem perpajakan malah menjadi beban karena sering mengalami gangguan teknis, berdampak pada rendahnya penerimaan pajak di awal tahun. Padahal, sistem super mahal ini telah dibangun sejak tahun 2018 lalu โ artinya waktu yang dibutuhkan untuk membangunnya sudah sangat lama.
Tak hanya itu, spekulasi mengenai pengunduran diri Sri Mulyani turut memperkeruh keadaan. Narasi ini diyakini menjadi salah satu pemicu anjloknya IHSG, dengan investor yang mulai mempertanyakan arah kebijakan ekonomi Indonesia. Kita tahu bahwa pasar sangat sensitif terhadap berbagai perubahan dalam kebijakan fiscal, termasuk jika berhubungan dengan potensi pergantian tampuk kepemimpinan di jajaran para pembuat kebijakannya.
Spekulasi juga bermunculan terkait adanya dugaan bahwa kelompok tertentu sedang โbermainโ dan mengancam untuk menekan pemerintah. Ini dalam konteks kebijakan-kebijakan populis Presiden Prabowo Subianto yang untuk beberapa waktu lamanya sudah diprediksi tak akan disukai oleh pasar. Makan Bergizi Gratis, efisiensi anggaran, wacana penertiban impor BBM, dan lain-lain adalah beberapa contoh di antaranya.
Pertanyaannya, dengan kondisi pasar yang punya potensi menekan kekuasaan, apa yang sesungguhnya perlu menjadi catatan Presiden Prabowo di pemerintahannya kali ini?
Stabilitas Politik dan Ekonomi
Gejolak ekonomi dan politik ini dapat dianalisis melalui beberapa teori dalam ilmu politik dan ekonomi. Samuel P. Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies menjelaskan bahwa ketidakstabilan politik sering terjadi di negara-negara yang mengalami perubahan ekonomi yang cepat tanpa adanya penguatan institusi politik. Dalam konteks Indonesia, reformasi ekonomi yang dilakukan Prabowo, termasuk efisiensi anggaran dan kebijakan seperti MBG, dapat menimbulkan resistensi dari kelompok yang merasa dirugikan.
Kita tahu efisiensi anggaran jelas menutup celah APBN yang selama ini jadi jalan bagi sektor swasta untuk bisa turut merasakan berkah anggaran negara, katakanlah lewat proyek-proyek pengadaan barang dan jasa, serta bentuk-bentuk lainnya.
Sementara itu, teori Investor Confidence dalam ekonomi menyatakan bahwa ketidakpastian kebijakan dapat berdampak pada penurunan investasi dan pergerakan pasar saham. Perubahan kebijakan yang mendadak, seperti pembatasan impor BBM dan perubahan struktur fiskal, dapat membuat investor bersikap hati-hati, sehingga memicu volatilitas di IHSG.
Dalam konteks birokrasi, teori Max Weber tentang rational-legal authority menyoroti bagaimana birokrasi yang efisien bergantung pada aturan yang jelas dan stabil. Kegagalan Coretax dalam meningkatkan efisiensi pajak misalnya menunjukkan adanya masalah dalam implementasi kebijakan fiskal, yang dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dari berbagai persoalan ini, ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik oleh pemerintahan Prabowo. Pertama, stabilitas ekonomi tidak dapat dicapai hanya dengan kebijakan efisiensi APBN jika tidak diiringi dengan strategi komunikasi yang kuat. Keterlambatan laporan APBN dan ketidakpastian di sektor perpajakan menunjukkan lemahnya koordinasi pemerintah dalam memberikan kepastian bagi investor dan masyarakat.
Kita tahu, transparansi adalah kunci kepercayaan bagi investor, baik di pasar saham, maupun dalam bentuk-bentuk investasi lainnya. Publik perlu tahu soal kondisi dan kinerja anggaran negara agar dibuka selebar-lebarnya karena menjadi kunci investor dan institusi internasional memberikan penilaian fiskal pada Indonesia.
Kedua, isu politik seperti revisi UU TNI menunjukkan bahwa masih ada tarik ulur kekuatan antara sipil dan militer. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menjadi ancaman bagi stabilitas demokrasi. Prabowo harus mampu memastikan bahwa revisi ini tidak mengembalikan praktik dwifungsi militer yang justru dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Bagaimanapun juga, masalah stabilitas politik yang berpotensi ditimbulkan oleh isu seperti revisi UU TNI bisa berdampak pada kepercayaan pasar pada pemerintah.
Ketiga, narasi tentang Sri Mulyani harus dikelola dengan hati-hati. Jika benar ada wacana pengunduran dirinya, pemerintah perlu segera mencari solusi untuk menghindari ketidakpastian yang lebih besar di pasar keuangan. Belakangan Sri Mulyani sudah membantah bahwa dirinya akan mundur. Komunikasi yang lebih straight forward terkait hal-hal seperti ini mutlak diperlukan.
Ini beralasan karena sebelumnya Sri Mulyani hanya memberi senyuman dan ekspresi yang bikin publik meragu ketika ditanyakan terkait wacana pengunduran dirinya. Jika tidak ada rencana pengunduran diri, maka perlu ada klarifikasi yang tegas agar spekulasi tidak semakin merugikan ekonomi nasional.
Apa yang Harus Dilakukan?
Dalam menghadapi situasi ini, Presiden Prabowo harus mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah perlu terus meningkatkan meningkatkan transparansi dan komunikasi terkait kebijakan fiskal. Publikasi kinerja APBN harus lebih tepat waktu, dan perbaikan sistem pajak seperti Coretax harus segera dituntaskan agar tidak semakin membebani penerimaan negara.
Kedua, stabilisasi pasar saham harus menjadi prioritas. Pemerintah bisa berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia untuk memastikan bahwa IHSG tidak terus anjlok akibat ketidakpastian kebijakan.
Ketiga, revisi UU TNI harus dibahas secara lebih terbuka dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi dan masyarakat sipil, agar tidak menjadi isu yang dapat memperburuk hubungan antara pemerintah dan rakyat. Prabowo sendiri harus menganggapi berbagai isu ini dengan lebioh terbuka.
Dari berbagai pemberitaan yang ada sejauh ini, presiden terlihat enggan mengomentari masalah ini. Padahal, pasar membutuhkan pernyataan resmi dan jaminan dari penguasa tertinggi di negara ini bahwa persoalan seperti revisi UU TNI tidak akan berdampak pada stabilitas politik negara.
Pada akhirnya, Prabowo harus menegaskan kembali posisinya sebagai pemimpin yang mampu mengelola berbagai tantangan politik dan ekonomi ini. Jika tidak, gelombang ketidakstabilan ini dapat menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan pemerintahannya dalam lima tahun ke depan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)