HomeHeadlineThe Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada...

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Dengarkan artikel berikut:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah. Pasalnya, kepemimpinan di daerah akan ikut jadi gambaran benturan elite di level teratas karena menjadi proxy pertarungan kepentingan. Khusus untuk di Pulau Jawa yang merupakan lumbung suara, pertarungannya akan sangat menentukan.


PinterPolitik.com

Di tahun 2018 lalu, isu tentang proxy pertarungan elite dalam Pilkada menjadi topik pergunjingan yang hangat. Dengan analogi kisah Greco-Persian War antara koalisi negara-negara Yunani Kuno melawan digdaya Kekaisaran Persia, semua kubu merapatkan barisan dan menghitung kekuatan di detik-detik akhir.

Kala itu tajuk pertarungannya adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melawan Prabowo Subianto yang diprediksi akan bertarung di Pilpres 2019. Pilkada 2018, khususnya di Pulau Jawa, diprediksi akan mempengaruhi kemenangan kandidat yang bertarung di Pilpres 2019. Catatannya adalah jika kandidat-kandidat ini mampu mengamankan kekuasaan kepemimpinan lokal untuk jatuh ke tangan orang-orang yang punya pertalian kedekatan politik maupun personal.

Tajuk The Battle of Javanesia kala itu menjadi tagline utamanya. “From Java to Indonesia”, demikian kurang lebih deskripsi dari Javanesia itu sendiri. Dan kini, hal serupa juga diprediksi akan terjadi lagi di Pilkada serentak 2024. Bedanya, kini efeknya bukan untuk Pilpres karena kontestasi elektoral itu sudah lebih dahulu terjadi di awal tahun ini. Pertarungan proxy di daerah ini dipercaya untuk mengukuhkan posisi elite nasional agar punya posisi tawar di antara satu dan lainnya.

Pilkada 2024 yang 4 kali lebih besar dibandingkan Pilkada 2018, setidaknya akan melibatkan 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Pulau Jawa lagi-lagi menjadi sentral karena semua provinsi di pulau ini – kecuali Yogyakarta tentunya – akan menyelenggarakan Pilkada.

Di daerah-daerah ini akan terjadi perang proxy antara presiden yang akan berakhir kekuasaannya, Jokowi, melawan presiden yang akan memimpin Indonesia 5 tahun ke depan, Prabowo. Selain antara Jokowi dan Prabowo, tarung Pilkada ini nyatanya juga menjadi persinggungan kepentingan antara Jokowi dengan patron politik lain, termasuk dengan Megawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum PDIP, dan menjadi ajang “raba-raba” koalisi.

Siapa yang akan menang?

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

The Battle of Javanesia 2

Ungkapan “Jawa adalah kunci” mungkin jadi poin utama mengapa Pilkada di Pulau Jawa penting. Walaupun demikian, hal ini tak berarti Pilkada di daerah-daerah lain, termasuk di level terbawah kabupaten/kota, tidak memiliki signifikansi berarti. Nyatanya, akumulasi pengaruh dari level terbawah hingga teratas-lah yang akan menjadi kunci utamanya.

Terkait perebutan pengaruh yang melibatkan Jokowi, bukan tanpa alasan sempat muncul usulan untuk memajukan waktu penyelenggaran Pilkada ke bulan September 2024. Ini karena Jokowi akan selesai masa jabatan di bulan Oktober 2024, sementara jadwal Pilkada serentak akan terjadi di bulan November 2024. Dengan menggeser Pilkada ke waktu saat Jokowi masih berkuasa, tentang ada pihak-pihak yang berharap sang presiden masih mampu menggunakan power atau kekuasaannya untuk mempengaruhi hasil akhir kontestasi elektoral daerah ini. Usulan tersebut memang pada akhirnya ditolak, tapi menjadi bukti bahwa argumentasi proxy perebutan pengaruh di Pilkada itu benar-benar terjadi.

Kemenangan dalam Pilkada di berbagai daerah, termasuk di Pulau Jawa, memiliki dampak yang signifikan pada pertarungan elite nasional karena menjadi sarana untuk mengukuhkan ikatan antara elite dengan kekuasaan di daerah.

Ini bukan hanya tentang posisi Bupati, Wali Kota, atau Gubernur, tetapi juga tentang bagaimana dinamika politik lokal tersebut dapat memengaruhi arena politik nasional. Point utamanya adalah karena Pilkada adalah panggung showcase. Pilkada seringkali menjadi panggung bagi para politisi lokal untuk memamerkan kemampuan dan popularitas mereka. Kemenangan yang impresif dapat meningkatkan citra politik seseorang dan mendapatkan perhatian dari elite politik di tingkat nasional.

Kemudian, kemenangan dalam Pilkada memberikan akses langsung ke sumber daya dan dukungan politik di daerah tersebut. Ini termasuk kontrol terhadap anggaran daerah, pengaruh terhadap birokrasi, dan dukungan dari kelompok politik lokal. Para elite politik yang menguasai posisi tersebut dapat menggunakan sumber daya ini untuk memperkuat basis politik mereka, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Selanjutnya, elite politik yang kuat di tingkat lokal seringkali memiliki pengaruh besar dalam menentukan isu-isu politik nasional yang akan diangkat. Kemenangan dalam Pilkada memungkinkan mereka untuk membawa isu-isu penting dari daerah mereka ke tingkat nasional, dan dengan demikian mempengaruhi agenda politik secara lebih luas.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Kemenangan dalam Pilkada juga dapat menjadi pertaruhan dalam pertarungan kekuatan di dalam partai politik. Elite politik yang berhasil memenangkan Pilkada dapat meningkatkan posisi dan pengaruh mereka di dalam partai, yang pada gilirannya dapat membantu mereka dalam memperebutkan kekuasaan di tingkat nasional.

Dengan demikian, kemenangan dalam Pilkada tidak hanya tentang kontrol terhadap wilayah tertentu, tetapi juga merupakan pertaruhan penting bagi elite politik dalam memperkuat pengaruh dan memengaruhi dinamika politik di tingkat nasional. Para politisi dan tokoh-tokoh yang ada di belakangnya yang berhasil memenangkan Pilkada memiliki potensi untuk menjadi pemain utama dalam pertarungan politik nasional dan memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan dan arah politik negara.Top of Form

The Spiritual Head

Dalam tulisannya yang berjudul “Election Campaign: A Strategic Theory, Soumendra N. Bagchi menyebutkan bahwa salah satu role utama yang penting dalam kampanye politik adalah spiritual head. Orang tersebut adalah yang menentukan arah kekuasaan calon tertentu dan bahkan berpeluang ikut menentukan hasil akhir sebuah kontes politik.

Dalam konteks Pilkada Javanesia, Jokowi adalah salah satu spiritual head. Secara politik, sang presiden punya kepentingan yang sangat besar mengamankan Javanesia demi mempertahankan relvansi pengaruhnya jika sudah tak lagi menjabat. Akan lebih mudah bagi Jokowi jika mampu menempatkan “sekutunya” di pucuk-pucuk kekuasaan daerah-daerah ini.

Di sisi seberangnya, Prabowo Subianto juga adalah spiritual head. Jika ambisi Prabowo adalah keluar dari bayang-bayang pengaruh Jokowi, maka selayaknya ia harus ikut mempengaruhi kepemimpinan lokal. Pasalnya, dengan kondisi saat ini, misalnya soal isu permintaan 5 kursi menteri oleh Jokowi, dan lain lain, menunjukkan sang presiden masih akan sangat mempengaruhi pemerintahan Prabowo.

Jika tak mengamankan kekuasaan di tingkat lokal, bukan tidak mungkin Prabowo akan tersandera karena tak punya kontrol atas kepemimpinan di daerah. Oleh karena itu, penting bagi Prabowo untuk menang sepenuhnya juga di daerah.

Ini juga sama halnya dengan elite lain, macam Megawati Soekarnoputri. Kemenangan Pilkada akan menjadi daya tawar partai andaikata PDIP menjadi oposisi. Pasalnya, banyak yang menyebut PDIP sukses jadi oposisi di 2 periode kekuasaan Presiden SBY karena mampu berkuasa atas daerah.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.