Rumor persyaratan yang diajukan Prabowo untuk jadi cawapres Jokowi, masih santer terdengar. Mungkinkah Prabowo serius atas permintaannya tersebut?
PinterPolitik.com
“Strategi tanpa taktik adalah rute paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah suara sebelum kekalahan.” ~ Sun Tzu, The Art of War
[dropcap]D[/dropcap]alam kisah kepahlawanan Tiongkok Kuno, nama jenderal besar dan ahli perang Sun Tzu sudah tak asing lagi. Panglima perang yang menaklukkan musuh hanya dengan menenggelamkan seluruh wilayahnya serta memancung kepala selir kesayangan Kaisar Wu hanya karena tidak disiplin ini, dikenang lewat buku The Art of War.
Walau seni perang fisik di era Tiongkok Kuno sudah ditinggalkan, namun 36 Strategi Perang yang dikumpulkan Sun Tzu setelah runtuhnya Dinasti Han hingga berdirinya Zaman Tiga Negara ini, masih dapat diterapkan. Termasuk dalam perebutan kekuasaan melalui jalur konstitusional, seperti dalam Pilpres 2019 nanti.
Salah satu sosok yang diketahui ikut mengadaptasi seni berperang ala jenderal yang hidup pada 545 hingga 470 SM, adalah Prabowo Subianto. Sejak mengalami kekalahan di Pilpres 2019, mantan Danjen Kopassus ini seakan “bertapa”. Namun dalam pertapaannya tersebut, Ketua Umum Gerindra ini juga sebenarnya tidak sepenuhnya meninggalkan “gelanggang pertempuran”.
Berdasarkan salah satu strategi Sun Tzu, untuk menghadapi “musuh” yang memiliki kekuasaan, maka serangan dapat dilakukan dari sesuatu yang berharga darinya. Serangan yang bertubi-tubi pada sesuatu atau seseorang yang berharga bagi musuh, semakin lama akan membuat musuh menjadi lemah dan mudah dijatuhkan.
Saat Jokowi terpilih sebagai Presiden di 2014 lalu, ia meraih dukungan mayoritas suara yang murni dari masyarakat. Maka dukungan yang ia raih dari kegiatan blusukan ini, merupakan sesuatu yang berharga baginya. Walau dukungan partai politik lebih banyak di kubu Prabowo, namun Jokowi membuktikan kekuatan rakyat lebih kuat dari parpol.
Untuk menyerang kelemahan Jokowi tersebut, Prabowo juga menggunakan strategi Sun Tzu lainnya, yaitu melalui “tangan” orang lain. Strategi ini sangat menguntungkan, karena dapat dilakukan dari segala arah. Tak heran bila dari awal Pemerintahannya, Jokowi seperti memiliki “fans” yang khusus mengkritik segala kebijakannya. Mereka tak hanya datang dari kubu Gerindra, tapi juga partai koalisinya, seperti PKS dan PAN.
Suara-suara “miring” yang terus menerus diserukan oleh pihak oposisi ini, terbukti memang membuat “gerah” Jokowi dan juga kabinet kerjanya. Apalagi walau elektabilitasnya dikabarkan menurun, Prabowo tetap memiliki pendukung yang tak hanya loyal, tapi juga cenderung fanatik. Jadi wajar bila Jokowi dikabarkan berupaya meminang Prabowo sebagai orang nomor duanya di Pilpres nanti.
Di sinilah permasalahannya, sebagai penganut Sun Tzu, tentu pantang bagi Prabowo untuk menerima tawaran Jokowi saat partainya sendiri telah memberinya mandat untuk diusung sebagai capres. Namun pertanyaannya, mengapa Prabowo meminta syarat yang tak mungkin diberikan oleh Jokowi? Apakah ia hanya berupaya menolak secara halus, atau mencoba meraih peluang yang tak mungkin?
Tarik Menarik Taktik
“Sebuah operasi militer juga melibatkan tipu muslihat. Walau kompeten, perlihatkan layaknya tidak kompeten. Walaupun efektif, bersikaplah seolah tak efektif.
Wacana menyatukan Jokowi dan Prabowo, belakangan memang santer terdengar. Bahkan tak sedikit pihak-pihak yang setuju dengan duet tersebut, diantaranya adalah Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Sekjen PPP Arsul Sani. Bagi mereka, Jokowi dan Prabowo ideal untuk disatukan agar tak ada lagi pertarungan tajam di Pilpres yang dapat menyebabkan perpecahan dan luka yang tak kunjung sembuh dalam masyarakat.
Namun, tak jelas siapa yang pertama kali menggaungkan opsi tersebut. Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Romi pernah mengatakan kalau Gerindra lah yang pada awalnya menawarkan kemungkinan itu pada Jokowi. Meski begitu, usulan ini ditolak oleh sebagian besar parpol koalisi. Pernyataan Romi ini, bahkan diamini oleh Ketua Pemenangan Gerindra yang juga Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.
Namun berbeda dengan respon kader Gerindra lainnya, seperti Fadli Zon yang menolak mentah-mentah pernyataan tersebut. Menurutnya, tak mungkin Prabowo mau “turun tahta” hanya menjadi cawapres. Ia bahkan balik menuding kalau pihak Jokowi lah yang tengah panik karena elektabilitasnya tengah melorot, walau dari hasil survei Kompas baru-baru ini elektabilitas Jokowi sebenarnya justru mengalami kenaikan.
Golkar sendiri menggadang-gadang Ketua Umum @Airlangga_hrt untuk maju menjadi cawapres @Jokowi. Namun Bamsoet menilai @Prabowo adalah cawapres ideal setelah @Pak_JK . Bamsoet menilai @Golkar5 menyerahkan urusan cawapres ini kepada Jokowi. pic.twitter.com/BVV3ixX7xd
— Bambang Soesatyo Quotes (@BamsoetQuotes) April 26, 2018
Terlepas dari polemik di atas, sebenarnya sangat wajar bila Jokowi membuka tawaran koalisi bagi Gerindra. Bahkan belakangan diketahui, kalau Jokowi juga melakukan pendekatan pada PKS dan PAN. Menurut Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior, mantan Walikota Solo tersebut tengah melakukan taktik make everyone a winner melalui proses kerjasama atau collaborating dengan mengubah lawan menjadi sekutu atau mencari solusi yang dapat menguntungkan semua pihak.
Hanya saja apa yang dilakukan Jokowi ini, kemudian diplintir kembali oleh kubu Gerindra melalui taktik sebaliknya, yaitu attack and blame atau dengan menyebarkan informasi atau fakta-fakta yang menjatuhkan lawan. Padahal sikap reaktif yang dilakukan sangat sengit ini, dapat juga diartikan berbeda di mata masyarakat. Seperti yang dikatakan Sun Tzu di atas, tipu muslihat dapat dilakukan untuk mengelabui musuh dalam upaya menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Apalagi, Jokowi sendiri secara langsung telah mengakui pernah mengajak Gerindra untuk bergabung dengan koalisinya. Namun satu yang belum jelas, apakah benar kabar yang dituliskan John McBeth di Asia Times kalau Prabowo meminta tujuh kursi kabinet dan termasuk menteri pertahanan, bila ia bersedia mendampingi Jokowi?
Prabowo, Sang Pretorian?
“Setiap orang dapat melihat taktik penaklukan yang saya lakukan, namun apa yang tidak bisa dilihat orang lain adalah strategi apa yang digunakan untuk meraih kemenangan.”
Strategi untuk meraih kemenangan, menurut Sun Tzu, merupakan rahasia yang hanya bisa diketahui oleh Panglima perang itu sendiri walau taktik yang digunakan dapat “dibaca” oleh pihak lain. Sehingga apapun yang ada di benak Prabowo ketika menyanggupi tawaran Jokowi dengan syarat yang cukup berat dan terkesan tak mungkin tersebut, tentu hanya ia sendiri yang mengetahuinya.
Dalam suatu koalisi, permintaan tujuh kursi menteri – termasuk komando penuh militer di kementerian pertahanan, adalah permintaan “egois” dan seolah mengesampingkan kepentingan parpol koalisi lain yang telah lebih dulu merapat ke Jokowi. Di sisi lain, kekuasaan sebesar itu, dapat pula diartikan kalau Prabowo berusaha “mengambil alih” pemerintahan dengan menguasai sebagian besar posisi strategis negeri.
Dengan kata lain, apabila permintaannya tersebut terpenuhi, Jokowi sama saja bersedia memberikan tampuk kekuasaan secara sukarela pada Prabowo. Atau katakanlah itu sebagai “kudeta damai”, pengambilan kekuasaan tanpa pertarungan. Persis seperti yang pernah dilakukan Sun Tzu, walau dengan cara yang “lebih manusiawi”. Sehingga bagi pihak penguasa, kalau pun benar Prabowo meminta syarat tersebut, sudah pasti akan segera ditolak.
Namun di sisi lain, penolakan Prabowo tersebut juga mencerminkan kalau dirinya adalah seorang Tentara Pretorian, yaitu sikap seorang prajurit yang cenderung tidak puas atau tidak mempercayai kepemimpinan sipil. Menurut Amos Perlmutter dalam bukunya, Militer dan Politik, menyebutkan kalau kaum pretorian memang lebih sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris dan secara ideologis terpecah-pecah.
Berdasarkan Perlmutter pula, sikap Prabowo yang cenderung menentang keabsahan pemerintahan sipil dan memaksimumkan militer melalui organisasi politiknya ini, menandakan dirinya merupakan seorang Pretorian Ekstrim atau tipe militer penguasa. Meski begitu, Eric A. Nordlinger dalam bukunya Soldier in Politics, menegaskan kalau seorang Pretorian juga tidak mungkin melakukan kudeta terhadap pemerintahaan sipil yang sah.
Padahal kalau saja Prabowo ingin mengambil alih kekuasaan, tawaran Jokowi merupakan peluang bagus baginya untuk membangun kekuatan dan mengambil alih kekuasaan diam-diam dari dalam. Tapi sebagai prajurit pretorian, kelihatannya Prabowo memang lebih suka menggunakan taktik Offensif Strategy ala Sun Tzu, yaitu dengan mengambil alih kekuasaan secara utuh – melalui Pilpres 2019, daripada membuat kehancuran bagi bangsa dan negaranya. (R24)