Band ternama asal Britania (Inggris) Raya, The 1975, menjadi buah bibir warganet di Indonesia dan Malaysia pada akhir pekan lalu setelah insiden ciuman antara Matty Healy dan Ross MacDonald. Mengapa aksi mereka menjadi problematis?
“There’ll be a riot, ‘cause I know you” – The 1975, “Robbers” (2013)
Siapa yang tidak senang bila akhirnya bisa menonton musisi idolanya? Semua orang pasti menunggu momen-momen itu dalam hidupnya.
Namun, apa yang bakal dirasakan apabila momen yang ditunggu-tunggu itu batal begitu saja karena alasan remeh? Tentu, kekecewaan besarlah yang akhirnya datang.
Bayangkan Anda sudah membeli tiket konser dari jauh-jauh hari dengan menyisihkan uang yang sudah ditabung dalam jangka waktu yang lama – menjadi momen krusial dalam hidup karena pengorbanan itu dilakukan demi momen tersebut.
Mungkin, bayangan inilah yang akhirnya dirasakan oleh para pembeli tiket festival musik tahunan, We The Fest (WTF) – sebuah festival musik yang terkenal dengan lineup yang biasanya terdiri dari musisi-musisi internasional.
WTF tahun ini, misalnya, diisi oleh beberapa musisi terkenal seperti The Kid LAROI, Lewis Capaldi, dhruv, Daniel Caesar, Ty Dolla $ign, dan sebagainya. Nah, ada satu musisi asal Britania (Inggris) Raya yang sebenarnya juga ditunggu-tunggu tetapi pada akhirnya batal tampil, yakni The 1975.
Hmm, rasa kecewa pun pasti bukan main terasa, apalagi bagi mereka yang datang dari luar kota hanya untuk menonton Matty Healy dan kawan-kawan. Padahal, banyak dari mereka sudah siap untuk menyanyikan lagu-lagu seperti “Robbers” (2013), “Somebody Else” (2016), dan “About You” (2022).
Pembatalan ini dikabarkan terjadi akibat aksi sang vokalis, Matty, yang mencium teman se-band-nya, Ross MacDonald, di atas panggung dalam acara Good Vibes Festival 2023 di Sepang, Selangor, Malaysia. Aksi itu juga diikuti dengan kritik Matty terhadap aturan-aturan yang dianggap diskriminatif terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan sebagainya (LGBTQ+).
Sontak saja, aksi Matty ini langsung menuai kritik dari banyak kalangan di Malaysia dan Indonesia – mengingat dua negara ini berpenduduk mayoritas Muslim. Aktivis dan komunitas LGBTQ+ di dua negara ini juga ikut memprotes aksi The 1975 dan menganggap Matty dkk malah menghambat perjuangan mereka.
Alih-alih meminta maaf, Matty malah mengkritik balik pihak-pihak yang mengkritiknya – terlihat dari beberapa unggahannya di Instagram. Reaksi ini juga membuat warganet semakin risih dengan Matty.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Matty tetap percaya diri akan aksinya tersebut meski dikritik oleh banyak pihak. Lantas, mengapa Matty dkk juga perlu berhati-hati untuk memahami konteks budaya LGBTQ+ di Asia Tenggara?
White Savior Complex ala The 1975?
Mungkin, perasaan risih atau kesal bisa saja muncul ketika seseorang memberikan koreksi kepada diri kita. Bahkan, tidak jarang, koreksi atau teguran itu datang dari orang yang belum tentu memahami konteks.
Bisa jadi, inilah apa yang kerap digambarkan sebagai white savior complex. Istilah “white savior” sendiri kerap disematkan kepada mereka yang merupakan keturunan Kaukasia yang dianggap mempunyai solusi atau gagasan terbaik untuk menyelesaikan suatu persoalan di masyarakat non-kulit putih.
Mengacu ke tulisan Felix Willuweit yang berjudul De-constructing the ‘White Saviour Syndrome’: A Manifestation of Neo-Imperialism, seorang white savior merasa gagasan mereka ini adalah gagasan paling benar dan universal sehingga gagasan yang lain tampak tidak solutif. Tidak jarang, seorang white savior juga tidak memahami secara menyeluruh konteks dari masyarakat setempat.
Istilah ini juga dekat dengan studi kolonialisme – yang mana membahas bagaimana kekuasaan di suatu wilayah dikendalikan secara politik dan ekonomi oleh entitas negara atau masyarakat lain.
Terdapat satu ciri khas dari upaya kolonisasi, yakni dengan memaksakan cara-cara mereka terhadap masyarakat yang dijajah atau dikolonisasi – mulai dari budaya, agama, sistem ekonomi, sistem politik, hingga nilai dan norma yang mereka yakini.
Salah satu contoh white savior complex adalah ketika Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia pasca-Perang Dunia II. Kala itu, Ratu Wilhelmina menawarkan pembentukan negara baru dalam sistem persemakmuran – dengan alasan agar transisi sistematis bisa terjadi dengan lebih stabil.
Namun, tawaran ala Belanda ini ditolak karena, pada akhirnya, pembentukan negara baru ini bisa saja mengikuti apa yang sejalan dengan kepentingan Belanda. Padahal, belum tentu apa yang dijalankan oleh orang-orang Indonesia sendiri akan lebih buruk.
Nah, sudah menjadi rahasia umum bahwa, semakin ke sini, nilai-nilai persamaan hak terhadap komunitas LGBTQ+ menjadi nilai yang diyakini luas di masyarakat Barat – baik di benua Amerika maupun benua Eropa. Ini terlihat dari tren legalisasi terhadap pernikahan sesama jenis di negara-negara tersebut.
Menjadi masuk akal apabila Matty dkk meyakini bahwa nilai inilah yang dianggap paling sesuai secara universal – termasuk perlu diterapkan juga di Malaysia yang memiliki aturan diskriminatif terhadap komunitas LGBTQ+.
Namun, persoalan white savior complex ini bukanlah hanya persoalan siapa yang paling benar atau siapa yang salah, melainkan bagaimana sebenarnya ada keperluan untuk memahami konteks kultural suatu masyarakat. Mengapa The 1975 justru salah kaprah soal komunitas LGBTQ+ di Indonesia, Malaysia, dan masyarakat Asia secara lebih luas? Mengapa mereka justru gagal paham soal LGBTQ+ di Asia?
Matty dkk Gagal Paham ‘LGBT’ Timur?
Sudah bukan hal yang asing lagi bahwa budaya setiap masyarakat di wilayah yang berbeda selalu bersifat unik di antara satu sama lain. Namun, bukan berarti, LGBTQ+ adalah diskursus asing di setiap budaya.
Setidaknya, mengacu pada buku Charles Hampden-Turner dan Fons Trompenaars yang berjudul Building Cross-Cultural Competence: How to Create Wealth from Conflicting Values, terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk memahami budaya – termasuk nilai di dalamnya, yakni universalisme dan partikularisme.
Universalisme lebih menekankan pada bagaimana menerapkan nilai, norma, dan aturan kepada setiap bagian dari masyarakat secara sistemis. Dalam arti lain, semua orang harus mengikuti serangkaian nilai tersebut.
Ini juga yang akhirnya diterapkan secara global dalam penentuan hak asasi manusia (HAM) – seperti dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang disepakati banyak negara.
Namun, ada juga pendekatan partikularisme yang meyakini bahwa setiap masyarakat memiliki keunikan dan perbedaannya sendiri-sendiri. Alhasil, terdapat semacam penyesuaian nilai terhadap setiap negara atau masyarakat.
Inipun juga berlaku dalam nilai dan diskursus LGBTQ+ di setiap masyarakat. Perbedaan antara masyarakat Barat dan Asia inilah yang luput dari perhatian The 1975. Alhasil, benturan-lah yang terjadi ketika Matty dkk melakukan aksi demikian di panggung.
Mengacu ke tulisan Maimunah yang berjudul Understanding Queer Theory in Indonesian Popular Culture: Problems and Possibilities, perbedaan diskursus LGBTQ+ antara masyarakat Barat dan masyarakat Indonesia terletak pada subyek yang dibahas.
Pada masyarakat Barat, hasrat dan keinginan seksual dalam komunitas LGBTQ+ menjadi salah satu hal yang dibicarakan. Maka dari itu, tidak heran apabila Matty dkk justru lebih membahas perihal keinginan berciuman – melalui aksi Matty dan Ross.
Namun, di masyarakat Asia, terutama Indonesia, diskursus LGBTQ+ lebih berfokus pada posisi gender. Masyarakat Indonesia merasa lebih familiar dan relevan dengan gender-gender di luar laki-laki dan perempuan daripada pembahasan seksualitas.
Identitas waria (wanita-pria), misalnya, sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dengan kehadiran mereka di tengah-tengah gender laki-laki dan perempuan. Sejumlah budaya lokal bahkan juga mengakui gender ketiga.
Ini mengapa masyarakat Asia – khususnya Indonesia – menjadi sensitif dengan insiden Matty dkk di Malaysia. Pada akhirnya, pertanyaan lanjutannya adalah: bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi kalau memahami saja tidak mau? Bukan begitu? (A43)