Permintaan Kemendagri pada Pemprov DKI Jakarta untuk menghapus anggaran TGUPP dari APBD, tak hanya menimbulkan permasalahan alokasi dana, tapi juga evaluasi mengenai kepentingan peran tim tersebut.
PinterPolitik.com
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku kaget saat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo memintanya menghapus pos anggaran Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2018. Apalagi, koreksi yang diminta bukan hanya dari sisi besaran anggarannya saja, tetapi menghapus alokasi dana bagi TGUPP secara keseluruhan.
Sebagai Ibukota negara, DKI Jakarta tak hanya merupakan pusat pemerintahan tapi juga perekonomian bangsa, di samping sosial budaya yang ada di dalamnya. Permasalahan DKI Jakarta yang begitu kompleks, pada akhirnya membutuhkan optimalisasi kinerja pemerintahan daerahnya.
Karena itulah, saat Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta bersama wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di tahun 2012, keduanya berupaya mengoptimalkan kinerja pemerintahan agar lebih efektif dan efisien dengan membentuk sebuah tim, yaitu TGUPP.
Pada masa itu, TGUPP yang dibentuk Jokowi bertujuan untuk melakukan akselerasi program pembangunan Ibukota. Tim ini akan memberikan saran kepada Gubernur terkait program-program kerja strategis. Selain itu, TGUPP juga dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Mari bandingkan soal TGUPP sejak era Jokowi, Ahok dan Anies. Masalahnya ada Anies gak mau dana operasionalnya kepotong. Simpel aja itu pic.twitter.com/WVqTY1Xaoa
— IG: ulinyusron (@ulinyusron) December 24, 2017
Jadi sebenarnya TGUPP memiliki peran penting dalam membantu kinerja Gubernur untuk memahami program strategis yang perlu diprioritaskan di Jakarta. Namun di sisi lain, pembentukan TGUPP juga penuh dengan kepentingan yang membuatnya menjadi tidak independen. Karena itu, tanpa ada sokongan dana, dapatkah TGUPP dipertahankan keberadaannya?
Urgensi TGUPP
Seperti yang telah dijelaskan, tugas TGUPP adalah sebagai pemberi saran bagi Gubernur saat melakukan pertimbangan strategis. Ada banyak program DKI Jakarta yang harus dikaji dan dianalisis secara mendalam, sebelum diterapkan. Dengan bantuan TGUPP, kebijakan yang dihasilkan akan dapat lebih optimal dan tepat sasaran. Inilah mengapa keberadaannya dianggap vital bagi pembangunan Ibukota.
Di mata gubernur, TGUPP juga memiliki posisi istimewa, sebab berada di bawah wewenangnya langsung dan dianggap sebagai mata, telinga, kaki, dan tangan Gubernur. Peran strategis yang sangat membantu Gubernur ini, dinilai sebagai urgensi dari eksistensi TGUPP itu sendiri.
Bila memang eksistensi tim ini begitu penting, lalu mengapa Mendagri menginginkan agar alokasi dana yang diajukan Gubernur DKI diminta dihapuskan? Ada banyak faktor yang menyebabkan alokasi dana TGUPP tersebut dicoret oleh Tjahjo Kumolo.
Pertama karena jumlah tim yang sebelumnya hanya 15 orang, ditambah hingga menjadi 73 orang. Kedua, Gubernur memasukkan pos anggaran TGUPP ke dalam APBD 2018. Anggaran yang awalnya hanya sekitar Rp. 2,3 miliar tersebut, setelah dibahas di DPRD DKI Jakarta, naik menjadi Rp. 28,5 miliar. Ketiga, Anies juga membagi tim tersebut ke dalam lima bidang, yaitu bidang pengelolaan pesisir, ekonomi dan lapangan kerja, harmonisasi regulasi, pencegahan korupsi, dan percepatan pembangunan.
Membengkaknya jumlah tim dan anggaran yang diajukan Anies ini, pada akhirnya menciptakan kritik dari sejumlah pihak. Terutama karena anggarannya jadi naik berkali-kali lipat. Banyak pihak menduga, TGUPP bentukan Anies merupakan barter terhadap tim suksesnya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta lalu. Bila benar, maka balas budi dalam bentuk TGUPP ini memang patut untuk dipertanyakan.
TGUPP dari Masa ke Masa
Saat menjabat sebagai gubernur, Jokowi pernah membuat landasan hukum untuk pembentukkan TGUPP, yaitu Peraturan Gubernur (Pergub) No. 83 Tahun 2013. Pada saat itu, Jokowi menginginkan adanya tim langsung di bawah Gubernur dalam menata kebijakan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun TGUPP yang dibentuk Jokowi hanya berjumlah tujuh orang, dan dipimpin oleh seorang ketua merangkap anggota, wakil merangkap anggota, dan anggota. Dana operasional tim tersebut tidak berasal dari APBD, namun dari dana operasional Gubernur. Anggaran yang dikeluarkan, hanya khusus untuk tunjangan statis anggota yang jumlahnya hanya sekitar Rp. 31,5 juta.
Saat posisi Jokowi digantikan Ahok, peraturan tersebut di revisi menjadi Pergub No. 163 Tahun 2015. Alasan revisi tersebut, menurut Ahok, merupakan upaya memaksimalkan fungsi TGUPP. Peningkatan fungsi TGUPP juga dilakukan dengan menambah jumlah anggotanya, dari 7 orang menjadi 9 orang.
Para anggota TGUPP tersebut berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov DKI Jakarta, para profesional, dan ahli. Pola rekrutmen ini dilakukan guna meningkatkan sumber daya manusia yang dapat mengoptimalkan fungsi dan peran TGUPP. Dari segi anggaran, tetap diambil dari dana operasional gubernur dan dikeluarkan khusus untuk tunjangan statis anggota TGUPP, sebesar Rp. 27,5 juta.
Ketika Sumarsono menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI, ia mengeluarkan Pergub baru, yaitu Pergub No. 410 Tahun 2016. Poin penting pada Pergub tersebut adalah pembentukan Tim Walikota/Bupati Untuk Percepatan Pembangunan (TWUPP) berjumlah 5 orang dan langsung bertanggung jawab kepada Walikota dan Bupati, serta memiliki tugas dan fungsi yang sama dengan TGUPP.
Pergub No. 163 Tahun 2015 juga direvisi menjadi Pergub No. 411 Tahun 2016, dengan perubahan jumlah anggota TGUPP dari 9 orang menjadi 15 orang. Keputusan dikeluarkannya dua Pergub ini, menurut Sumarsono, karena berdasarkan situasi dan kondisinya, keberadaan TGUPP masih diperlukan untuk membantu kinerja gubernur dan wakil gubernur.
Sementara di era pemerintahan Djarot Saiful Hidayat, Pergub mengenai TGUPP ini tidak mengalami perubahan. Baik di era Sumarsono maupun Djarot, alokasi anggaran masih berasal dari dana operasional Gubernur dan jumlahnya tak lebih dari Rp. 27,5 juta.
Bila dilihat dari sejarah terbentuknya TGUPP tersebut, maka besarnya anggaran operasional dan jumlah anggota yang diajukan Anies memang berkali-kali lipat jumlahnya, yaitu dari awalnya 15 orang, lalu diubah menjadi 45 orang, namun pada akhirnya melonjak menjadi 73 orang setelah melakukan pembahasan dengan DPRD.
Anies beralasan, banyaknya jumlah anggota TGUPP ini merupakan penggabungan dari TWUPP yang berjumlah 30 orang dan TGUPP yang berjumlah 15 orang. Penggabungan ini, menurut Anies, sebagai langkah sinkronisasi program prioritas yang perlu untuk dikaji dan dianalisis guna mengoptimalkan percepatan pembangunan Ibukota.
Peningkatan jumlah anggota TGUPP tersebut, mau tak mau berdampak pada besarnya alokasi dana yang mencapai Rp 28,5 miliar dari perkiraan awal Rp 2,3 miliar. Dana sebesar ini, tentu sulit bila harus mengandalkan dana operasional gubernur yang hanya sebesar Rp 2,7 miliar. Sehingga Anies pun memasukkannya ke dalam APBD DKI Jakarta.
Rekomendasi TGUPP Kemendagri
Belajar dari besaran anggaran TGUPP di era gubernur sebelumnya, dan jumlah yang dimasukkan ke dalam APBD DKI Jakarta oleh Anies, memang terlihat peningkatan yang sangat signifikan. Bukan itu saja, dalam rinciannya pun banyak ditemukan alokasi dana untuk pengeluaran yang mencurigakan dan dengan jumlah yang mencengangkan.
Padahal sebelumnya, dana TGUPP lebih banyak dikeluarkan untuk pengeluaran statis semata, tidak termasuk barang bergerak dan operasional. Tak heran bila kemudian Kemendagri menjadikan anggaran TGUPP sebagai pengeluaran yang dievaluasi, bahkan pada akhirnya dicoret dari APBD 2018. Kemendagri menilai, dana TGUPP sebaiknya tetap dianggarkan melalui dana operasional gubernur.
“Kami merekomendasikan untuk dianggarkan menggunakan anggaran biaya operasionalnya kepala daerah, bukan menggunakan pos khusus. Mengambil jatahnya Pak Gubernur, kira-kira begitu. Biaya operasional,” ujar Pelaksana Tugas Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Syarifuddin (21/12/17).
Prinsip ini pula yang ditekankan Kemendagri pada Gubernur Anies dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno saat melakukan pertemuan dengan Kemendagri dalam rangka membicarakan kelanjutan TGUPP. Sikap ini, menurut Kemendagri, agar tidak ada pembedaan antara program TGUPP di era gubernur sebelumnya.
“Prinsipnya bukan menghilangkan TGUPP, melainkan hanya mengalihkan pembebanan anggaran yang semula beban anggaran biro administrasi menjadi beban atas penggunaan BOP Gubernur. Silakan saja Gubernur DKI membentuk TGUPP,” ujar Tjahjo, Sabtu (23/12/17).
Menurutnya, penggunaan dana operasional gubernur sangat wajar dalam membiayai TGUPP dan menghindari penyelewengan anggaran yang bisa saja terjadi. Apalagi peran tim ini memang sangat dibutuhkan dalam upaya peningkatan kinerja Pemprov DKI Jakarta yang ingin mengutamakan kebijakan strategis dalam upaya percepatan pembangunan.
Peningkatan fungsi TGUPP yang dilakukan oleh Anies-Sandi dengan membentuk lima bidang, memang dapat dianggap sebagai terobosan baru. Namun ada baiknya tidak disalahgunakan menjadi tempat ‘balas jasa’ yang bernuansa politis kepada tim kampanyenya, seperti yang ditudung Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah.
“Mengapa jumlahnya begitu banyak dengan anggaran yang besar. TGUPP itu kan 30 orang dari birokrat lama, 43 lainnya itu dari tim kampanye Pak Anies dulu. Nah kebanyakan dari tim birokrat 30 itu sendiri adalah tim buangan, orang-orang gagal. Kemudian dari tim kampanye itu sendiri enggak punya kompetensi, harusnya dia punya kompetensi dasar yang digunakan untuk masukan ke Gubernur,” katanya.
Pada akhirnya, pembuatan TGUPP memanglah wewenang gubernur. Namun akan sangat disayangkan bila tim yang seharusnya menunjang kinerja gubernur malah diisi oleh individu yang tidak kompeten, karena hasilnya tentu tidak akan optimal seperti yang diharapkan. Serta yang terpenting, pembuangan anggaran ini tak hanya merugikan warga DKI saja, tapi juga masyarakat Indonesia. (Eldi)