HomeNalar PolitikTerpaksa Makan Pasal Makar

Terpaksa Makan Pasal Makar

Apakah ancaman makar benar-benar ada? Ataukah ini hanya jerat bagi warga yang gemar kritik?


PinterPolitik.com

[dropcap]J[/dropcap]erat pasal makar nampaknya masih akan mengancam masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Institute for Criminal Justice Reform terhadap pasal ini. MK menyatakan bahwa pasal makar sah dan konstitusional di Indonesia.

Putusan MK ini sontak menimbulkan ketakutan bagi sejumlah pihak. Jerat hukum dari pasal tersebut menghantui masyarakat. Apalagi ancaman hukum dari pasal-pasal ini tidak main-main. Hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati, menjadi ancaman bagi pelaku kegiatan tersebut.

Rasa takut dan curiga muncul. Pasal-pasal ini dianggap dapat disalahgunakan oleh penguasa, karena bisa saja menjerat hukum warganya sendiri dengan alasan berbuat makar. Ada kemungkinan, pasal-pasal ini dapat digunakan penguasa untuk membungkam pengritiknya. Pasal ini juga dianggap berbahaya, karena bisa menekan kebebasan berpendapat warga negara.

Jika jerat hukumnya demikian menyeramkan, sebenarnya seperti apa ancaman makar itu? Benarkah ancaman makar ada di negeri ini?

Tentang Pasal Makar

Secara definisi, sepertinya tidak ada pengertian yang bisa benar-benar menjelaskan makar secara penuh. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makar diartikan sebagai perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Makar juga kerap dikaitkan dengan istilah yang berasal dari Bahasa Arab yaitu makr. Jika merujuk pada istilah ini, maka yang dimaksud dengan makar lebih dekat dengan tipu muslihat. Istilah ini dekat dengan definisi lain makar versi KBBI, yaitu akal busuk atau tipu muslihat.

Jika dilihat dari sejarahnya, pasal makar di Indonesia merupakan adopsi dari Bahasa Belanda. Kata makar ini berasal dari kata aanslag. Hal ini dikarenakan KUHP Indonesia memang mengadopsi sistem hukum dari negeri kincir angin tersebut. Di dalam KUHP Belanda, kata aanslag dapat ditemui di Pasal 92 dengan judul Serangan Serius pada Keamanan Negara.

Kata aanslag sepadan dengan kata onslaught di dalam Bahasa Inggris. Dalam konteks ini, onslaught dapat diartikan sebagai serangan hebat. Ada pula yang mengaitkan aanslag dengan kata attempt atau percobaan di dalam Bahasa Inggris. Secara khusus, percobaan yang dimaksud kerapkali dikaitkan percobaan terhadap nyawa orang lain (attempt on man’s life).

Terpaksa Makan Pasal Makar

Terlihat bahwa terdapat kesulitan untuk menentukan padanan yang benar-benar tepat untuk aanslag. Hal ini membuat istilah makar setelah diadopsi dari aanslag juga sulit didefinisi secara sempurna.

Di dalam KUHP, ada beberapa pasal yang kerap digolongkan sebagai pasal perbuatan makar. Meski begitu, di dalam KUHP tidak dijelaskan apa yang dimaksud sebagai perbuatan makar. Dalam UU ini hanya disebutkan jenis-jenis atau kategori perbuatan makar.

Pasal pertama yang memuat kata makar adalah pasal 82. Di dalam pasal ini disebutkan bahwa suatu perbuatan sudah dikatakan makar jika sudah ada niat dan permulaan pelaksanaan makar.

Terdapat pula pasal yang tampak mengadopsi definisi makar sebagai sebuah serangan. Pada pasal 104 dijelaskan bahwa salah satu perbuatan makar adalah upaya untuk membunuh dan merebut kemerdekaan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Di dalam pasal 106, dijelaskan pula makar tentang kewilayahan negara. Disebutkan ada makar dengan maksud memisahkan suatu wilayah dari NKRI. Makar dalam konteks ini dapat dikategorikan sebagai percobaan gerakan separatis.

Baca juga :  Mampukah Prabowo Make Indonesia Great Again? 

Ada pula makar yang diartikan sebagai penggulingan pemerintah yang sah. Hal ini disebutkan di dalam Pasal 107. Pasal ini sesuai dengan definisi makar versi KBBI yaitu perbuatan menjatuhkan pemerintahan yan sah.

Jika merujuk pada definisi tersebut, maka makar juga amat dekat dengan istilah lain yaitu makzul atau impeach. Dalam beberapa konteks, istilah ini juga sepadan dengan kudeta.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, definisi makar inilah yang kerap dianggap ancaman bagi penguasa. Upaya untuk menggulingkan pemerintahan ini kerap menjadi sumber ketakutan bagi mereka. Paranoid dari penguasa, umumnya muncul terhadap perkumpulan yang kerap melakukan kritik terhadap mereka.

Sejarah Penggunaan Pasal Makar

Benarkah ancaman makar menghantui negara ini? Jika melihat sejarahnya, ada masa di mana pasal perbuatan makar digunakan untuk menjerat pelanggaran hukum. Meski begitu, nampak bahwa makar dalam arti penggulingan pemerintahan yang sah cenderung jarang terjadi.

Di era Presiden Soekarno atau Orde Lama, pasal ini pernah digunakan untuk menjerat beberapa perbuatan. Umumnya, perbuatan makar yang dimaksud adalah perbuatan yang mengancam nyawa presiden. Dalam hal ini, Pasal 104 yang membuat percobaan pemunuhan presiden.

Ada beberapa gerakan yang menjadi korban dari pasal ini. Kasus-kasus seperti DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, atau Republik Maluku Selatan (RMS) Dr. Soumokil, kesemuanya dijerat dengan pasal tersebut.

Satu-satunya percobaan kudeta di era tersebut dilakukan Raymond Westerling. Bekas kapten pasukan khusus Belanda tersebut melakukan percobaan penggulingan negara Republik Indonesia. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpinnya, pernah berusaha mengambil Jakarta, akan tetapi upaya tersebut gagal.

Hal yang berbeda terjadi di masa Orde Baru. Di masa pemerintahan Soeharto, pasal makar justru cenderung jarang digunakan. Kondisi ini sekilas nampak bertolak belakang dengan anggapan umum yang menganggap pemerintahan Soeharto anti-kritik.

Di era Orde Baru ada UU khusus yang kerap menjerat para pelaku kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Pada era ini dikenal UU Pemberantasan Kegiatan Subversi atau UU Subversi. UU inilah yang menjadi dalih utama rezim Orde Baru menjerat para pengritik.

UU ini dikenal sangat subjektif dan kerap diartikan sesuai keinginan rezim. Disebutkan ada lebih dari 2.000 terpidana korban dari UU tersebut. Keberadaan UU Subversi membuat pasal-pasal makar di dalam KUHP nyaris tidak pernah dipakai.

Runtuhnya Orde Baru membawa kejatuhan pula bagi UU Subversi. Tuntunan reformasi membuat UU ini harus dicabut. Hal ini membuat pasal makar yang ada di dalam KUHP kembali mendapat panggung. Kasus-kasus yang menggunakan pasal makar pun mulai mengemuka.

Terpaksa Makan Pasal Makar
Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani pernah dijerat pasal makar. (Foto: Tribun)

Di era reformasi kasus-kasus yang kerap dikenai pasal ini umumnya terkait dengan gerakan yang dianggap separatis. Ada beberapa kasus yang dijerat dengan pasal makar.

Salah satu yang paling menyita perhatian adalah peristiwa pengibaran bendera RMS di peringatan Hari Keluarga Nasional tahun 2007. Para pelaku pengibaran tersebut, dijerat dengan pasal makar yaitu pasal 106 KUHP.

Baca juga :  Balada Rakyat Ekonomis dan Pejabat Hedonis

Makar yang terkait penggulingan pemerintahan sah baru muncul kembali belakangan ini. Hal ini terjadi ketika sejumlah aktivis ditangkap menjelang Aksi Bela Islam 212. Nama-nama seperti Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dhani, dan Ratna Sarumpaet, dianggap akan menunggangi aksi tersebut untuk perbuatan makar.

Mungkinkah Makar Terjadi?

Upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah adalah hal yang kerap terjadi di negara dengan kondisi politik yang tidak stabil. Makar dalam konteks pemakzulan kerapkali menjadi ujung bagi pemerintahan yang dianggap korup dan menyengsarakan rakyat.

Melihat kondisi terkini di Indonesia, makar yang setara dengan impeachment atau kudeta bukanlah perkara mudah. Secara hukum, menggulingkan pemerintahan yang sah perlu melalui proses tersendiri. Dalam hal ini, aksi makar di jalanan tidak cukup untuk menggulingkan pemerintahan.

Berdasarkan UUD 1945, ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pemberhentian presiden. Pada pasal 7A UUD 1945 disebutkan bahwa presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Presiden juga dapat diberhentikan jika sudah tidak memenuhi syarat sebagai presiden.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak bisa dilakukan secara serta merta melalui gerakan makar bawah tanah. Ada mekanisme yang harus ditempuh agar presiden dapat diberhentikan.

DPR perlu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. MK kemudian wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah presiden benar-benar bersalah melakukan pelanggaran hukum.

Jika terbukti terjadi pelanggaran hukum, maka DPR akan menggelar paripurna untuk meneruskannya ke MPR. MPR kemudian memutuskan proses pemberhentian presiden tersebut.

Meski begitu, ancaman makar dalam bentuk lain seperti di dalam KUHP, bisa jadi tetap ada. Upaya pembunuhan presiden, tentu adalah bentuk kriminal yang serius. Idealnya, pemerintah baru perlu menganggap serius ancaman makar jika upaya pembunuhan benar-benar terjadi.

Dalam konteks ini, penguasa perlu mengkhawatirkan jika terjadi perbuatan inkonstitusional. Jika ada ancaman kekerasan atau menempuh jalur di luar mekanisme di atas, maka jerat pasal makar tepat dilakukan.

Melihat kondisi ini, nampaknya pemerintah tidak perlu risau dengan ancaman makar serupa kudeta. Yang perlu pemerintah risaukan adalah agar tidak melakukan perbuatan seperti yang disebutkan di dalam UUD 1945. Jika presiden yang berkuasa tidak pernah korupsi, menyuap, atau melakukan tindak pidana lainnya, maka ia tidak perlu khawatir.

Keberadaan pasal tersebut di dalam UUD, bisa saja membuat pasal makar soal penggulingan pemerintahan tidak lagi relevan. Ancaman makar terhadap presiden justru berasal dari dirinya sendiri. Presiden cukup menghindari korupsi dan perbuatan lain dalam UUD 1945 agar tidak terguling dari kekuasaannya. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

PDIP Has Fallen?

Nama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tersebut dalam proses pengungkapan kasus rasuah lahan Rusun Cengkareng, Jakarta Barat di era pemeritahannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini menyingkap sederet elite PDIP dalam pusaran kasus rasuah signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Terlebih, pasca Presiden Prabowo menyiratkan soliditasnya dengan Joko Widodo (Jokowi). Mungkinkah ini tanda kejatuhan PDIP?

Andai Indonesia Jadi Negara Federasi

Bagaimana jika Indonesia seperti Majapahit, tanpa batas tegas? Apakah itu membawa kejayaan atau justru kehancuran di era global ini?

Apapun Intriknya, Benarkah Jokowi Pemenangnya?

Spill Presiden Prabowo Subianto mengenai eksistensi upaya pemisahan dirinya dengan Joko Widodo (Jokowi) menyiratkan makna tertentu. Utamanya, terkait interpretasi akan dinamika relasi dengan Megawati Soekarnoputri, PDIP, dan di antara para aktor terkait yang muaranya memunculkan Jokowi sebagai pihak yang lebih aman. Mengapa demikian?

Jokowi dan Misteri “Kepunahan” Kelas Menengah 

Perbincangan seputar berkurangnya kelas ekonomi menengah Indonesia belakangan tengah ramai. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkinkah ada kesalahan sistemik di baliknya? 

Creative Destruction Efisiensi Prabowo

Efisiensi anggaran negara yang tengah didorong Presiden Prabowo nyatanya mendapatkan gejolak dan tentangan.

Balada Rakyat Ekonomis dan Pejabat Hedonis

Pameran kemewahan pejabat, seperti patwal Raffi Ahmad, perdalam kecemburuan rakyat. Mengapa ini perlu jadi perhatian pemerintahan Prabowo?

Why Always Bahlil?

Upaya penertiban dan penataan subsidi LPG 3 Kg entah kenapa malah jadi resistensi dan mengarah langsung ke Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Padahal, terlepas dari eksekusi di awal yang harus diakui kurang rapi, kebijakan tak populer ini memiliki esensi sangat positif. Hal itu memantik interpretasi mengenai “perlawanan” kuat yang bisa saja terorkestrasi. Benarkah demikian?

IKN House Has Fallen!

Pemblokiran anggaran IKN Nusantara lemahkan pengaruh Jokowi, membuka peluang bagi Megawati untuk perkuat posisinya dalam politik Prabowo.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...