Site icon PinterPolitik.com

Terorisme Sigi, Jokowi Terjebak Pseudopluralisme?

Terorisme Sigi, Jokowi Terjebak Pseudopluralisme?

Presiden Joko Widodo (Foto: Merdeka)

Aksi terorisme di Sigi, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu menyisakan banyak tanda tanya besar. Selain dilakukan oleh kelompok yang dipercaya sudah tak memiliki banyak pengikut, aksi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas Satgas Tinombala yang sudah menyisir lokasi tersebut sejak 2016 lalu. Mengapa hal ini bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Di tengah gaduhnya situasi politik ibu kota, seperti meningkatnya kasus positif Covid-19 maupun ekses kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS), sebuah kabar duka dan mengejutkan justru datang dari Sigi, Sulawesi Tengah.

Belum lama ini diberitakan telah terjadi pembunuhan terhadap satu keluarga di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo. Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok teroris yang bersumpah setia kepada ISIS disinyalir berada di balik aksi teror ini.

Selain menewaskan empat orang, para pelaku disebut-sebut juga membakar tujuh bangunan rumah, yang salah satu di antaranya dijadikan tempat peribadatan umat Kristiani.

Insiden teror yang turut menyeret simbol-simbol agama ini mau tak mau menuai respons dari para elite. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri mengutuk keras dan memerintahkan Polri untuk mengusut tuntas kasus ini.

Selain itu, tak sedikit juga pihak yang berusaha meyakinkan publik bahwa kejadian ini tak ada hubungannya dengan konflik antar agama. Sebaliknya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD meminta masyarakat agar tak terpancing provokasi ini.

Di sisi lain, peneliti dari Celebes Institute, Adriany Badrah punya sudut pandang berbeda dalam melihat peristiwa ini. Ia mempertanyakan bagaimana kelompok yang pada 2019 lalu disinyalir berjumlah tak lebih dari 20 orang dapat leluasa menebar teror, padahal sudah diburu oleh ribuan personel TNI-Polri yang tergabung dalam Satgas Tinombala sejak 2016 lalu.

Aksi teror ini memang punya ironi tersendiri jika kita mengingat belum lama ini, pemerintah dengan begitu keras merespons euforia kepulangan HRS ke Indonesia. Bahkan dalam beberapa kesempatan, pemerintah seolah melihat HRS sebagai “ancaman negara lantaran sampai melibatkan TNI hanya untuk menurunkan baliho HRS.

Bagi pandangan orang awam, ini bisa jadi indikasi bahwa pemerintahan Jokowi terlalu sibuk mengurusi ancaman yang bersifat politik ketimbang ancaman negara yang sesungguhnya. Lantas, benarkah indikasi tersebut tengah terjadi?

Politisasi Label Radikal

Stempel radikal, intoleran, dan anti Pancasila memang telah lama lekat dengan HRS dan kekuatan politiknya. Label ini tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa kubu HRS memang kerap melontarkan pernyataan-pernyataan berbau sentimen identitas.

Kendati begitu agaknya terlalu naif jika kita tak mencurigai bahwa pemerintah sendiri sebenarnya menikmati dan memanfaatkan label tersebut untuk melawan kekuatan politik HRS. Indikasi ini bisa terlihat dari sikap pemerintah yang terkesan ‘menyulitkan’ perpanjangan izin ormas FPI sejak 2019 lalu.

Kate Grealy dalam tulisannya yang berjudul yang berjudul Politicising The Label Radical? mengatakan bahwa penargetan ‘ekstremisme Islam’ untuk tujuan keamanan nasional telah lama menjadi konsensus yang bipartisan di Indonesia.

Memberi label pada suatu kelompok atau individu sebagai ‘radikal’ dilakukan atas nama pencegahan terorisme. Namun, dalam iklim politik Indonesia saat ini, ‘ekstremisme’ dan ‘radikalisme’ tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya. Melainkan, label-label tersebut semakin dipolitisasi dan disalahgunakan oleh negara untuk menekan kritik dan membungkam mereka yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah.

Ketika disalahgunakan untuk tujuan politik partisan semacam itu, kedua label ini menjadi faktor yang menyebabkan kemerosotan demokrasi dan menambah beban aparat dalam melakukan upaya penanggulangan terorisme.

Grealy mencontohkan hal ini terjadi ketika pemerintahan Jokowi membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggunakan label ‘radikal’ dan instrumen hukum yakni Perppu. Ia menyebut bahwa label radikal yang digunakan untuk menjustifikasi pembubaran HTI sangat merendahkan kebebasan berbicara dan berserikat. Senada, Marcus Meitzner dalam tulisannya yang berjudul Fighting Illiberalism with Illiberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia juga mengatakan bahwa cara Presiden Jokowi membubarkan HTI tanpa melewati proses pengadilan justru yang membawa demokrasi indonesia bergerak ke arah dekonsolidasi.

Selain itu, Meitzner juga menyebut pembubaran sebuah organisasi melalui cara-cara yang tidak demokratis justru akan membuat para anggotanya semakin radikal, bersembunyi, dan memiliki dendam dengan pemerintahan. Hal ini tentu berdampak buruk dan menambah beban bagi penanganan terorisme.

Terjebak Pseudopluralisme?

Selain Grealy dan Meitzner, Idhamsyah Eka Putra dan Yesaya Sandang dalam tulisan mereka yang berjudul Hypocrisy or imagination? Pseudo-pluralism in Indonesia juga meyakini bahwa ada paradoks dalam penanganan radikalisme dan kelompok intoleran di Indonesia.

Di satu sisi, pemerintah Indonesia terkesan represif terhadap fundamentalis agama yang kritis terhadap ideologi negara, namun secara bersamaan gagal melindungi kelompok agama minoritas yang teraniaya.

Aksi terorisme di Sigi beberapa waktu lalu adalah contoh bahwa negara, yang di depan publik terlihat garang terhadap kelompok-kelompok yang dilabeli radikal secara politik, nyatannya masih bisa kecolongan untuk memitigasi ancaman kelompok radikal yang sesungguhnya.

Melihat anomali ini, Idhamsyah dan Yesaya kemudian mempertanyakan apakah Indonesia benar-benar negara yang pluralis atau hanya terjebak dalam fenomena pseudopluralis?

Mereka menyebut dalam sistem demokrasi, kritik terhadap pemerintah atau bahkan ideologi negara sekalipun seharusnya hanya menjadi masalah jika bersifat koersif, memaksa, atau mengancam kehidupan masyarakat.

Lalu mempertimbangkan fakta bahwa pemerintah menggunakan cara represif dalam menekan kelompok-kelompok fundamentalis Islam yang tidak menggunakan pendekatan kekerasan, maka bisa saja disebut bahwa pemerintah kini memang tengah terjebak dalam fenomena pseudopluralisme.

Akan tetapi, aksi teror oleh kelompok yang diklaim tak memiliki terlalu banyak pengikut tentu bisa memunculkan spekulasi lain. Peneliti dari Celebes Institute, Adriany Badrah curiga bahwa salah satu penyebab mengapa aksi ini bisa terjadi justru karena adanya pembiaran oleh aparat.

Bukti pembiaran ini tak hanya mengacu pada fakta bahwa MIT begitu leluasa dalam beraksi, tapi juga didasarkan pada jumlah daftar pencarian orang (DPO) yang tidak berkurang. Satgas Tinombala menurutnya telah gagal menangani perekrutan dan penanaman ideologi MIT.

Lantas jika memang asumsi itu benar, tentu pertanyaan besarnya apa yang ingin dicapai dari pembiaran aksi terorisme ini?

Persoalan Politik Anggaran?

Selain satgas yang bertugas di lapangan, lembaga lain patut dipertanyakan perannya dalam terjadinya teror di Sigi adalah Badan Intelejen Negara (BIN). MIT merupakan organisasi teroris yang sudah cukup lama berkecimpung di wilayah tersebut. Logika awamnya, badan sekaliber BIN seharusnya memiliki data-data yang cukup untuk mengkalkulasi potensi aksi teror.

Terlebih, saat pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) yang melibatkan TNI  pada 2018, Kapolri yang saat itu dijabat oleh Tito Karnavian mengatakan bahwa operasi teroris di Indonesia terdiri dari 75 persen operasi intelijen, penindakan 5 persen, dan sisanya pemberkasan untuk ke proses pengadilan. Melihat persentase tersebut, artinya intelijen tidak bekerja dengan baik atau mungkin tidak berfungsi.

Kemudian, dengan tak berfungsinya mitigasi tiga lembaga keamanan terkait, yakni Polri, TNI, dan BIN dalam mencegah insiden ini, kecurigaan Adriany seolah mendapatkan afirmasinya. Bahwa aksi teror ini mungkin saja memang dibiarkan terjadi. Ini juga menjadi masuk akal jika kita turut mempertimbangkan faktor bahwa penanganan terorisme merupakan salah satu ‘lahan basah’ di sektor keamanan.

Persoalan politik anggaran dalam penanggulangan terorisme faktanya sudah pernah dibahas dalam sebuah film dokumenter yang disiarkan Stasiun TV SBS Australia sejak 2005 silam. Dalam film yang berjudul Do Indonesian Terrorists Have Friends in High Places? disebutkan bahwa persoalan pendanaan merupakan ‘keuntungan’ yang didapat Polri dari aksi pemberantasan terorisme, termasuk bantuan dari negara lain.

Contohnya, pada tahun 2002 ketika terjadi kasus Bom Bali I. Amerika Serikat (AS) melalui Menteri Luar Negerinya yang kala itu dijabat oleh Colin Powell menggelontorkan dana kepada Indonesia sebesar US$ 50 juta atau sekitar Rp 460 miliar.

Negara lain seperti Australia, Belanda, dan Denmark, juga masih memberikan bantuan serupa. Belanda dan Denmark, misalnya, masing-masing memberikan €500 juta atau hampir Rp 8 triliun untuk kepolisian pada tahun 2005. Dana bantuan tersebut juga diprediksi meningkat dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, jika memang aksi teror di Sigi beberapa waktu lalu memang benar sengaja dibiarkan, maka boleh jadi salah satu motif yang paling masuk akal adalah ihwal politik anggaran. Terlebih persoalan ini memang sedang marak dibahas seiring kembali mencuatnya wacana penerbitan Perpres pelibatan TNI dalam menangani terorisme.  

Kendati demikian, perlu digarisbawahi bahwa ada tidaknya manuver terkait politik anggaran di balik aksi teror di Sigi beberapa waktu lalu tetaplah sulit untuk dibuktikan. Yang dapat mengkonfirmasi asumsi ini hanyalah pihak terkait sendiri. Namun yang jelas, kemunculan aksi teror di Sigi menandakan bahwa negara masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membenahi penanganan terhadap pencegahan aksi terorisme. Jangan sampai aksi keji semacam ini kembali terulang. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version