HomeNalar PolitikTeroris Butuh Asupan, Namanya Pebisnis

Teroris Butuh Asupan, Namanya Pebisnis

Menjelang akhir tahun, ramai terjadi penangkapan anggota kelompok teroris yang digelar oleh Densus 88. Tak mau kalah, PPATK juga menyampaikan laporan surveinya mengenai aliran dana kepada kelompok teroris.


PinterPolitik.com

Berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), publik memahami bahwa pelaku Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) yang paling banyak, secara berurutan, adalah pebisnis/wiraswasta, organisasi masyarakat (ormas), dan – yang mencengangkan – partai politik. Persentase ketiganya tak terpaut jauh, yakni tidak sampai satu persen.

Dari ketiganya, ormas (atau dalam bentuk yayasan) telah cukup lama diketahui oleh publik. Kasus Hilal Ahmar Society, yayasan amal Timur Tengah yang bermarkas di Indonesia, adalah salah satu yang mencuat ke permukaan.

Yayasan tersebut masuk ke dalam catatan hitam Dewan Keamanan (DK) PBB pada Maret 2015 karena terbukti turut mendanai teroris ISIS di Irak dan Suriah, alih-alih memberi bantuan kemanusiaan seperti yang mereka kampanyekan di Indonesia.

Begitu pula dalam kasus partai politik. Sekalipun belum pernah ada bukti yang terkuak terkait pendanaan dari partai politik yang ditemukan aparat penegak hukum, sejumlah kejadian menunjukkan adanya dugaan relasi partai politik dengan teroris. Kasus politisi PKS Pasuruan yang tertangkap akan berangkat ke Suriah pada April lalu, sempat dikaitkan dengan ISIS—walaupun kemudian dibantah oleh pihak PKS dan kepolisian. Faktanya, kasus terduga teroris yang terlibat dengan PKS juga terjadi pada tahun 2009 dan 2013.

Namun kemudian, persepsi publik tentang adanya pendanaan terorisme yang dilakukan oleh pebisnis/wiraswasta, baik dari yang terkecil sampai terbesar, juga diamini oleh PPATK. Menurut PPATK, pendanaan swasta yang dilakukan kepada kelompok atau individu teroris pada tahun 2017 ini semakin beragam jenisnya, baik penggalangan dana secara tradisional, crowdfunding (penggalangan dana) di media sosial, hingga aliran dana yang besar dari dalam dan luar negeri.

Lalu, seperti apa sebetulnya cerminan operasi bisnis di belakang aksi teror?

Tren Global: dari Kolombia, Qatar, sampai Indonesia

Teror selalu menjadi cara untuk menekan pemerintah. Berdasarkan sejarah relasi masyarakat dan negaranya, kelahiran banyak kelompok separatis, gerilyawan, atau kelompok ideologis yang menggunakan teror terjadi sebagai upaya menyuarakan kepentingan mereka. (Baca juga: Mereka Teroris, Apakah Kita Salah?)

Tak hanya mereka, ternyata pebisnis pun seringkali menyelaraskan kepentingan mereka dengan para teroris tersebut. Entah memang memiliki ideologi yang sama atau karena kepentingannya saja yang sama (baca: melawan pemerintah), pebisnis turut andil dengan membiayai aksi terorisme. Demikian dengan para teroris juga membutuhkan sokongan dana, sehingga bantuan dari para pebisnis tak pernah ditolak.

Mungkin hal ini terasa aneh bagi sebagian pihak. Namun, beberapa kasus, misalnya yang terjadi di Kolombia menggambarkan hal tersebut dengan jelas.

Kejadian teror bersenjata pada tahun 1985 dalam video ini dilakukan oleh kelompok Marxist bernama M-19 dan terjadi di Palace of Justice, Mahkamah Agung Kolombia. Gerilyawan komunis tersebut memang telah dicap sebagai teroris oleh pemerintah, namun belakangan di sekitar tahun 1984, mereka mengalami kesulitan dana. Lantas, teror besar-besaran tersebut disponsori oleh Kartel Medellin, gembong bisnis kokain yang juga tengah diancam oleh pemerintah Kolombia.

Dengan serangan tersebut, motif M-19 dan Kartel Medellin tercapai. Teror M-19 kembali eksis di permukaan dan Kartel Medellin berhasil membersihkan dokumen-dokumen mahkamah yang berisikan catatan kriminal mereka. Kombinasi apik bisnis-teror, bukan?

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Dahsyatnya kekuatan cocainenomics (bisnis kokain) Medellin juga dibuktikan dengan meledaknya bom di dalam pesawat terbang tahun 1989 dan mobil di tahun 1992, di kala semakin terjepitnya mereka oleh pemerintah. Aksi-aksi teror ini menjadikan Kartel Medellin berubah dari kartel yang disukai oleh publik Medellin dan Kolombia secara umum, menjadi kartel teror yang dibenci oleh masyarakat.

Cerita berbeda terjadi di Timur Tengah. Pada April 2017 lalu, Qatar menjadi salah satu negara yang dikucilkan secara diplomatik oleh negara-negara sahabatnya di Semenanjung Arab. Arab Saudi dan negara Arab lain menuding sejumlah individu warga negara Qatar  terbukti mendukung setidaknya 18 kelompok teroris di Timur Tengah, termasuk di antaranya adalah Ikhwanul Muslimin (klaim Saudi cs), ISIS, dan Al-Qaeda.

Tak hanya tudingan paham Sunni radikal yang mengarah kepada Qatar, sejumlah bukti juga mendukung keterlibatan bisnis Qatar di segala lini yang berkaitan dengan aktifnya kelompok teror di Timur Tengah. Hal ini diperkuat dengan klaim Amerika Serikat yang  mendapatkan bukti bahwa Qatar menjadi ‘ladang cuci uang’ Taliban dan Al-Qaeda pada tahun 2003.

Maju ke tahun 2015, laporan Kementerian Luar Negeri AS menyebut bahwa di samping pemerintah Qatar banyak mendanai program kontra-terorisme, individu dan pihak swasta terbukti mendanai terorisme, seperti kelompok Al-Nusra Front.

Bahkan, tudingan semakin keras dan melebar kepada Al Jazeera (media Arab terbesar di dunia milik Qatar) yang dikaitkan dengan dukungan pemberitaan dan finansial kepada Hamas dan Hizbullah, juga adalah dua kelompok militan Islam yang dicap teror oleh Arab Saudi cs.

Walaupun demikian, kasus Qatar ini memiliki dimensi politis yang berbeda dibanding yang terjadi di Kolombia. Beberapa analisa menyebut apa yang terjadi di Qatar berhubungan dengan pendanaan perang dan proxy war antara Saudi vs Iran. (Baca juga: Qatar Dibully?) 

Terlepas dari klaim-klaim yang dilakukan oleh negara-negara tersebut, sangat jelas bahwa bisnis konflik yang melibatkan kelompok teroris adalah hubungan mutualisme antara pebisnis dan pelaku teror. (Baca Juga: Dahsyat, Ternyata ISIS adalah Korporasi)

Mantan PM Qatar Sheikh Hamad bin Jassem al-Thani mengakui mungkin Qatar memiliki hubungan dengan al-Qaeda

Sementara itu, Indonesia juga menghadapi adanya transfer dana yang besar dari bisnis-bisnis teroris internasional. Pada masa awal Al-Qaeda, uang dari bisnis-bisnis Osama bin Laden, yang masuk di dalam Saudi Binladen Group ditengarai masuk juga ke Indonesia. Menurut pihak kepolisian pasca-Bom Bali I, ada aliran dana dalam jumlah besar ke bank di Malaysia, yang kemudian dibawa masuk secara ilegal ke Indonesia.

Tak hanya itu, teroris-teroris lokal yang berafiliasai dengan Al-Qaeda, memiliki jaringan transfer dana melalui sistem yang disebut hawala. Sistem ini digunakan agar tak terlacak oleh sistem perbankan dan dilakukan secara tradisional, bahkan jauh sebelum era Paypal dan Bitcoin. Di Indonesia, hawala masih digunakan setidaknya sampai tahun 2013, misalnya dalam kasus Tjew Anton di Riau.

Tak hanya dari negara Timur Tengah, kini PPATK menyatakan ada sumber dana dari WNA Australia dengan total mencapai Rp 88,5 miliar, serta dari negara-negara seperti Malaysia dan Filipina sebesar total Rp 2 miliar. Juga bukan hanya ke Indonesia, dana dari WNI di tanah air pun mengalir keluar, seperti ke Hongkong sebesar Rp31,2 miliar, ke Filipina sebesar Rp229 miliar, dan ke Australia Rp5,3 miliar

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Kelompok teroris kecil seperti contoh-contoh di atas, biasanya membutuhkan sokongan dana dari pebisnis di luar kelompok mereka. Berbeda dengan kelompok sebesar ISIS yang mampu secara mandiri berjualan minyak, meminta pajak dari masyarakat yang diduduki, menjarah bank, atau meminta tebusan dari sandera.

Dari Uang Besar sampai Uang Kecil

Tren terbaru di Indonesia, menurut PPATK, adalah adanya uang-uang kecil dari bisnis-bisnis kecil yang menjadi sumber aksi teroris. Uang-uang ini sulit terlacak karena selain dilakukan dalam pertemuan langsung, sebagian lainnya digalang melalui media donasi di internet, sehingga seringkali tidak ada aliran dana mencurigakan yang dapat dideteksi.

Berbeda misalnya dengan transaksi mencurigakan bernilai jutaan sampai miliaran yang kerap terjadi sebelumnya, kini tren pendanaan terorisme berjalan beriringan dengan tren terorisme itu sendiri. Teroris jaman sekarang telah mampu melancarkan aksi secara mandiri—atau disebut lonewolf—tanpa relasi organisasi maupun pendanaan dari kelompok teroris besar. Karenanya, dana pun kerap digalang dengan cara guyub dan tradisional.

Ancaman pendanaan lainnya, disebut sudah merambah dunia digital. Sejumlah kasus terorisme terbukti dengan adanya transfer dana yang dilakukan melalui Paypal maupun Bitcoin. Walaupun telah menggunakan sistem komputerisasi, namun tidak di-cover nya uang-uang digital seperti Bitcoin oleh pemerintah membuat wilayah tersebut akan terus rentan menjadi sarana pendanaan teroris.

Dengan ancaman-ancaman baru yang muncul, pemerintah tidak akan dapat menanggulanginya dengan baik, terutama bila Undang-Undang Terorisme juga tidak mengakomodasi persoalan pendanaan ini.

Adanya patungan atau sokongan dana dari uang kecil secara guyub, juga membuktikan  motivasi ideologis yang besar dari sejumlah besar orang. Baik itu konglomerasi, atau bahkan pemilik bengkel motor, pendanaan teroris bisa dilakukan dengan motif politik yang beririsan.

Polhukam vs Trio Kriminalitas Luar Biasa

Persoalan ini tentu saja menjadi PR bagi pemerintah, terutama untuk membereskan terorisme, bersamaan dengan dua kriminalitas luar biasa lainnya: narkoba dan korupsi.

Ketiganya memiliki keterkaitan. Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM pernah merilis esai singkat mengenai kemungkinan adanya relasi antara uang korupsi, uang narkoba, dan uang teroris. Tulisan yang dibuat oleh Ronald Simanjuntak itu memaparkan bahwa uang korupsi dan narkoba sangat rentan dimanfaatkan oleh kelompok teroris, sebab keduanya memiliki kepentingan yang beirisan.

Pebisnis seringkali ingin mencuci uang dengan mengaburkan aliran dananya pada kelompok yang ‘tidak kelihatan’, misalnya pada kelompok teroris. Sementara, teroris tentu membutuhkan bantuan dana untuk menjalankan aktivitasnya.

Nama Freddy Budiman menjadi salah satu gembong narkoba yang dikaitkan dengan pendanaan aktivitas ISIS di Indonesia. Menariknya, sempat ada selentingan yang menyebutkan bahwa bebasnya Freddy dari hukuman mati pada 2014, juga terkait dengan ancaman ISIS terhadap Indonesia.

Walaupun demikian, di luar ada atau tidaknya doktrin ideologis pada diri Freddy, komplotan jahat narkoba-teroris seperti ini memang patut diwaspadai.

Bukan tidak mungkin uang haram korupsi dilarikan kepada kelompok teroris agar tidak terlacak. Selain mengaburkan penyidik, membiarkan pemerintah sibuk dengan adanya aksi teroris bisa jadi menyenangkan buat mereka. Yah, semacam simbiosis mutualisme, lah. (R17)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Mengejar Industri 4.0

Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia? PinterPolitik.com “Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan...

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus...

Indonesia, Jembatan Dua Korea

Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia? PinterPolitik.com Konflik di Semenanjung Korea antara...