Kritik Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri atas rencana pembangunan komando daerah militer (kodam) di setiap provinsi yang digagas Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto seolah membuka tafsir tertentu. Mungkinkah itu menunjukkan kekhawatiran khusus terkait politik 2024?
Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri yang telah mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) 2024 seolah menyiratkan kekhawatiran tertentu yang tampak mengarah pada capres lain yang juga Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
Itu bermula dari kritik Megawati dalam sebuah acara Lemhannas RI pada hari Sabtu 20 Mei 2023 lalu, yakni terhadap rencana pembangunan komando daerah militer (kodam) di setiap provinsi yang ia nilai kurang tepat.
Selain berpendapat bahwa negara sedang tidak dalam kondisi perang, Putri Presiden pertama RI Soekarno itu menyiratkan penambahan tersebut tak memiliki relevansi bagi konsep militer dan pertahanan Indonesia.
Sebelumnya, di awal 2023 ini KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman menyampaikan rencana penambahan kodam menjadi 38, sesuai dengan jumlah provinsi dari 15 komando teritorial yang ada saat ini.
Rencana itu sendiri berawal dari Menhan Prabowo Subianto yang mengatakan penambahan kodam dibutuhkan karena sesuai dengan sistem pertahanan rakyat semesta. Urgensinya, dikatakan agar TNI dapat selalu berdampingan lebih dekat dengan rakyat dan pemerintah daerah.
Selain tampak secara kasat mata, interpretasi mengenai tendensi kritik Megawati yang tertuju pada Prabowo menjadi menarik dan muncul setelah diklarifikasi oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.
Dirinya menegaskan, apa yang disampaikan Megawati di Lemhannas mengenai pertahanan bukan untuk menyinggung siapapun, termasuk Menhan Prabowo Subianto.
Di sisi lain, juru bicara (jubir) Menhan Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan kritik Megawati justru diperlukan.
Namun di sisi lain, penjelasan Dahnil tampak selaras dengan apa yang menjadi respons Kepala Pusat Penerangan TNI AD (Kapuspenad) Brigjen TNI Hamim Tohari yang menyebut rencana penambahan kodam sebenarnya sudah berdasarkan kajian dan pertimbangan matang sesuai dengan kepentingan negara.
Di titik ini, penegasan Hasto kiranya cukup menarik untuk dianalisis lebih dalam. Meski ada kemungkinan pernyataannya dipantik oleh pertanyaan awak media, jika apa yang disampaikan Megawati secara sadar memiliki nilai positif, klarifikasi Hasto bahwa itu tak ditujukan bagi Prabowo agaknya tak diperlukan.
Ketika ruang penafsiran telah terbuka, korelasi dengan pencapresan Ganjar oleh PDIP yang kemungkinan besar akan berhadapan dengan Prabowo kiranya menjadi analisis mainstream namun menarik untuk ditelaah lebih dalam.
Selain probabilitas korelasinya secara politik, mengapa kritik Megawati yang diikuti klarifikasi Hasto seolah menyiratkan tendensi politis dengan makna tertentu jelang Pilpres 2024?
Megawati Benar?
Sebelum fokus pada aspek politik, analisis terhadap substansi kritik Megawati agaknya dapat menjadi pijakan awal yang tepat.
Pertama, kendati apa yang disampaikan terkesan ceplas-ceplos sesuai dengan karaketernya selama ini, berbagai pernyataan dan kritik Megawati atas sejumlah konteks terkait politik dan pemerintahan kiranya memiliki signifikansi tersendiri saat ditinjau ulang.
Karakter tersebut, selaras dengan telaah Shahla Haeri dalam buku berjudul Unforgettable Queens of Islam yang diterbitkan Cambridge University Press, saat membahas ketokohan Megawati dalam satu bab khusus mengenai progres kekuasaan dan posisi politiknya.
Haeri menyebut Megawati bagaikan Limbuk dalam pewayangan, sesosok karakter yang ceplas-ceplos, berdaya nalar terbatas, namun bisa menjadi jalan penghubung ke banyak pihak.
Limbuk juga begitu pandai mendengar, menyaring, serta menyimpan rahasia. Dan pada saat yang tepat, ia dapat memberikan masukan tepat sesuai dengan “bahasa” serta daya nalarnya.
Seiring waktu, Haeri menyebut sosok Limbuk itu kemudian disebutnya bertransformasi menjadi seorang ratu yang begitu penting dalam menentukan arah politik dan pemerintahan di Indonesia.
Meski menjadi pro dan kontra alot, kritik Megawati terhadap rencana pembentukan kodam baru yang dikaitkan dengan “ketiadaan dan keengganan perang” kiranya memiliki makna yang lebih dari sekadar itu.
Selain perihal anggaran yang dapat diefisiensi dan dimaksimalkan untuk kebutuhan operasional TNI dan kesejahteraan prajurit, Megawati kemungkinan ingin persoalan terkait lain, salah satunya bottleneck perwira TNI dapat diselesaikan dengan secara bertahap dan berkelanjutan.
Penambahan kodam dari 15 menjadi 38 sesuai jumlah provinsi yang mana dapat dipastikan memerlukan sumber daya manusia (SDM) prajurit tambahan, memang akan menambah pos dan jabatan baru sebagai jalan keluar atas permasalahan penumpukan serta terhambatnya karier prajurit.
Akan tetapi, solusi semacam itu juga dinilai akan memantik permasalahan turunan nan rumit lainnya di kemudian hari.
Postulat itu selaras dengan analisis Siddharth Chandra dan Douglas Kammen dalam publikasi berjudul Generating Reforms and Reforming Generations: Military Politics in Indonesia’s Democratic Transition and Consolidation.
Problem seperti menggerogoti moral organisasi, kerentanan interaksi lintas sektoral yang berpotensi meredam profesionalisme di ekosistem demokrasi, hingga memperburuk persaingan yang berujung riak hingga konflik di internal militer disebut menghantui di balik solusi instan tersebut.
Justifikasi yang sekilas menjadi landasan utama pembentukan kodam baru itu sendiri bukan tanpa alasan. Terdapat variabel lain yang muncul terkait impresi bahwa “negara sedang kelebihan serdadu” saat draf revisi Undang-Undang (UU) TNI yang muncul baru-baru ini menuai polemik karena memuat poin perluasan karier prajurit aktif di kementerian dan lembaga.
Bisa saja, Megawati ingin Kemenhan dan TNI datang dengan solusi yang lebih konstruktif seperti membatasi kuota serta meningkatkan efektivitas rekrutmen prajurit yang benar-benar sesuai dengan kalkulasi dan kebutuhan organisasi, maupun mengatur pensiun dini dengan syarat, kompensasi, serta pemberian bekal tertentu.
Sebagai permasalahan kompleks yang harus diatasi secara menyeluruh dan berkesinambungan, solusi permulaan seperti memperkuat struktur dan jabatan yang sesuai fungsi Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) tanpa kepentingan apapun juga kiranya dapat dilakukan.
Selain itu, promosi kepangkatan berbasis kompetensi serta pembuatan komando gabungan pertahanan dengan komposisi jobdesk yang tepat juga dapat mengurangi struktur yang tidak efektif dan efisien.
Well, saat perdebatan mengenai kebijakan militer dan pertahanan seperti penambahan jumlah kodam sampai harus beririsan dengan intrik politik seperti yang diklarifikasi Hasto, tafsir terhadap makna dan signifikansinya kemudian menjadi penting untuk ditelaah lebih lanjut.
Utamanya, apabila terdapat eksistensi kekhawatiran bahwa bisa saja prajurit menjadi perpanjangan tangan mobilisasi politik tertentu. Tak hanya itu, seberapa besar pengaruh secara tidak langsung para serdadu dalam konteks arah perilaku dukungan pemilih dalam demokrasi Indonesia saat ini juga tampknya menarik untuk dianalisis.
Kekuatan Gerilya Darat?
Publikasi Iwan Santosa di Kompas yang berjudul Ketika Negara Kelebihan Serdadu memuat cerita keresahan para perwira non-job dari seorang mantan Kepala Staf Angkatan di TNI. Kisah itu mengacu pada kesan mobilisasi prajurit – utamanya perwira – secara masif dan terstruktur demi kepentingan politik saat Orde Baru (Orba).
Sang jenderal berkisah di masa akhir Orba, rekrutmen Taruna Akabri jauh lebih banyak dari pos yang tersedia di organisasi TNI. Menurutnya, kepentingan rezim saat yang di ambang instabilitas saat itu berusaha menggantungkan dukungan pada militer.
Akibatnya, belakangan muncul istilah “Lautan Kolonel” untuk menggambarkan eksistensi banyaknya para perwira TNI yang tak memiliki “pekerjaan” dan telah terasa, setidaknya sejak akhir dekade pertama milenium baru.
Selain memastikan keberadaan permasalahan seperti di bagian kedua, apa yang dikatakan sang jenderal itu juga menguak peran TNI yang memang dapat “dimanfaatkan” demi kepentingan politik.
Tak hanya perwira, konteks terkait penambahan kodam yang mengarah pada pengerahan para bintara pembina desa (babinsa) juga kiranya dapat membuka interpretasi ke arah serupa.
David Jenkins dalam buku berjudul Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983 mengatakan babinsa – paling tidak sejak Pemilu 1971 – merupakan motor pengerek suara Soeharto dan benar-benar dimanfaatkan sebagai ujung tombak kekuasaan.
Kala itu, TNI AD melalui seluruh perangkatnya disebut menyusup ke elemen masyarakat terkecil untuk membangun citra dan dukungan politik kepada Soeharto. Mereka disebut cukup aktif menjegal setiap gerakan lawan politiknya, hingga ke tingkat desa melalui babinsa.
Mengacu pada hal tersebut, penambahan kodam yang berarti ekspansi para prajurit dan babinsa, boleh jadi menjadi kekhawatiran dalam dimensi lain di balik kritik Megawati yang ditafsirkan mengarah pada Prabowo, sosok capres di 2024 plus rival politik Ganjar dan PDIP.
Akan tetapi, advantage politik dari komando teritorial negara seperti yang terjadi di era Orba kiranya tak serta merta akan terjadi atas rencana penambahan kodam serta probabilitas manfaatnya bagi Prabowo.
Pertama, setiap wilayah dengan kantung suara besar di Indonesia memiliki karakteristik konstituen yang sangat beragam dan semakin kritis.
Kedua, setiap wilayah juga memiliki local strongmen dengan preferensi politik berbeda seperti para ulama, pengusaha, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan lain sebagainya yang dapat menjadi variabel determinan pilihan politik pemilih.
Ketiga, penambahan kodam (beserta pembangunan infrastrukturnya) sendiri akan dilakukan secara bertahap. Oleh karenanya, meski tak menutup kemungkinan dapat “bermanfaat” di masa mendatang, secara momentum, “pemanfaatan” ekspansi kodam untuk kepentingan politik Prabowo seolah hampir mustahil untuk bekerja maksimal di pencapresannya kali ini.
Terakhir, keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi kiranya akan sangat sensitif untuk mengendus dan mem-viral-kan aroma pergerakan yang dilakukan jika para serdadu dimobilisasi untuk kepentingan politik.
Bagaimanapun, kembali kepada substansi kritik Megawati, rencana penambahan kodam – plus konteks terkait lain seperti revisi UU TNI soal perluasan lapangan kerja prajurit aktif – sebagai upaya mengurai permasalahan internal TNI kiranya memang harus ditinjau ulang demi menghindari kemudaratan di masa depan.
Itu dikarenakan, permasalahan mendasar mengenai SDM itu dapat berpengaruh pada kebijakan dan rencana strategis TNI lainnya dalam menghadapi tantangan militer dan pertahanan domestik, regional, dan global.
Kiranya perlu untuk dilakukan perumusan kebijakan dan regulasi yang inklusif dengan melibatkan berbagai pihak, dilakukan secara terbuka, dan tanpa kepentingan dan ego apapun selain kepentingan negara. (J61)