Site icon PinterPolitik.com

Teror Dalam Bentuk Spanduk

Foto: Jakarta Post

Munculnya spanduk-spanduk yang berisikan ancaman, sempat meresahkan warga Jakarta. Disinyalir, spanduk tersebut untuk menjatuhkan calon gubernur tertentu pada Pilkada putaran kedua nanti. Efektifkah strategi ini?


pinterpolitik.com

“Saya tidak menyetujui perkataan Anda, tapi saya akan membela hak Anda untuk mengatakannya.” ~ Voltaire.

Bila sebelumnya warga Jakarta dikagetkan dengan maraknya spanduk larangan menyalatkan jenazah yang di Pilkada lalu memilih pasangan Basuki T. Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful Hidayat, kini spanduk sebaliknya ikut bermunculan. “Di sini siap menshalatkan jenazah saudara-saudara kami yang muslim,” begitu tulisan di spanduk yang terpasang di Mushala Darul Husna, Cijantung, Jakarta Timur.

Menurut ketua pengurus mushala, Abbas Hazali, sebelumnya ada dua orang yang datang minta izin untuk memasang spanduk, tapi tidak ia izinkan.“Saya bilang, tanpa pakai spanduk juga memang sudah dilaksanakan shalat jenazah bila ada yang meninggal, ini Mushala kan umum,” jelas Abbas, Minggu (19/3). Tapi spanduk tersebut tetap dipasang namun di samping mushala.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono, sebelumnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menurunkan 393 spanduk bermuatan provokasi yang  sudah diturunkan, demi menjaga ketentraman dan ketertiban di DKI Jakarta. “Pemprov akan terus menurunkan spanduk provokatif dan berbau SARA demi menjaga ketentraman dan ketertiban,” kata Sumarsono di Balai Kota, Kamis (16/3).

Menurutnya, spanduk-spanduk tersebut banyak ditemukan di Jakarta Barat (113 buah), Jakarta Timur (95 buah), Jakarta Pusat (68 buah), Jakarta Utara (32 buah), Pulau Seribu (7 buah), dan Jakarta Selatan (78 buah). “Penertibannya akan terus kami lakukan,” tegas Sumarsono. Apalagi, ajakan penolakan tersebut sudah menelan korban dua jenazah, yaitu almarhumah Ibu Hindun dan Ibu Bania.

Saat ini pun Kepolisian dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tengah mendalami ada tidaknya unsur pidana terkait spanduk larangan menyalatkan jenazah tersebut. “Sudah kita koordinasikan kerjasama dengan unsur Pemda, termasuk unsur Bawaslu. Karena ini masih era Pilkada jadi tidak bisa terlepas dari masalah UU Tindak Pidana Pemilu,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (15/3).

Menurut Boy, tulisan pada spanduk mengarah kepada kebencian dan permusuhan. “Jadi kita sedang mendalami berkaitan tindak pidana umum, berkaitan dengan perlakuan atau upaya diseminasi informasi melalui tulisan yang mengarah kepada kebencian dan permusuhan. Ini berpotensi menimbulkan perpecahan, menggangu agenda Pilkada berkaitan hak politik warga negara yang sama di muka hukum,” ujarnya.

Terkait Isu SARA Pilkada

Isu SARA, khususnya politisasi agama, ternyata semakin bergulir kuat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) putaran kedua. Teror spanduk berisi ancaman pada warga yang berbeda pandangan politik ini, berdampak buruk bagi kehidupan beragama dan politik.  Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, meminta pemerintah menindak tegas menertibkan teror spanduk tersebut.

“Kalau cara yang persuasif tidak ada gunanya dalam situasi sekarang ini. Aparat harus tegas untuk segera menurunkan spanduk tersebut,” kata Buya Syafii, Minggu (12/3). Menurutnya, penyebaran teror melalui spanduk ini merupakan cara-cara biadab yang harus segera dihentikan karena bertentangan dengan perintah agama.

Sementara itu, calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan kalau isu SARA yang berembus akhir-akhirnya adalah akibat adanya ancaman yang ditujukan kepada warga. “Ancamannya datang beberapa bulan yang lalu. ketika warga diancam akan dicabut bantuan sosialnya jika memilih gubernur lain,” kata Anies di Menara Bank Mega, Jalan, Senin (13/3).

Ancaman itu terkait akan dicabutnya Kartu Jakarta Pintar (KJP), Pekerja Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PSPU) dihentikan, dan bantuan sosial lainnya dihapus. Kata Anies, hal itu memancing kemarahan sehingga ada sekelompok warga yang membuat ancaman  balik. “Jangan mulai dengan ancaman, itu yang membuat warga marah sehingga muncul ancaman balik,” katanya.

Ancaman balik yang dimaksud Anies adalah spanduk penolakan shalat jenazah terhadap warga yang mendukung saingannya di Pilkada putaran kedua tersebut. Walaupun berada di pihak yang “diuntungkan” dari adanya ancaman ini, namun ia mengatakan sebaiknya tidak bermain di isu SARA sehingga tak mengganggu jalannya Pilkada DKI.

“Seharusnya kita memunculkan tawaran program baru agar yang muncul adalah kritik konstruktif terhadap program itu, bukan isu SARA,” ujar Anies yang mendapat dukungan para ulama, habib dan organisasi massa Islam radikal ini. “Pilkada bukan ajang menakuti-nakuti dan mengancam, tapi ajang agar rakyat mendapatkan pilihan yang lebih baik.”

Spanduk Sebagai Simbol Teror

Menurut Brian McNair, teror adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan di luar prosedur konstitusional. Bagi para teroris, media penting dalam mengkampanyekan isu-isu yang diperjuangkan. Mereka mencari publisitas untuk tujuan psikologis ke benak khalayak, juga hasutan yang menghasilan efek psikologis seperti demoralisasi musuh, mendapatkan simpati publik, atau menciptakan ketakutan dan chaos.

Spanduk kerap dijadikan alat komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan ke masyarakat, terutama yang dilakukan secara anonim. Tak heran bila spanduk atau umbul-umbul, kerap digunakan sebagai media penyebar simbol sejak dahulu kala. Kehadiran spanduk ini secara tak langsung dapat memberikan pesan yang mengancam, memfitnah, dan mengintimidasi, serta menimbulkan ketakutan dan kepanikan dalam masyarakat.

Contoh kasus betapa efektifnya spanduk dalam menyampaikan pesan, adalah pada peristiwa penembakan di sebuah gereja di Charleston, Amerika Serikat, dua tahun lalu. Pria yang menembak sembilan orang ini, membawa bendera konfederasi (yang juga disebut sebagai Southern Cross, Stars and Bars, Dixie Flag, atau The Rebel Flag), ikon wilayah Selatan Amerika Serikat pada masa perang saudara (1861 hingga 1865).

Bendera konfederasi, bagi warga kulit putihmerupakan simbol kejayaan. Sementara bagi warga kulit hitam, merupakan lambang rasisme atas penolakan menghapus sistem perbudakan. Pengibaran bendera konfederasi pada penembakan yang korbannya warga kulit hitam itu, membangkitkan amarah warga AS. Bahkan Gubernur Carolina Selatan saat itu, Nikki Haley, akhirnya memberbolehkan simbol itu dicabut.

Aksi Aktifis Bree Newsom memaksa mencabut Confederate Flag Dari State Capitol North Carolina

Simbol yang digunakan untuk melakukan teror, umumnya akan mengalami degradasi makna. Sebut saja lambang Swastika yang digunakan Nazi Jerman. Awalnya, lambang itu mewakili kehidupan, matahari, kekuatan, dan nasib baik. Namun karena sering disertakan saat pendudukan Nazi yang kejam, kehadiran lambang swastika kemudian selalu dihubungkan dengan sentimen anti-Semitisme Hitler dan Nazi.

Sekarang, ISIS menggunakan lafaz syahadat sebagai simbol gerakan teroris di spanduk dan benderanya. Bahkan tak jarang, aksi Font Pembela Islam (FPI) pun membawa-bawa bendera tersebut dalam aksinya. Akankah kita biarkan kalimat suci Allah Swt mengalami degradasi total? Begitu juga ayat-ayat Alquran lainnya yang digunakan dalam spanduk-spanduk berisi ancaman di atas, apakah kita rela ayat-ayat Allah menjadi simbol menakutkan karena digunakan untuk mengancam umatnya sendiri?

Spanduk Sebagai Alat Propaganda

Spanduk pada dasarnya merupakan media komunikasi berupa kain rentang yang berisi propaganda, simbol, slogan, maupun berita yang perlu diketahui umum. Spanduk biasanya direntangkan di tempat-tempat umum atau keramaian, misalnya di pinggir jalan. Hingga saat ini, spanduk masih menjadi media promosi yang cukup populer karena prosesnya murah, mudah, dan cepat.

Sebagai media yang efektif dan efisien, spanduk sangat sering digunakan dalam kegiatan sosialisasi maupun kampanye. Biasanya, spanduk disebar diberbagai tempat dengan harapan dapat memberikan informasi, memperluas wawasan, dan mengubah pendapat masyarakat. Penggunaan spanduk dalam menyebarkan informasi, sebenarnya termasuk dalam kebebasan berpendapat (freedom of speech).

Namun munculnya spanduk berisi kalimat yang memprovokasi terjadinya permusuhan, kebencian, dan perpecahan, sangat disayangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Rudiantara. “Pemerintah menyayangkan sikap sejumlah pihak yang menyampaikan pandangannya dengan cara provokasi dan melewati batas, bahkan cenderung menebar kebencian, daripada sikap bebas bertanggungjawab.”

Ucapan yang bersifat agitasi dan provokasi, menurut Rudiantara, sangat berbeda dengan kritik. “Kami menghormati kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab, tapi beda antara kritik, agitasi, dan provokasi,” tegasnya. Sebab kata atau kalimat yang bersifat provokasi, apalagi menyebar kebencian dan permusuhan (hate speech), dapat masuk ke ranah hukum sebagai tindakan pidana yang meresahkan masyarakat.

Maraknya spanduk dan umbul-umbul yang memuat slogan kebencian dan provokasi, juga sempat dilakukan oleh beberapa negara Eropa. Ketika akan melakukan referendum naturalisasi keturunan imigran di Swiss, Februari lalu, misalnya. Spanduk dan reklame yang menunjukkan kekhawatiran akan bertambahnya jumlah penduduk Muslim di negeri itu, bertebaran dihampir seluruh negeri land of milk and honey ini.

Begitu juga saat kampanye pemilihan umum di Jerman dan Belanda beberapa waktu lalu. Partai populis sayap kanan yang anti-Islam di kedua negara tersebut, seperti Partai Alternatif Untuk Jerman (Alternative for Germany/AfD) dan Partai Kebebasan di Belanda, secara besar-besaran mengkampanyekan visi partai mereka dengan menggunakan spanduk provokasi dan kebencian, agar dapat memenangkan pemilu.

Tapi hasilnya, seperti yang dapat kita baca sendiri di berbagai media, upaya tersebut gagal total. Referendum di Swiss malah menghasilkan persetujuan atas aturan naturalisasi yang memungkinkan keturunan imigran – yang sebagian besar Muslim, untuk mendapatkan hak kewarganegaraan. Begitu juga Partai AfD dan Partai Kebebasan harus rela menelan kekalahan di negaranya masing-masing.

Jadi bisa disimpulkan, walaupun spanduk mampu mengkomunikasikan suatu ide atau gagasan pada masyarakat, namun tidak sepenuhnya bisa mengubah pola pemikiran atau keyakinan masyarakat. Bahkan hasilnya bisa jadi bertolak belakang, bila dianggap bertentangan dengan norma masyarakat.

Kegagalan. Itu pula yang bisa terjadi dengan beredarnya spanduk-spanduk berisi teror mengatasnamakan agama, terutama bila warga merasa terancam dan diperdaya oleh isinya. Bukannya mendapatkan dukungan dan legitimasi, malah akan dianggap memprovokasi dan terorisasi. Apalagi bila penggunaannya hanya untuk kepentingan politik semata, tidak sepadan harganya. Sepantasnya orang yang cerdas beragama, juga cerdas beretika, terutama dalam menggunakan kitab suci-Nya. (Berbagai sumber/R24)

Exit mobile version