Persepsi minor problematika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengiringi sikap skeptis publik terkait kebijakan teranyar Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Lantas apakah program Tapera tersebut memang sama sekali tidak relevan di tengah dampak multi aspek pandemi Covid-19?
PinterPolitik.com
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentu sebelumnya telah memahami bagaimana respon publik atas terobosan terbarunya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Benar saja, seperti berbagai persepsi publik lainnya terhadap berbagai kebijakan Presiden Jokowi sebelumnya yang dinilai kontraproduktif, kebijakan Tapera di tengah pandemi juga mendapatkan kritikan tajam dari berbagai pihak.
Banyak pihak mulai dari pekerja, pengamat, hingga dunia usaha yang menilai bahwa program yang nantinya akan dieksekusi oleh Badan Pengelola (BP) Tapera ini, bukanlah merupakan suatu yang urgen saat ini.
Terlebih berbagai kalangan di Indonesia dihadapkan pada dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi dan aspek ketenagakerjaan yang semakin meluas belakangan ini. Kalangan yang kontra bahkan menilai bahwa kebijakan ini tak lain sebagai agenda yang berpotensi menjadi bancakan oknum tertentu karena akan ada dana yang mengendap dalam waktu lama.
Apalagi dari aspek para pekerja, meskipun setengah persen iuran Tapera telah ditanggung perusahaan atau tempatnya bekerja, mereka harus rela penghasilannya terpotong untuk melengkapi 3 persen persayaratan iuran tersebut.
Belum lagi kritik terhadap konteks eksekutor itu sendiri yaitu BP Tapera yang tidak terjamin payung hukum dari risiko klasik masalah pengelolaan dan pengalokasian dana di tengah jalan. Di sisi lain, juga tidak ada kepastian kapan penerima manfaat akan mendapatkan hunian sejak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial tersebut.
Dari berbagai kritikan tersebut, terdapat beberapa gagasan konstruktif yang memang sangat dibutuhkan BP Tapera sebagai pelaksana progam perumahan ini. Namun yang banyak berkembang di publik saat ini justru respon dan komentar yang dinilai berperspektif sempit, skeptis dan cenderung destruktif terhadap program Tapera ini.
Alih-alih terus pesimistis dalam kondisi saat ini terhadap berbagai kebijakan pemerintah, terutama terkait program Tapera, perubahan cakrawala ke sisi positif menjadi lebih sangat dibutuhkan. Kritik dan masukan konstruktif bagi fundamental kinerja BP Tapera bahkan dinilai menjadi urgensi sebagai salah satu upaya bangsa bangkit dari keterpurukan multi aspek pandemi Covid-19. Mengapa demikian?
Sinergitas Artikulasi Kebijakan
Allan McConnell dalam “Policy Success, Policy Failure and Grey Areas In-Between” menyatakan bahwa sukses atau tidaknya sebuah kebijakan dapat diklasifikasikan dari tiga komponen yang saling terkait satu sama lain yaitu dimensi politik, bentuk dari kebijakan yang dieksekusi, serta proses atau implementasi kebijakan itu sendiri.
Temuan McConnell dalam tulisannya tersebut juga memastikan bahwa apabila salah satu komponen tidak berjalan secara optimal, dapat dipastikan outcome atau hasil yang diperoleh tidak akan sejalan dengan tujuan kebijakan.
Apa yang McConnell kemukakan tersebut jamak ditemukan pada berbagai kebijakan yang dirilis oleh Presiden Jokowi. Cukup banyak kebijakan yang dinilai sangat baik dan matang secara konseptual serta diterima secara politis, namun menjadi minor dikarenakan elemen di bawahnya lalai atau gagal mengartikulasikan progresivitas yang menjadi tujuan kebijakan.
Sebut saja program relevan terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang secara fundamental sangat baik bagi penunjang aspek kesehatan masyarakat, terutama kalangan yang rentan secara finansial. Akan tetapi, implementasi dan kecakapan stakeholder terkait serta dukungan ketidakpatuhan masyarakat dalam konteks iuran tidak selaras dengan apa yang telah direncanakan dalam kebijakan.
Akibatnya, sebagian besar masyarakat justru sepenuhnya mengkambinghitamkan pemerintah dibandingkan introspeksi peran masing-masing dalam kebijakan subsidi silang yang berlandaskan solidaritas kolektif tersebut.
Hal serupa dengan mindset yang harus semua pihak perbaiki dinilai menjadi urgensi terhadap kebijakan program Tapera terbaru Presiden Jokowi. BP Tapera sebagai sentral dalam kebijakan yang juga berbasis solidaritas subsidi silang ini harus mendapatkan dukungan serta masukan konstruktif dari berbagai pihak.
Hal ini dikarenakan, BP Tapera akan menggenggam harapan banyak individu untuk memiliki hunian terjangkau serta dinilai akan menggerakkan sektor properti atau perumahan yang “hambar” dalam beberapa waktu terakhir.
Program ini juga tampaknya dapat dipastikan memberikan dampak penciptaan lapangan kerja baru dan dampak ekonomi turunan lainnya. Hal ini tentu sangat positif dalam menjawab persoalan ketenagakerjaan serta melesunya perekonomian akibat pandemi Covid-19 belakangan ini.
Bagaimanapun, sebuah kebijakan memang memiliki kodrat ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, berbagai kemanfaatan dari program ini juga barang tentu akan menuai hasil maksimal dengan kontribusi konstruktif semua pihak termasuk para peserta program Tapera kelak dalam proses implementasinya.
Apabila masukan konstuktif dari berbagai pihak yang terus berdatangan saat ini dapat diterjemahkan dengan perbaikan konkret oleh BP Tapera sebagai eksekutor, program ini dinilai akan menjadi titik balik persoalan kepemilikan rumah yang layak di Indonesia.
Kendatipun gagasan konstruktif menjamur di kemudian hari, BP Tapera harus senantiasa waspada menjaga amanat negara dan rakyat Indonesia. Hal ini terkait dengan potensi-potensi problematika mendasar serta kemungkinan turbulensi program di tengah jalan seperti yang terjadi pada program BPJS Kesehatan.
Kompleksitas Tantangan
Berbagai komentar skeptis publik terhadap program Tapera agaknya dikarenakan rendahnya pemahaman konteks kebijakan dan persoalan secara utuh.
Selain itu, hanya memandang satu aspek persoalan tanpa secara komprehensif memperhatikan variabel lain tentu dinilai menjadi kurang bijak dalam konteks ini. Kritik seputar kepastian realisasi pemanfaatan program yang dinilai harus menunggu hingga usia pensiun atau hingga penerima manfaat berusia 58 tahun misalnya.
Narasi tersebut terus berkembang bersama narasi destruktif lainnya yang bahkan sesungguhnya dapat secara sederhana terjawab dengan menengok secara seksama PP Nomor 25 tahun 2020 serta Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Richard Best dalam publikasinya “Success Failure and Prospect for Public Housing Policy” menyatakan bahwa meskipun public housing policy atau kebijakan terkait perumahan rakyat menjadi investasi pemerintah, terutama di area urban, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola program dikarenakan jumlah dana dan target penerima yang sangat besar.
Selain itu, kompleksitas koordinasi dan koherensi antar stakeholder juga menjadi tantangan tersendiri dalam intisari tulisan Best tersebut, di mana cukup relevan dengan berbagai program jaminan sosial yang telah dilaksanakan Presiden Jokowi.
Akar tantangan program yang akan dieksekusi BP Tapera bahkan telah eksis sejak awal UU No. 4 tahun 2016 yang menjadi pondasi hukum fundamental. Pada 2019 silam, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (MenPUPR) Basuki Hadimuljono bahkan mengakui persoalan klasik anggaran dan birokrasi memaksa Tapera baru bisa terwujud pada tahun 2020.
Selain aral tersebut, McConnell dalam publikasi sebelumnya juga menekankan pentingnya cross policy comparison atau perbandingan lintas kebijakan. Dalam hal ini BP Tapera terhadap BPJS Kesehatan yang telah meminum asam garam polemik yang hadir pada pengelolaan program jaminan sosial.
Ihwal tersebut dikarenakan, BP Tapera akan mengelola dana yang tidak sedikit dari Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI-Polri, serta pekerja sektor formal lain yang jumlahnya berada di kisaran 56 juta orang.
Lalu, tantangan lain bagi BP Tapera akan hadir ketika realisasi perumahan yang memiliki kompleksitas tersendiri seperti lahan, lokasi, hingga transparansi serta keterlibatan penerima manfaat dalam proses berjalannya program.
Pada titik inilah, dukungan konkret secara konstruktif dari publik dinilai menjadi sangat dinantikan terhadap BP Tapera yang menjadi ujung tombak kebijakan progresif Presiden Jokowi bagi kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain payung hukum yang ada juga mengehendaki BP Tapera untuk menetapkan mekanisme terbaik dalam pengelolaan program yang kemanfaatannya akan dirasakan dalam jangka panjang ini.
Berdasarkan kausalitas tersebut, sinergi antara publik, pemerintah, dan BP Tapera dinilai akan menjadi kunci sukses untuk mengatasi persoalan hunian di tanah air. Dan di saat yang sama, program ini diharapkan dapat menghadirkan efek samping positif tersendiri bagi upaya seluruh elemen bangsa keluar dari dampak pandemi ini. Itulah harapan kita bersama. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.