Entah kabar gembira atau kabar duka, ternyata Gajah Mada adalah seorang Muslim bernama Gaj Ahmada. Nyatanya, perubahan nama dan identitas tidak bisa se-semena-mena begitu.
PinterPolitik.com
Siapa orang Indonesia yang tidak kenal Gajah Mada? Tidak perlu dua belas tahun wajib sekolah untuk tahu tokoh ‘kolosal’ yang satu ini. Namanya tercantum dalam bahan ajar buku-buku sekolah dasar sampai menengah atas juga menjadi nama sebuah kampus beken di Yogyakarta sana, Universitas Gajah Mada. Selain itu, hampir seantero kota di pulau Jawa memiliki Jalan Gajah Mada.
Tidak disangka-sangka, sepuluh hari menjelang Lebaran, entah angin darimana berhembusnya, sebuah berita beredar, Gajah Mada kini berganti nama menjadi Gaj Ahmada. Siapa yang memulai, memang sudah diketahui keberadaannya dan yang jelas karena nama barunya itu – yang mengandung kata ‘Ahmad’ – sekarang dia juga beragama Islam. Tidak sampai 1×24 jam, banyak yang melaporkan seraya memprotes kejadian ini (bukan kepada pak RT setempat) melalui akun media sosial masing-masing.
Sebenarnya tidak masalah andaikata Gajah Mada itu seorang Muslim. Akan tetapi, memuslimkan Gajah Mada dengan cara mengotak-atik namanya menjadi Gaj Ahmada adalah perbuatan tidak senonoh, yang sama sekali tidak sopan. Sama halnya dengan memuslimkan Ronaldo menjadi Ron Al-Do, atau Karl Marx menjadi Qarel Al-Marq. Pasalnya, pergantian nama Mahapatih Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa itu belum meminta izin yang punya nama, ataupun keluarganya, karena biasanya (dalam tradisi Jawa misalnya) mereka lah oknum yang ‘berhak’ mengubah nama seseorang melalui mekanisme upacara bubur abang-putih (merah-putih) karena nama yang disandang disinyalir membawa sial.
Dalam hal ini, justru Gajah Mada yang dibawa sial karena perubahan namanya itu. Dahulu, pada masa Gajah Mada hidup, menggunakan nama hewan untuk nama orang atau gelar seseorang adalah hal yang trendy. Nama-nama seperti Lembu Tal, Hayam Wuruk, Kebo Anabrang, Kidang Pananjung, dan Banyakcatra adalah sebagian tokoh baheula nusantara yang dalam namanya terselip sebutan satwa. Tentu saja, Ahmad adalah nama yang baik tapi buat apa menggunakan nama yang terkesan Arab untuk memuslimkan seseorang, toh Cheng-Ho, Bong Swie Ho (Sunan Ampel), Bong Tak Kheng (Sunan Drajat), Ca Tek Su (Sunan Kudus) tetap lah seorang Muslim yang diakui hingga kini walaupun namanya bernuansa Chinese (lihat Tan Ta Sen, Cheng-Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara).
Om: kuliah dimana skg le?
Me: di UGM om di Jogja
Om: oohhhh Universitas Gaj Ahmada itu yaaa
Me: ?? *kekenyangan hoax+mecin*#HidupDiKampung— Failur Rahman (@FAIL_SUTRISNO) June 28, 2017
Ingatan Historis Nasion Indonesia
Menurut Benedict Anderson dalam Imagined Communities, nasion adalah komunitas terbayang politis, yang terbayang baik secara terbatas dan berdaulat. Menurutnya, nasion menjadi sesuatu yang terbayang karena para anggota nasion sekalipun tidak tahu dan tidak akan pernah kenal sebagian besar anggota lainnya, tidak akan pernah bertatap muka, atau pun mendengar tentang mereka.
Yang paling membedakan nasion dengan konsep komunitas lainnya — misalnya Kerajaan Kristiani ataupun Ummah Islam – adalah dalam hubungan yang mengikat anggota-anggotanya. Jika pada komunitas lain hubungan dicirikan dengan ikatan kekerabatan dan keklienan (atasan-bawahan), dalam nasion anggota-anggota merasa terikat karena merasakan keserempakan ‘menyeberangi arus waktu yang homogen dan hampa’.
Misalnya saja, dalam nasion Indonesia, saya dan Anda tidak pernah memiliki ikatan darah. Akan tetapi, bisa saja saya dan Anda merasa menjadi bagian dari nasion Indonesia atas dasar persamaan bahasa atau pun tempat lahir. Bahkan, saya dan Anda merasa menjadi bagian dari sebuah nasion Komunitas Asep-asep karena sesederhana memiliki nama ‘Asep’. Bahasa, tempat lahir, dan ‘Asep’ dalam penjelasan di atas, dalam konsep nasionnya Anderson, adalah penyedia cara-cara teknis mewujudkan jenis komunitas terbayang yang adalah suatu nasion.
Begitulah, nasion dibayangkan kerap dengan suatu yang amat sederhana dan bisa jadi kebetulan. Dalam Imagined Communities, Anderson menjelaskan bahwa penyedia cara-cara teknis tersebut adalah novel dan surat kabar – berkat berkembangnya kapitalisme-cetak.
Lebih lanjut, Smith, seperti dikutip dari Narrative-nya Paul Cobey, mengatakan bahwa guna menjaga keberlangsungannya, nasion tidak hanya butuh suatu wilayah historis, kebudayaan bersama, hak dan kewajiban untuk semua anggota, serta ekonomi bersama, tetapi juga mitos dan ingatan historis bersama.
Sebelum menjadi nasion, Indonesia hanyalah gugusan kepulauan yang terpisah satu sama lain. Masing-masing wilayah memiliki narasi asal-usul leluhurnya masing-masing. Mereka juga memiliki kisah tersendiri mengenai perlawanan terhadap kolonialisme Belanda: Orang Jawa dengan Pangeran Diponegoro, Orang Makassar dengan Sultan Hasanuddin, dsb. Kemudian, atas upaya para pemuda yang mencapai komitmennya dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, gugusan kepulauan tersebut bertekad bersatu di bawah panji nasion Indonesia. Mulai sejak itu sampai awal kemerdekaan hingga saat ini, usaha-usaha untuk membangun ingatan historis nasion Indonesia dibangun.
Salah satu usaha membangun ingatan historis tersebut, yakni melalui narasi kejayaan Majapahit. Muhammad Yamin, tokoh nasionalis yang sangat tertarik dengan budaya Jawa, mengarang sebuah buku bertajuk Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Dalam bukunya ini, dia memberikan kisah heorik Gajah Mada sekaligus melukiskan gambaran wajah Gajah Mada berdasarkan celengan terakota yang ditemukannya di Trowulan – kemudian diketahui wajah ini bukan wajah Gajah Mada.
Dalam hal ini, Majapahit dinilai sebagai prototipe sekaligus wujud historis bahwa gugusan kepulauan nusantara pernah hidup jaya bersama dibawah naungan suatu pemerintahan. Gajah Mada, sebagai Mahapatih yang berperan memimpin penaklukkan berbagai wilayah di nusantara atas dasar Sumpah Amukti Palapa, menjelma sebagai ikon pemersatu nasion Indonesia.
Kemudian, nama ‘Gajah Mada’ dijadikan nama jalan utama di berbagai daerah. Nama ‘Palapa’ juga dijadikan nama satelit yang dirancang untuk ‘menghubungkan’ komunikasi antar wilayah di Indonesia. Nama Gajah Mada dijadikan nama universitas, dan tidak sedikit pula tokoh Indonesia yang bermaksud memanfaatkan kebesaran Gajah Mada. Seoharto misalnya, dia sangat berobsesi untuk bisa bertapa di tempat Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Bahkan dia menyuruh dua orang sejarawan untuk mencari tahu lokasi persisnya, walau pencarian ini nihil hasil.
Dalam bab Majapahit Visions: Sukarno and Suharto in the Indonesian Histories, sejarawan Jean Gelman Taylor menuturkan bahwa berdasarkan penggalian arkeologis Majapahit hanya sebuah kerajaan kecil di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, rezim Sukarno dan Suharto lah yang telah ‘membesarkan’ Kerajaan Majapahit guna mendukung agenda politis mereka, Nation Building (Sukarno) dan Economic Development (Suharto). Mereka menggunakan narasi yang dibentuk Muhammad Yamin tentang Gajah Mada dan Majapahit. Hasilnya, narasi ini pun mengalir ke setiap generasi nasion Indonesia lewat bahan-bahan ajar di sekolah dasar dan menengah, bukan sebagai suatu fakta sejarah melainkan lebih kepada propaganda rezim.
Anderson dalam The Spectre of Comparison menuturkan, para ‘tentara’ sejarawan, baik dan buruk, dibantu oleh folkloris, sosiolog, statiskawan, kritikus sastra, arkeolog, dan Negara, memproduksi suatu ‘meriam’ dalam jumlah besar karya-karya untuk membantu anggota nasion mengada, sekaligus membayangkan biografi, dan masa depan, komunitas politis mereka di masa depan. Meskipun terdapat kemungkinan perbedaan dalam metode, pendekatan, basis data, dan sudut pandang politik, tetapi para ‘tentara’ ini secara khusus memahami teks-teks mereka sebagai ‘dokumen-dokumen peradaban’. Menurut Anderson, bangsa selalu, dan tanpa banyak pertanyaan, ditempatkan, secara sejarahnya, faktual dan secara moral baik.
Yg klaim Gaj Ahmada sih gak banyak, tapi yang “nimpukin” banyak. Lumayan, warganet.
— DAИDY (@DandeePradana) June 22, 2017
Berebut Berkah Sang Patih
Seperti ungkapan Gajah mati meninggalkan gading, sebelum Gajah Mada mati, tindak-tanduknya dicatat dalam kitab Nagarakertagama yang kelak kelak kemudian dimanfaatkan oleh anak-cucunya guna mendefinisikan nasion Indonesia. Polemik Gajah Mada versus Gaj Ahmada terjadi ketika usaha-usaha yang telah dibangun sekian lama oleh rezim dalam kerangka nasion Indonesia dicangkokkan ‘identitas’ non-nasional-Indonesia, yang dalam hal ini Muslim. Persis dalam hal ingatan historis ini lah Gajah Mada diperebutkan berkahnya sebagai cara-cara teknis mewujudkan nasion Indonesia dan kemudian nasion ‘Islam di Indonesia’.
Sebenarnya, pencangkokkan ‘identitas’ non-nasional-Indonesia, yang dalam hal ini Muslim, terhadap tokoh-tokoh ‘nasional’ Indonesia tidak hanya terjadi pada Gajah Mada. Misalnya saja pada Hari Pahlawan, beragam tulisan muncul dengan topik: mengapa dalam gambar pahlawan yang kerap dipajang di sekolah Cut Nyak Dien tidak berhijab?
Pertanyaan yang sama pun muncul ketika Hari Kartini, mengapa Kartini tidak berhijab? Beberapa pertanyaan lain juga mengadu keduanya, mana yang lebih ‘pahlawan’, Kartini yang menulis atau Cut Nyak Dien yang mengangkat senjata? Bahkan beberapa pihak mengklaim bahwa Cut Nyak Dien lebih tinggi derajatnya atas dasar dia turun langsung ke medan perang dibanding Kartini yang ‘hanya’ menulis serta ‘kemuslimannya’ dipertanyakan.
Selain artikel-artikel lepas di internet, setidaknya ada dua buku juga turut mewarnai polemik, yakni Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman (Phoenix, 2014) dan Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi (LHKP, 2010).
Namun demikian, siapapun nama sebenarnya, mau Gajah Mada ataupun Gaj Ahmada, toh dia tetap lah seorang agen imperialis penjajah wilayah lain bukan?
(H31)