Site icon PinterPolitik.com

Terawan dan Strategi Mimikri IDI

terawan dan strategi mimikri idi

Terawan Agus Putranto menghadiri sebuah rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan (Menkes) pada tahun 2020 lalu. (Foto: Jakarta Post)

Beberapa waktu lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memutuskan untuk memecat mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto dari profesi kedokteran. Kini, muncul asosiasi kesehatan “tandingan” yang bernama Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI).


PinterPolitik.com

Para penggemar seri komik pahlawan super dari DC Comics mungkin tidak asing lagi dengan sebuah kelompok yang bernama Injstice League. Kelompok ini berisikan karakter-karakter antagonis – seperti Joker dan Lex Luthor – dari kisah-kisah pahlawan super di DC Comics.

Dari namanya pun, sudah bisa ditebak bagaimana kelompok ini bisa terbentuk. Nama Injustice League sendiri bisa dibilang mirip dengan kelompok tandingannya yang telah muncul terlebih dahulu, yakni Justice League yang berisikan para pahlawan super yang siap melawan berbagai kejahatan dan ketidakadilan.

Tentu, kisah kemunculannya pun bermacam-macam. Salah satu yang kisah kelahiran Injustice League yang paling awal adalah pendiriannya oleh Major Disaster – lawan dari pahlawan super Green Lantern. Injustice League versi Major Disaster ini dibentuk untuk menandingi Justice League International.

Boleh jadi, kisah-kisah kemunculan organisasi dan kelompok tandingan seperti ini tidak hanya eksis di dunia komik dan kartun, melainkan juga di dunia nyata – khususnya dalam dinamika politik. Bagaimana tidak? Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, misalnya, beberapa kali dijumpai lahirnya kelompok-kelompok tandingan. 

Kisah seperti ini pun datang dari salah satu partai politik (parpol) terbesar di Indonesia, yakni PDIP. Kemunculan parpol satu ini pun awalnya merupakan kubu tandingan dari parpol yang sudah ada sebelumnya, yakni PDI.

Tidak hanya PDIP, kubu-kubu tandingan seperti ini juga pernah terjadi di dunia persepakbolaan Indonesia, yakni terjadinya dualisme liga kala ada perebutan kekuasaan di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Pada tahun 2010-2011, muncul lah Liga Primer Indonesia (LPI) yang tidak diakui PSSI – di luar liga formal Liga Super Indonesia (ISL).

Kini, hal yang sama kembali muncul. Namun, kali ini, organisasi yang disebut sebagai “tandingan” ini muncul di dunia kedokteran – setelah terjadi polemik pemecatan mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dalam deklarasinya, organisasi ini menyebut diri mereka sebagai Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI).

Mengapa fenomena kemunculan kelompok-kelompok “tandingan” ini kerap terjadi – khususnya dalam dinamika politik Indonesia? Mungkinkah kemunculan berbagai kelompok “tandingan” ini merupakan fenomena yang biasanya sudah direncanakan?

Politik Mimikri ala Terawan?

Bukan tidak mungkin, fenomena kemunculan entitas-entitas tandingan seperti ini merupakan bentuk mimikri. Pasalnya, mimikri telah lama digunakan sebagai salah satu mekanisme untuk mempertahankan diri di alam.

Mengacu pada tulisan David W. Kikuchi dan David W. Pfennig yang berjudul Imperfect Mimicry and the Limits of Natural Selection, mimikri terjadi ketika satu organisme berevolusi dengan kemiripan (resemblance) terhadap organisme lain akibat dari perilaku selektif. Salah satu alasannya adalah agar dapat bertahan hidup dalam seleksi alam.

Ini sejalan dengan teori evolusi dari Charles Darwin yang menjelaskan bahwa makhluk hidup akan melalui evolusi agar bisa beradaptasi. Adaptasi ini dianggap perlu agar bisa bertahan hidup agar bisa lolos dari seleksi alam.

Dalam biologi, mimikri pun bermacam-macam ragamnya. Mimikri Batesian, misalnya, menjelaskan soal mimikri yang ada di antara kupu-kupu yang berasal dari famili yang berbeda. 

Mimikri ini dijalankan melalui warna tubuh guna memberi sinyal kepada predator agar tidak dimakan. Berdasarkan mimikri Müllerian, mimikri semacam ini membuat predator belajar mengenai pola warna soal mangsa mana yang bisa dikonsumsi.

Selain Batesian, ada juga mimikri agresif yang justru dilakukan oleh predator. Mimikri jenis ini dilakukan dengan meniru spesies ketiga atau mangsanya – sehingga membuat predator lebih mudah dalam menangkap mangsanya.

Dari jenis-jenis mimikri yang ada di alam, bisa disimpulkan bahwa mimikri – baik defensif maupun ofensif – merupakan mekanisme yang digunakan untuk bertahan hidup (survive). Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana hubungan antara mimikri yang ada di alam dengan apa yang ada di ruang sosial manusia.

Dalam politik, mimikri pun sering terjadi. Dalam politik internasional, misalnya, mengacu pada tulisan karya Matt Andrews, Lant Pritchett, dan Michael Woolcock yang berjudul Looking Like a State: The Seduction of Isomorphic Mimicry, suatu negara memiliki kecenderungan untuk meniru keberhasilan dari kebijakan negara lainnya – dengan meniru proses, sistem, dan bahkan produk kebijakan tersebut.

Dalam politik domestik, strategi untuk survive melalui mimikri pun bisa juga terjadi. Apa yang terjadi antara PDI dan PDIP, serta LPI dan ISL, merupakan mekanisme mereka agar bisa bertahan dalam ekosistem politik yang ada.

Mungkin, mekanisme politik mimikri ini bisa diamati dengan mengacu pada tulisan Hannah Philp yang berjudul The Semiotics of Authority. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, mimikri kerap mengambil pola atau bentuk yang ada pada entitas lain.

Bukan tidak mungkin, pola dan bentuk yang mirip ini akhirnya menimbulkan makna yang ditimbulkan dari tanda atau simbol. Dari sini, makna dari tanda-tanda tersebut akhirnya diperebutkan untuk menciptakan otoritas (authority) dari entitas yang melakukan mimikri.

Perebutan otoritas inilah yang bisa jadi berjalan di antara kelompok-kelompok yang memiliki kemiripan ini. PDIP, misalnya, pada masa lalu, berusaha memperebutkan otoritas yang sebelumnya PDI – parpol yang disebut lebih diakui oleh pemerintahan Soeharto pada era Orde Baru.

Spin-off ala Terawan terhadap IDI?

Kini, bukan tidak mungkin, PDSI juga melakukan hal yang sama terhadap IDI yang memiliki otoritas di dunia kedokteran nasional Indonesia. Bagaimana pun, otoritas kedokteran inilah yang turut menentukan kekuasaan dan pengaruh atas siapa yang bisa menjadi dokter atau tidak – misalnya dalam kasus pemecatan Terawan.

Namun, benarkah politik mimikri yang dilakukan oleh PDSI ini hanya terjadi secara alami layaknya mimikri yang ada di alam luar sana? Mengapa mimikri ala PDSI terhadap IDI ini bisa saja terjadi by-design?

Meskipun mimikri bisa dibilang menjadi mekanisme alami agar bisa lolos dari seleksi alam yang keras, bukan tidak mungkin mimikri juga bisa terjadi by-design karena intervensi manusia. Dalam biologi, sudah bukan rahasia lagi bahwa manusia kini bisa mengembangkan teknologi dan metode untuk mempengaruhi evolusi yang terjadi pada makhluk hidup lain.

Tentunya, dalam politik, intervensi manusia merupakan hal yang terjadi. Lagipula, seperti yang pernah diungkapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) ke-32 Franklin Delano Roosevelt (FDR), tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan dalam politik. Bila pun hal tersebut terjadi, pasti sudah direncanakan demikian.

Mari kita terapkan asumsi FDR ini kepada dinamika politik yang terjadi dalam fenomena kemunculan kelompok-kelompok tandingan ini. Apapun yang terjadi dalam kemunculan PDIP, misalnya, bisa jadi merupakan bentuk fenomena by-design – dengan peran Megawati Soekarnoputri yang dianggap sebagai oposisi dari pemerintahan Soeharto.

Lantas, bagaimana dengan kemunculan PDSI sebagai “tandingan” terhadap IDI? Mungkinkah kemunculan organisasi “sempalan” (spin-off) ini terjadi karena telah direncanakan sedemikian rupa?

Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi menarik untuk diulik. Pasalnya, seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Bukan IDI, Siapa Musuh Terawan?, Terawan merupakan sosok yang sebenarnya too big to fall (sulit untuk jatuh) dengan berbagai koneksi politik dan militer yang dimilikinya.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), misalnya, sudah mengesahkan PDSI sebagai sebuah badan hukum. Padahal, mengacu pada IDI, pada prinsipnya, organisasi profesional biasanya hanya ada satu di setiap negara.

Pengesahan dari Kemenkumham ini pun memunculkan pertanyaan akan kemungkinan bahwa pemerintah membiarkan dualisme organisasi kedokteran ini terjadi. Belum lagi, orang-orang PDSI kabarnya adalah mereka-mereka yang bekerja untuk dan dekat dengan Terawan.

Di sisi lain, kemunculan organisasi-organisasi spin-off di organisasi profesi seperti ini pun sebenarnya tidak hanya terjadi pada kasus IDI dan PDSI. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), misalnya, juga sempat mengalami perpecahan hingga menimbulkan tiga kubu yang berbeda.

Pada akhirnya, gerak-gerik politis di balik kemunculan organisasi-organisasi spin-off seperti ini bisa jadi membuat mimikri seperti ini tidak terjadi secara alami layaknya seleksi alam ala Darwin. Lagipula, kemunculan Justice League dan Injustice League juga terjadi karena adanya tokoh tertentu yang membuat inisiatif. (A43) 


Exit mobile version