HomeHeadlineTentara Lulusan Sarjana Jadi Panglima?

Tentara Lulusan Sarjana Jadi Panglima?

Dinamika perubahan aturan bagi calon prajurit oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa agaknya secara tidak langsung menguak satu persoalan berikutnya yang juga harus menjadi perhatian, yakni soal jenjang karier dan masalah keadilan.


PinterPolitik.com

Dengan keberanian mereformasi kebijakan rekrutmen TNI sejak menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa tampaknya juga harus memerhatikan soal keadilan dalam jenjang karier para prajurit.

Ya, latar belakang inisiasi Jenderal Andika mengenai penurunan standar tinggi badan bagi taruna dan taruni Akademi TNI tahun ini di permukaan sudah cukup baik. Tidak lain, itu adalah soal keadilan agar dapat membuka kesempatan lebih luas berdasarkan kondisi spesifik akses nutrisi masyarakat dan remaja Indonesia yang belum merata.

Kendatipun mendapat respons kurang baik dari Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, nyatanya aktor di pemerintahan tak sedikit yang mendukung kebijakan Jenderal Andika itu.

Panglima TNI KE-18 yang juga Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, misalnya, mengatakan prajurit TNI disiapkan untuk perang, bukan sekadar untuk baris-berbaris, dan bukan pula untuk protokol.

Menurutnya, tinggi badan seorang prajurit nantinya dapat disesuaikan dengan kebutuhan angkatan bersenjata yang begitu kompleks.

Senada dengan Moeldoko, Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) sekaligus anggota Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik Khairul Fahmi mengatakan tinggi badan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kompetensi seorang prajurit.

image 1

Secara kebutuhan organisasi, Fahmi mengatakan tidak semua prajurit nantinya akan mengoperasikan alutsista.

Justru, ia menilai kebijakan baru Jenderal Andika akan memperluas kesempatan bagi calon prajurit, plus memperbesar peluang TNI untuk mendapatkan taruna-taruni dengan kompetensi terbaik.

Namun, impresi keadilan itu kiranya juga menguak satu lagi keadilan yang agaknya belum terpenuhi secara maksimal, yakni mengenai kesetaraan kesempatan dan jenjang karier bagi seorang prajurit di level yang lebih tinggi. Mengapa demikian?

Persoalan Bottleneck dan Keadilan

Selama ini, Jenderal Andika memang kerap melakukan kebijakan yang sekilas tampak revolusioner. Akan tetapi, beberapa perubahan kebijakan yang dilakukan tampaknya masih belum komprehensif dan kemungkinan cenderung mengincar publisitas.

Sejak menjabat sebagai KSAD hingga kini, Jenderal Andika terlihat lebih fokus pada aspek yang justru memancing pro-kontra publik seperti menghapus tes renang, menghapus tes keperawanan bagi calon prajurit perempuan, memperbolehkan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendaftar sebagai prajurit, hingga penurunan standar tinggi badan taruna/taruni.

Padahal, selain persoalan rekrutmen prajurit, aspek output terutama penempatan posisi bagi para perwira kiranya juga harus menjadi perhatian serius Panglima TNI.

Sebagai contoh, pada awal tahun ini hal tersebut kembali diperbincangkan dalam diskursus masa pensiun prajurit.

Persoalan mengemuka setelah sejumlah pihak mengajukan pengujian pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI terkait batas umur pensiun TNI.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?
image 2

Usia pensiun paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama dirasa belum ideal saat bercermin dari masa pensiun Polri dan instansi lain yang mencapai usia 58 tahun.

Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan itu. Sepanjang pro-kontra isu tersebut, jamak juga yang menilai perpanjangan masa pensiun akan semakin memperparah “fenomena klasik” bottleneck atau penumpukan perwira menengah non-job di TNI.

Bersamaan dengan persoalan surplus perwira sebagai output rekrutmen yang saat ini tengah difokuskan Jenderal Andika, persoalan keadilan dalam kesempatan karier perwira di TNI kiranya juga patut disoroti.

Itu dikarenakan, hingga kini perwira abiturien akademi masih mendominasi posisi strategis dibandingkan perwira lulusan sarjana/diploma atau yang meniti karier dari jenjang bintara. Tentu, ketika berbicara di luar konteks “dokter militer” (dokmil) yang pasti memiliki kesempatan hingga mencapai bintang tiga.

Padahal, Jenderal Andika kiranya bisa lebih memerhatikan aspek keadilan di tataran tersebut jika ingin benar-benar membentuk organisasi TNI yang profesional. Meski masa pensiun mantan Komandan Paspampres itu segera berakhir, kesetaraan karier perwira barang tentu bisa menjadi pekerjaan bagi TNI-1 berikutnya.

Mengenai konteks kesetaraan tersebut, definsi keadilan menurut Amartya Sen dalam buku berjudul The Idea of Justice kiranya tepat untuk dikedepankan sebagai pisau analisis.

Filsuf asal India itu mencoba menggali nilai keadilan, yang mana argumennya berpijak pada pemberantasan dan minimalisasi ketidakadilan. Bagi Sen, setidaknya manusia bisa mendapatkan esensi keadilan yang dapat dipegang secara utuh tanpa keberpihakan dan eksklusivitas dari pihak tertentu.

Secara tersirat, Sen juga menyatakan bahwa kelayakan atas suatu hal adalah relatif, bukanlah sebuah konsep mutlak. Menurutnya, kontrak sosial hanyalah perjanjian imajiner yang justru dapat mendeprivasi hak individu.

Walaupun analisis Sen dilakukan dari sudut pandang pembangunan dan ekonomi, adopsinya berupa frasa “meritokrasi” kiranya dapat menjadi materi substansial dari keadilan dalam dimensi lain yang didefinisikannya.

Selama ini, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mayoritas lulusan perwira TNI dari akademi menduduki jabatan strategis, utamanya di bidang non-kesehatan.

Bukan bermaksud membenturkan, akan tetapi institusi yang dulu pernah berada satu payung, yakni Polri belakangan telah membuka kesempatan karier yang lebih terbuka.

Itu misalnya tercermin dari sejumlah lulusan perwira non-akademi yang menduduki jabatan strategis, seperti Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol. Ahmad Luthfi (Sepa Milsuk Polri 1989), Kapolda Banten Irjen Pol. Rudy Heriyanto Adi Nugroho (Sepa Milsuk Polri 1993), mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Polri Komjen. Pol. (Purn.) Muhammad Syafii (Sepa Milsuk Polri 1988), hingga Kabagpenum Divhumas Polri Kombes Pol. Nurul Azizah (Sepolwan 1991).

Di TNI pun bukan tidak ada, sebut saja mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Laksamana Muda TNI (Purn.) Willem Rampangilei (Sepa Wamil 1980) hingga mantan Komandan Batalyon 32 Grup 3/Sandhi Yudha Kopassus Letnan Kolonel (Inf.) Paulus Pandjaitan.

Baca juga :  Soldiers and Politactical Gambit

Namun, agaknya cukup sulit untuk menelusuri kembali perwira-perwira non-akademi dan non-dokmil dengan jabatan strategis lain, seperti pada jabatan level Panglima Komando Utama (Pangkotama), Panglima Divisi, Panglima Kodam (Pangdam) serta jabatan setara di Angkatan Udara (AU) maupun Angkatan Laut (AL).

Apalagi, saat masih menjabat sebagai KSAD, Jenderal Andika mengungkapkan perwira lulusan akademi akan diprioritaskan di enam satuan tempur (Infanteri, Kavaleri, Artileri Medan, Artileri Pertahanan Udara, Zeni, dan Penerbangan Angkatan Darat).

Lagi-lagi, enam kecabangan itu dididik untuk melahirkan panglima atau komandan perang, termasuk komandan kewilayahan.

Sementara di sisi lain, lulusan non-akademi akan difokuskan untuk mengisi satuan bantuan tempur sisanya dan satuan bantuan administrasi.

Meskipun Andika juga berkonsentrasi untuk pendidikan bagi personel, seperti memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perwira lulusan sarjana untuk bisa melanjutkan sekolah tingkat Sekolah Staf dan Komando (Sesko) level matra, akan tetapi pangkat Kolonel-pun hanya dibubuhi tajuk “kesempatan”.

Harus diakui, persoalan bottleneck di TNI kiranya menjadi semakin rumit. Akan tetapi, jika kesempatan karier yang adil sebagaimana disiratkan Amartya Sen berhasil direformasi oleh Jenderal Andika maupun Panglima berikutnya, tentu akan menjadi langkah yang revolusioner.

Salah satu cara awal yang bisa dilakukan kiranya dengan  berkaca dari militer Amerika Serikat (AS) untuk mengatasi persoalan tersebut. Mengapa?

image

AS Dapat Jadi Contoh?

Militer AS merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Termasuk dalam membuka kesempatan karier yang setara dan profesional bagi semua prajurit dengan pintu masuk pendidikan militer yang berbeda.

Jika dijabarkan, beberapa tentara lulusan sarjana di AS atau yang dikenal dengan Reserve Officers’ Training Corps (ROTC) bahkan berhasil menduduki posisi tertinggi sebagai Joint Chiefs of Staff (Kepala Staf Gabungan), seperti inkumben Jenderal Mark Milley dan Jenderal Joseph Dunford.

Selain itu, ada juga nama Jenderal Charles Q. Brown Jr., mantan Kepala Staf Angkatan Udara AS dan Jenderal David H. Berger yang pernah menjabat sebagai Komandan Korps Marinir AS.

Bahkan, Ping-Hsiung Lo dalam publikasi berjudul Study of US Military Officers Commissioned Through ROTC and The Service Academy menyebut Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Tiongkok meniru rekrutmen dan penempatan perwira ala AS seperti ROTC dan sumber sarjana di matra lain secara profesional.

Oleh karena itu, ke depan diharapkan pimpinan TNI dan stakeholder terkait, termasuk DPR, dapat mengurai berbagai persoalan karier, kesempatan, dan kesetaraan para prajurit agar tercipta angkatan bersenjata yang benar-benar profesional. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?