HomeNalar PolitikTentara, Kunci Jokowi Kuasai Pandemi?

Tentara, Kunci Jokowi Kuasai Pandemi?

Sejak awal, pemerintahan Jokowi terlihat memperluas peran aparat negara dalam penanganan pandemi Covid-19. Tidak tanggung-tanggung, universitas juga digandeng dalam beberapa kesempatan. Dengan varian baru virus Corona yang telah tiba di Indonesia, apakah Presiden Jokowi akan mengevaluasi pelibatan aparat dalam penanganan pandemi?


PinterPolitik.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pernyataan soal masuknya varian baru virus Covid-19 ke Indonesia. “Saya mengimbau kepada bapak, ibu, dan saudara-saudara semuanya untuk tidak perlu khawatir karena ditemukannya dua kasus positif Covid-19 dengan mutasi virus corona dari Inggris atau B.1.1.7”.

Selain menekankan agar masyarakat tidak khawatir, Presiden Jokowi juga mengklaim bahwa virus ini belum diteliti terkait apakah lebih mematikan dari varian virus sebelumnya.

Selain meyakinkan publik, Presiden Jokowi tampaknya tidak ingin mengulang kembali komunikasi tidak baik para menterinya saat awal pandemi.

“Tadi di sidang kabinet paripurna, Bapak Presiden menyampaikan bahwa ini harus dikaji betul, datanya didalami, kementerian-kementerian harap bersabar dalam melakukan komunikasi, jangan sampai kita menimbulkan suatu kekhawatiran baru,” ungkap Sandiaga Uno, Menteri Perekonomian dan Pariwisata.

Namun, cukupkah pandemi Covid-19 diatasi dengan mencegah kekhawatiran dan memperbaiki strategi komunikasi?

Tentara-tentara Dalam Penanganan Pandemi

Presiden Jokowi mungkin berpikir masyarakat tak perlu khawatir dengan varian baru virus karena dia telah mengerahkan satu alat negara secara optimal: aparat negara. Greg Fealy dalam artikelnya yang berjudul Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbearing State menyatakan ada setidaknya empat peran yang dimainkan TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) selama pandemi Covid-19.

Baca Juga: Jokowi dan Militerisasi Penanganan Corona

Pertama, mobilisasi aparat mencerminkan corak kepemimpinan Presiden Jokowi yang memperluas peran aparat dari TNI, BIN, dan polisi. Ini terlihat misalnya pada Mei 2020, ketika Presiden Jokowi melibatkan 340 ribu tentara dan polisi untuk memastikan terlaksananya protokol kesehatan (prokes).

Kedua, TNI diberi kewenangan untuk secara langsung memberikan sanksi pada sipil. Pada Agustus 2020, Presiden Jokowi mengizinkan TNI untuk melakukan patroli di 38 ribu desa di seluruh Indonesia untuk membimbing masyarakat dalam menerapkan Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga jarak (3M).

TNI juga diberi wewenang untuk memberikan sanksi seperti menyuruh warga untuk menyapu selokan, memungut sampah dan melakukan push up.

Ketiga, TNI dan BIN berusaha keras untuk ambil peran dalam pengembangan obat Covid-19. Kombinasi obat yang dibuat oleh TNI Angkatan Darat (AD) dan Universitas Airlangga (UNAIR) menggegerkan publik karena publik sama sekali tidak mengetahui proses pengembangannya.

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Ending dari pengembangan ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak memberikan izin edar karena ditemukan beberapa masalah dalam proses uji klinis.

Keempat, Presiden Jokowi tidak hanya melibatkan tentara sebagai institusi negara, melainkan juga menempatkan para jenderal dalam posisi penting untuk menangani Covid-19. Doni Monardo, jenderal bintang tiga menjadi Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Andika Perkasa Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) menjadi Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Lantas, mungkinkah terdapat pihak yang dirugikan atas terlalu masuknya tentara dalam penanganan pandemi Covid-19?

Universitas di Tengah Pandemi

Kasus teranyar kuasa tentara di masa pandemi adalah munculnya Vaksin Nusantara yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto. Terawan yang juga berlatar jenderal ini mengklaim telah menciptakan vaksin berbahan sel dendritik. Lebih lanjut dia mengklaim telah meneliti sel dendritik ini sejak memimpin RSPAD Gatot Soebroto.

Ajaibnya pengembangan vaksin ini, mereka telah mencatut nama Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) yang dianggap terlibat dalam pengembangannya dan pengembangan ini dalam “jaminan” Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

FK UGM kemudian menyatakan bahwa mereka hanya terlibat dalam konsultasi informal dari Kemenkes dan mengaku kaget karena tiba-tiba dicatut dalam Keputusan Nomor HK 01.07/MENKES/11176/2020.

Ini mengingatkan kita pada isu pengembangan kombinasi lima obat yang melibatkan UNAIR. Pasca belum diberikan izin edarnya oleh BPOM, tidak ada kabar lagi terkait kombinasi obat tersebut. Bahkan, tim UNAIR sendiri belum menerbitkan hasil uji klinis yang mereka lakukan.

Dua kasus ini memunculkan pertanyaan. Mengapa universitas yang kini menjadi partner tentara dalam penanganan pandemi Covid-19 justru mendapatkan restu negara?

Sarah Hartley, Warren Pearce, dan Alasdair Taylor dalam artikelnya yang berjudul Against the tide of depoliticisation: The politics of research governance memperkenalkan istilah depolitisasi sebagai sebuah proses di mana riset universitas dijauhkan dari nilai-nilai kemaslahatannya atas politik.

Dalam risetnya, mereka menunjukkan bagaimana universitas mengklaim peran politiknya dengan cara mengumpulkan dana publik, ketimbang mempertahankan dana riset dari negara, untuk selalu membuat riset menjadi barang publik dan situs politik.

Baca Juga: Untuk Lockdown, Mahfud Harus Diganti?

Dalam konteks ini, setidaknya terseretnya kampus dalam kuasa tentara dilatari oleh beberapa hal.

Pertama, latar historis. Sebelum reformasi, benturan antara universitas dan militer sangat kentara. Misalnya kritik pakar atas dwifungsi ABRI di masa sebelum reformasi, penangkapan aktivis atas tuduhan terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga penembakan pada pendemo selama demonstrasi.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Pasca reformasi, meluasnya peran TNI dalam beragam aspek yang menandai solidnya kuasa TNI di berbagai lini dibarengi dengan fakta berlawanan gerakan mahasiswa pasca reformasi yang justru terpecah-pecah dan adanya proses birokratisasi kampus

Kedua, universitas terbelit oleh efisiensi. Ini sangat kentara sekali saat Presiden Jokowi memangkas anggaran Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Invasi Nasional (Kemenristek/ BRIN) sebesar Rp39,69 triliun di tengah wabah corona (SARS-CoV-2).

Pemotongan anggaran ini bersamaan dengan proses bongkar pasang lembaga yang menjadi ciri khas pemerintahan Jokowi. Pendidikan Dikti (Dikti)  yang bergabung kembali dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat ada pemindahan anggaran ke kementerian yang sekarang dipimpin oleh Nadiem Makarim.

Ketiga, hubungan universitas dan militer melalui wacana radikalisme. Hubungan ini membuat negara mempunyai legitimasi untuk bisa masuk ke ruang bebas universitas atas nama pencengahan radikalisme.

Ini terlihat misalnya pada penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama (MoU) antara Universitas Indonesia (UI) dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tentang Pendidikan, Pelatihan, Pengkajian, Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Pengembangan Kelembagaan dalam Penanggulangan Terorisme.

Lantas, tepatkah strategi Presiden Jokowi dengan “mempeluas” peran aparat negara dalam penanganan pandemi Covid-19?

Varian baru virus telah tiba di Indonesia yang bersamaan sekali lagi pemerintah mengamini peran baru tentara yang menyeret nama kampus. Di sini, tentara sudah mempunyai dua modal, yaitu legitimasi negara dan legitimasi saintifik untuk membuat masyarakat akan secara tidak sadar menggantungkan diri pada militer di saat pandemi sudah usai.

Baca Juga: Jokowi dan Risalah Kungkungan Militer

Namun, mengutip Greg Fealy, ketergantungan ini bukan karena Presiden Jokowi melakukan re-militerisasi atas pengelolaan pemerintah, tapi sebagai jalan keluar untuk mengatasi lambatnya birokrasi dalam pemerintahannya.

Selain persoalan birokrasi yang memang menjadi masalah laten, pada hematnya, TNI memang memiliki operasi selain perang, yang salah satunya adalah penanganan bencana alam.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, pelibatan aparat negara, seperti TNI dan BIN dapat menjadi kekuatan kunci dalam penanganan pandemi asalkan diterapkan secara proporsional.

Bagaimana pun, universitas tidak boleh hanya sekadar menjadi tunggangan, melainkan sebagai pembimbing. Kita butuh riset-riset berkualitas untuk mengakhiri pandemi Covid-19. (F65)


gin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitikIngin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menguak Manuver Prabowo di Denwalsus

Detasemen Kawal Khusus (Denwalsus) buatan Prabowo menuai kritik sejumlah pihak. Ada yang menyarankan Prabowo lebih baik buat Detasemen untuk guru di Papua. Ada juga...

Senggol Cendana, Jokowi Tiru Libya?

Perpres yang disahkan Jokowi terkait pengelolaan TMII mendapatkan perhatian publik. Pasalnya Perpres ini mencabut hak Yayasan milik keluarga Cendana yang sudah mengelola TMII selama...

Di Balik Zeitgeist Digital Anies

Anies Baswedan puji kreator konten yang dianggapnya mampu menawarkan pengalaman atas infrastruktur yang dibangunnya. Pujian Anies kontras dengan pejabat negara dan politisi yang gunakan buzzer untuk...