HomeNalar PolitikTensi Tinggi BPJS, Jokowi Waspada

Tensi Tinggi BPJS, Jokowi Waspada

Dalam rapat terbatas kabinet Jokowi memperingatkan para menterinya agar waspada pasca penetapan kenaikan premi BPJS yang diterapkan pemerintah. Bukan tanpa alasan, peringatan Jokowi tersebut ditengarai terkait dengan maraknya aksi protes yang terjadi di berbagai belahan dunia seperti Chile, Ekuador, Lebanon dan Perancis. Akankah kekhawatiran Jokowi tersebut terjadi? Seberapa kuat pemerintahan Jokowi dalam merespon potensi gejolak politik yang ada ?


PinterPolitik.com

Pemerintah melalui Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan akhirnya secara resmi menaikkan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebesar 100%. Kenaikan premi tersebut disinyalir sebagai upaya pemerintah dalam menyelamatkan badan hukum publik plat merah tersebut dari kebangkrutan.

Pasalnya, sejak 2014 BPJS Kesehatan telah merugi sebesar Rp 3,3 triliun. Pada 2019 bahkan defisit BPJS diprediksi akan membengkak hingga Rp 32,8 triliun.

Kebijakan tersebut memunculkan penolakan yang besar dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai kebijakan menaikan premi tidak tepat di tengah melemahnya daya beli masyarakat Indonesia pada semester II 2019.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri menegaskan pada jajarannya bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan jangan sampai menimbulkan gejolak politik seperti yang terjadi di Chile. Pernyataan Jokowi tersebut seolah menunjukkan adanya intensi kewaspadaan yang tinggi pemerintah terkait kebijakan yang baru saja dikeluarkanya.

Ketakutan Jokowi tersebut tentu bukanlah tanpa alasan. Banyaknya gelombang protes yang muncul di berbagai negara belakangan ini mayoritas diakibatkan adanya kebijakan fiskal pemerintah yang ditolak oleh masyarakat.

Dua negara di Amerika Latin misalnya, Ekuador dan Chile harus menghadapai kondisi state of emergency (kondisi darurat) setelah dikeluarkannya kebijakan pemangkasan subsidi bahan bakar dan pencabutan subsidi transportasi.

Kondisi yang sama juga terjadi di negeri yang mendapat julukan Pearl of The East, Lebanon. Tidak tanggung-tanggung, protes massa di Lebanon berhasil memaksa mundur Perdana Menteri dan hampir setengah jajaran Menteri lainnya yang dipicu kebijakan pengenaan tarif atas media sosial whatsapp.

Berkaca dari kondisi diatas, mungkinkah ketidakstabilan politik juga akan mencuat di Indonesia ? Pasalnya, setelah ditetapkannya kenaikan premi BPJS dan pajak cukai rokok, pemerintah juga berencana menaikan tarif dasar listrik, tarif tol dan parkir pada awal 2020.

Dunia dalam Age of Anger

Peringatan Jokowi kepada para Menterinya tentang kewaspadaan akan suasana masyarakat yang mudah bergejolak tampaknya juga diamini oleh The Guardian dalam artikel nya Welcome to the Age of Anger.

Tulisan tersebut berpendapat pada dekade ini, masyarakat dunia sedang berada pada gelombang kemarahan. Kondisi itu dipicu dari adanya rasa ketakutan, kekhawatiran, kehilangan dan ketidakpercayaan kepada perubahan. Perasaan-perasaaan tersebut terproduksi ketika masyarakat merasa tidak aman dengan kebijakan pemerintah.

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Dalam artikel tersebut disebutkn bahwa tren kemarahan publik yang muncul di berbagai belahan dunia umumnya terjadi ketika ekspektasi sosial publik tidak sejalan dengan realitas politik yang ada.

Misalnya seperti Gerakan Yellow Vest di Perancis yang muncul sebagai respons dari kekecewaaan atas kebijakan Presiden Emmanuel Macron menaikkan pajak bahan bakar dan menghapus pajak kesejahteraan bagi orang kaya. Padahal, salah satu faktor kemenangan Macron pada pemilu 2017 ialah janjinya untuk memberantas ketidaksetaraan di Perancis.

Selain itu, perkembangan teknologi komunikasi dalam bentuk sosial media menjadikan anger mudah menyebar dari satu tempat ke tempat lain layaknya virus.

Gelombang protes yang melanda Chile dan Lebanon merupakan contoh dari kuatnya masyarakat sebagai sebuah kelompok kepentingan. Dicabutnya subsidi transportasi di Chile seolah menjadi pintu gerbang dari protes panjang masyarakat Chile atas ketidakmampuan pemerintah.

Selayaknya fenomena gunung es, pencabutan subsidi menguak praktik buruk pengelolaan birokrasi dan ketidakmampuan pemerintah dalam menjamin kebutuhan dasar masyarakat Chile.

Jatuh nya Chile juga dinilai banyak kalangan sebagai fenomena yang mengejutkan. Pasalnya, Chile dikenal sebagai miracle atau keajaiban dalam hal pembangunan di Amerika Latin. Selain itu, Chile juga menjadi negara terdepan dalam indeks pembangunan manusia di Amerika Latin.

Di tengah kesuksesan Chile dalam ekonomi dan pembangunan, tingkat pemerataan ekonomi di Chile tidaklah merata. Tingkat kesenjangan pendapatan di Chile mencapai 65% dan menjadi negara yang paling tidak setara dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Protes di Chile juga diperparah dengan tingginya utang pemerintah untuk menyokong pembangunan. Utang pemerintah Chile menyumbang 23,5% dari rasio PDB dan merupakan yang tertinggi di Amerika Latin.

Melihat realitas yang terjadi di Chile, kondisi yang sama pun dapat dilihat terjadi juga di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang impresif. Indonesia secara konsisten mampu menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen jauh diatas rata pertumbuhan ekonomi global yang hanya 3 persen.

Selain itu, pembangunan infrastruktur secara masif yang dilakukan di Indonesia juga berhasil menaikkan daya saing Indonesia dari posisi 43 pada 2018 ke 32 pada tahun 2019.

Seperti halnya Chile, pembangunan yang ada tampaknya belum dapat dirasakan secara luas bagi masyarakat. Ketimpangan kekayaan di Indonesia merupakan yang tertinggi ke-4 di dunia setelah Thailand, India dan Rusia.

Hal tersebut ditunjukan dengan utang Indonesia pada masa Jokowi sendiri mencapai Rp 4.395 triliun, terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia.

Menakar Potensi Konflik di Indonesia

Kenaikan berbagai komoditas yang akan terjadi pada awal tahun 2020 seperti tarif dasar listrik, BPJS, Cukai Rokok dan tarif tol tentu membuat spekulasi banyak pihak akan munculnya potensi ketidakstabilan politik di Indonesia.

Tiruneh Gizachew dalam tulisan yang berjudul Social Revolutions: Their Causes, Patterns, and Phases mengemukakan terdapat tiga aspek yang dapat mendukung adanya revolusi sosial. Kekacaaun dapat terjadi ketika pembangunan ekonomi tidak terjadi secara merata. Terlebih lagi ketika kelompok kelas menengah bukan menjadi kelompok yang diuntungkan.

Jika melihat pada konteks Indonesia, kenaikan premi BPJS yang akan berdampak pada 96 juta jiwa serta serta wacana kenaikan listrik golongan 900 Volt Ampere (VA) dan tarif tol pada 2020.

Hal tersebut dapat dilihat sebagai kebijakan yang berpotensi mereduksi kemampuan daya beli kelompok kelas menengah. Pasalnya, kelompok kelas menengah merupakan konsumen terbesar dari produk-produk pemerintah tersebut.

Selain itu menurut Gizachew ,ketidakmampuan rezim dalam menginterpretasikan kepentingan publik juga dapat memicu adanya revolusi sosial. Berkaca pada kekisruhan tentang UU KPK dan RUU RKUHP, pemerintah tampak kesulitan dalam menafsirkan dan menangkap kepentingan publik.

Lebih jauh lagi, Gizachew menjelaskan revolusi sosial dapat terjadi ketika pemerintahan diangaap sudah tidak efektif dan efisien. Kondisi ini ditunjukan dengan adanya krisis kepemimpinan dan kepercayaan publik yang rendah.

Dalam konteks tersebut, survei terbaru menunjukkan tingkat kepercayaan publik atas rezim jokowi masih tinggi. Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan 71,8% masyarakat puas dengan kinerja Jokowi. Dengan kata lain, berbagai puzzle yang ada di Indonesia tampaknya belum mengarah pada seperti yang terjadi di Chile dan Lebanon.

Namun Gizachew dalam akhir tulisannya mengungkapkan terdapat triggering factor yang bisa saja muncul dan mendegradasi kepercayaan publik dan secara drastis mereduksi citra pemerintah. Kondisi inilah yang harus diwaspadai oleh pemerintahan saat ini.

Ketidakstabilan politik yang belakangan ini kerap muncul bisa jadi menjadi triggering factor yang dapat mengarah pada konflik sosial dan politik. Oleh karena itu pekerjaan rumah terbesar pemerintah Jokowi ialah bagaimana menjaga kepercayaan publik ditengah berbagai kebijakan tidak populer yang akan dikeluarkannya. (Y56)

Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Polemik Skuter, Anies Telat Adaptasi?

Skuter listrik di Jakarta menuai banyak polemik di Jakarta. Kisruh ini kembali memunculkan asumsi tentang kesiapan pemerintah DKI Jakarta dalam merespon pembangunan di ibukota....

Pilkada Asimetris, Kepentingan Siapa?

Adanya evaluasi besar-besaran terkait Pemilihan Umum (Pemilu) langsung 2019 lalu memunculkan wacana akan diubahnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun depan. Pilkada asimetris banyak...

Omnibus Law Jokowi, Akankah Berhasil ?

Pemerintah tampaknya sangat serius dalam mendorong adanya omnibus law ekonomi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari telah rampungnya pembahasan di pemerintah dan akan segera...