Setelah cukup aktif bermanuver secara politik bersama KAMI, Gatot Nurmantyo kini mulai jarang terlihat, baik pemberitaan maupun manuvernya. Lalu, mengapa kiranya hal itu bisa terjadi?
Satu sosok yang sebelumnya cukup aktif menghiasi kancah perpolitikan Indonesia, kini seolah meredup dan terkesan menghilang dari hingar bingar politik terkini.
Tak lain sosok itu ialah Gatot Nurmantyo. Saling berkorelasi, manuver politik Gatot yang cukup mencolok bersama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), beriringan dengan sorotan lensa media yang membuat namanya cukup prominen beberapa waktu lalu sebagai penyeimbang narasi pemerintah di kubu seberang.
Tetapi kini, eksistensi Gatot untuk minimal bersuara atas situasi politik pun semakin jarang terdengar. Hal itu seolah bersamaan dengan meredupnya KAMI sebagai entitas yang disebut-sebut sebagai gerakan moral pembaruan di mana Gatot menjadi presidiumnya.
Padahal atas manuvernya itu di awal kemunculannya sampai beberapa waktu, Gatot tampak semakin diperhitungkan dan masuk dalam bursa kandidat calon presiden (capres) di 2024. Sejumlah pengamat juga kala itu melihat bahwa KAMI dapat menjadi batu loncatan Gatot untuk menatap persaingan menuju tugas luhur memimpin negeri kelak.
Menariknya, Gatot sama sekali tak menampik dan seolah mengafirmasi praduga itu, saat dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa lumrah saja bagi dirinya jika memiliki keinginan menjadi seorang Presiden.
Kendati demikian, jika memang benar demikian dan belakangan justru tak aktif bersuara atau bermanuver secara konstruktif, reputasi dan elektabilitasnya lambat laun kemungkinan besar dapat terkikis.
Baca juga: Rebranding Kadrun-Kampret ala Gatot?
Terbukti, dari survei capres teranyar dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) maupun Voxpopuli Research Center, misalnya, nama mantan Panglima TNI itu tampak menghilang seketika dari radar persaingan kandidat 2024.
Namun kembali lagi dan yang jadi pertanyaan ialah, mengapa Gatot seolah tenggelam begitu saja setelah sebelumnya tampak sangat aktif bermanuver di kancah perpolitikan tanah air?
Kehilangan Modal dan Signifikansi?
Sebelum menjawab mengapa kiranya Gatot seolah meredup, jika memang berhasrat memproyeksikan diri sebagai capres ataupun mempromosikan gerakan moral seperti visinya di KAMI, kesan “mengendur” agaknya justru akan kontraproduktif.
Karena bagaimanapun, komunikasi ataupun marketing secara politik tetap menjadi hal yang penting untuk terus dilakukan secara berkesinambungan. Tentu agar dapat selalu menemui derajat relevansinya di hadapan publik.
Hal ini selaras dengan argumen Ioannis Kolovos dan Phil Harris dalam Political Marketing and Political Communication, bahwa dalam mencapai tujuan elektoral maupun signifikansi politik, terus mempertahankan relevansi atau engagement dengan publik menjadi hal yang penting. Utamanya dalam menyelaraskan opini publik yang tengah berkembang dengan visi sang aktor maupun kelompoknya.
Ditambah lagi, komunikasi dengan saluran yang representatif maupun manuver Gatot lainnya, sesungguhnya dapat menjadi semacam modal sosial maupun modal politik tersendiri. Dengan catatan jika dapat Ia eksplorasi secara optimal, termasuk dengan melebarkan sayap KAMI secara lebih luas, konkret, dan inklusif.
Dan jika pondasi menuju pencapaian progresif itu kemudian seolah tampak menghilang dari sosok Gatot, maka kemudian pertanyaan besar menjadi sebuah keniscayaan.
Tak Temui Kalkulasi Positif?
Presumsi kemudian terbuka mengenai apakah Gatot justru memiliki kekhawatiran secara personal andai bermanuver lebih lanjut secara agresif, maka akan menjadi bumerang tersendiri baginya?
Manuver terakhir Gatot sendiri yang cukup mencolok ialah, saat menolak menghadiri penyematan Bintang Mahaputera Adipradana pada November 2020 lalu. Setelah itu, praktis tak ada langkah berarti dan justru sikap politiknya nyaris tak terdengar hingga saat ini.
Karena memang harus diakui Gatot dengan karakteristik oposannya tampak berseberangan sekaligus berhadapan dengan pemerintah yang belakangan terlihat mengimplementasikan hukum represif.
Dalam Law and Society in Transition, Philippe Nonet dan Philip Selznick menjabarkan hukum represif yang menurut keduanya adalah ciri khas pemerintahan otoriter. Dalam konteks ini, tujuan hukum semata-mata digunakan untuk menegakkan ketertiban sesuai dengan kepentingan sang empunya kekuasaan.
Karena kini, pemerintah seolah tak ragu untuk bertindak represif menggunakan instrumen hukum kepada para oposannya. Serupa dengan apa yang dilakukan Soeharto kepada para lawan politiknya, seperti saat mencekal para penanda tangan Petisi 50, baik itu dari segi akses sosial, ekonomi, hingga politiknya.
Baca juga: Di Balik Gatot vs Pangdam Jaya
Isu terkini misalnya yang menjerat Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan delik kerumunan. Padahal di saat yang sama, cukup jamak kasus serupa yang seolah berlalu begitu saja, misalnya pada pagelaran kampanye Pilkada 2020 ataupun sejumlah kasus kerumunan lain.
Bahkan lebih jauh ketika Front Pembela Islam (FPI) besutan HRS dibubarkan, rekening ormas tersebut beserta mereka yang terafiliasi, diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Belum lagi ihwal yang menjerat kolega Gatot di KAMI yakni Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, yang terkena kasus dugaan penyebaran ujaran kebencian dan berbuntut ricuhnya aksi menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Syahganda dan Jumhur sendiri awalnya dijerat pihak kepolisian dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebelum kemudian entah mengapa berubah menjadi jeratan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Artinya, Gatot dengan “jalan ninjanya” memang tampak berhadapan dengan pemerintah yang terlampau kuat, tak hanya dari sisi politik, namun juga dalam memanfaatkan instrumen hukum untuk secara perlahan mengikis lawan politiknya.
Selain itu, secara basis kekuatan politik, Gatot bersama KAMI juga seolah kurang memiliki konsep yang benar-benar matang untuk secara konsisten memberikan gebrakan konkret, serta menyelaraskan irama dengan keresahan dan kekecewaan publik terhadap pemerintah.
Singkatnya, dua variabel di atas mungkin saja cukup disadari dan membuat Gatot lantas tidak menemui kalkulasi positif untuk tetap bermanuver aktif secara politik, seperti yang Ia peragakan sebelumnya. Hingga pada akhirnya hal tersebut membuatnya terkesan perlahan “menghilang dari radar”.
Parpol, Solusi Bagi Gatot?
Impresi menghilangnya Gatot Nurmantyo dari pemberitaan plus minimnya manuver politik yang dilakukannya, beriringan pula dengan terdepaknya mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu dari bursa capres 2024. Elektabilitasnya terjerembap dan bahkan tak lagi menghiasi persaingan dalam sejumlah survei yang rilis baru-baru ini.
Padahal jika berkaca pada hasrat untuk menjadi Presiden yang dimiliki Gatot dan sempat diutarakannya, hal itu tentu bukanlah pertanda baik.
Baca juga: Gatot, Anomali Eks Panglima?
Mengacu pada hal tersebut dan jika dilihat dengan saksama, meredupnya Gatot juga karena Ia tidak memiliki wadah politik yang benar-benar relevan, yakni sokongan partai politik (parpol).
Harus disadari bahwa untuk menjadi seorang capres, konstitusi menghendaki agar sang calon mutlak harus mendapat dukungan parpol atau koalisi parpol dengan persentase tertentu.
Ihwal itu juga selaras dengan pendapat Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Research and Analysis (Sudra) Fadhli Harahab. Fadhli menyebut bahwa pilihan Gatot untuk dapat berbicara lebih jauh dalam konteks Pilpres ialah dengan bergabung ke parpol atau mendirikan parpol.
Akan tetapi, dua opsi realistis Fadhli tersebut kiranya cukup sulit terjadi pada kasus Gatot. Pilihan mendirikan parpol sendiri kiranya cukup tak memungkinkan bagi Gatot jika berkaca pada sumber daya dan waktu yang dibutuhkan bagi sebuah parpol baru untuk mendapat tempat di hati publik.
Sebastian Carl Dettman, Thomas B. Pepinsky, dan Jan H. Pierskalla dalam Incumbency Advantage and Candidate Characteristics in Open-List Proportional Representation Systems: Evidence from Indonesia, juga turut menegasikan salah satu dari opsi itu.
Menurut ketiganya, perilaku strategis parpol di Indonesia dalam menentukan kandidat untuk bertarung di ajang Pemilu, selalu berkaca pada elektabilitas calon yang akan diusung beserta elektabilitas potensi calon rivalnya.
Persoalannya, Gatot tak memiliki cukup amunisi elektabilitas, paling tidak di berbagai survei belakangan ini, dibandingkan calon yang masih tak terafiliasi parpol lainnya, seperti Anies Baswedan maupun Ridwan Kamil.
Pada akhirnya, hal itu mungkin saja telah dipahami oleh Gatot. Yang kemudian di saat yang sama, meredupnya Gatot belakangan juga bisa jadi menyiratkan “bendera putih” atau sikap mundur perlahan atas keinginannya bertarung di ajang Pilpres 2024 mendatang.
Namun demikian, hal itu tentu masih menjadi satu dari sekian kemungkinan yang ada saat ini mengenai kesan meredupnya Gatot Nurmantyo.
Gatot sendiri sempat menyatakan bahwa tidak etis baginya jika sudah memikirkan akan maju calon presiden 2024, di tengah situasi Indonesia saat ini yang tengah fokus menghadapi pandemi Covid-19.
Berangkat dari situlah, tak menutup kemungkinan pula bahwa dirinya sedang menunggu momentum yang tepat untuk kembali bermanuver, baik itu melalui KAMI ataupun entitas politik lainnya. Oleh karena itu, akan menjadi cukup menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Di Balik Jokowi Dekati Gatot
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.