HomeNalar PolitikTemui Trump, Luhut Tiru Israel?

Temui Trump, Luhut Tiru Israel?

Di tengah polemik Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memutuskan untuk mengunjungi Ruang Oval Gedung Putih dan bertemu dengan Presiden Donald Trump.


PinterPolitik.com

“Power resides where men believe it resides” – Lord Varys, Game of Thrones (2011-2019)

Kutipan di atas mungkin bukanlah hal yang asing bagi sebagian penggemar film dan seri abad pertengahan. Bagaimana tidak? Sebuah seri yang berjudul Game of Thrones (2011-2019) atau GoT ini merupakan salah satu seri yang paling populer pada zamannya.

Banyak hal yang bisa dipelajari dalam seri tersebut – mengingat perebutan dan pertarungan di dalamnya sangat kental dengan strategi dan politik. Salah satu hal yang bisa diilhami adalah kutipan di awal tulisan.

Dinamika kekuatan yang disebut Lord Varys tersebut bisa saja menjadi hal yang mendasari pertarungan politik antara antar-dinasti di GoT, yakni antara Lannister dan Stark. Persaingan antara dua keluarga besar ini akhirnya menyebar dan melibatkan keluarga dan kerajaan lain.

Kutipan Varys soal pertarungan politik semacam ini mungkin juga tengah terjadi di Amerika Serikat (AS). Bagaimana tidak? Kubu Joe Biden maupun kubu Donald Trump memiliki keyakinan bahwa kubu mereka masing-masing telah memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2020.

Bagaikan persaingan takhta antara Lannister dan Stark, Biden dan Trump menggunakan klaim yang berbeda untuk menduduki takhta kepresidenan AS. Bila Biden mengklaim dirinya menang berdasarkan penghitungan suara, Trump mengklaim bahwa Pilpres AS 2020 telah dicurangi.

Mirip juga dengan apa yang terjadi di GoT, aktor-aktor politik lain turut muncul di tengah situasi rumit Pilpres AS 2020. Kali ini, aktor ini mungkin adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Kabarnya, Luhut bertemu dengan Presiden Trump di Ruang Oval Gedung Putih. Sang Menko Marves yang didampingi oleh Duta Besar Indonesia untuk AS Muhammad Lutfi bertemu dengan Trump yang didampingi oleh Ivanka Trump dan Pemimpin Eksekutif (CEO) International Development Finance Corporation (IDFC) Adam Boehler.

Selain menemui Trump, rangkaian kunjungan Luhut ke AS ini juga dilakukan untuk bertemu Wakil Presiden AS Mike Pence dan seorang anggota National Security Advisor (NSA) Rober O’Brien. Kabarnya, pertemuan-pertemuan itu juga membicarakan perihal kerja sama Indonesia-AS di bidang perdagangan dan vaksin Covid-19.

Meski begitu, apapun yang terjadi di balik pintu-pintu Ruang Oval Gedung Putih ini menimbulkan perhatian dan pertanyaan dari masyarakat. Apalagi, keputusan Luhut untuk menemui Trump ini dilakukan di tengah-tengah transisi pemerintahan AS.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Mengapa Luhut akhirnya memutuskan untuk bertemu Trump di tengah situasi politik  yang belum stabil setelah Pilpres AS 2020 dihelat? Lantas, strategi politik apa yang tengah disiapkan oleh Luhut?

Pragmatisme Trump

Bukan tidak mungkin, kunjungan Luhut ke Trump ini dilakukan untuk menghasilkan kesepakatan-kesepatakan ekonomi dan dagang yang penting untuk Indonesia. Pasalnya, bila aral tidak melintang, Biden akan mulai menjabat pada Januari 2021 mendatang.

Sebelum pertemuan ini terjadi, sejumlah kabar akan dikirimnya pejabat tinggi dan perwakilan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke AS mulai terdengar. Rencana itu disebut oleh mantan Wali Kota Solo tersebut sebagai langkah yang penting dengan adanya ambisi pemerintah Indonesia untuk membangun industri baterai litium yang besar.

Tim yang dikirim oleh Jokowi ini disebut-sebut akan bertemu dengan CEO Tesla, Elon Musk. Selain itu, sang presiden sendiri juga menyebutkan bahwa pejabat-pejabat yang dikirimkan ke AS juga akan mempromosikan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau omnibus law untuk mengundang investasi.

Bukan tidak mungkin, dengan adanya proses pergantian pemerintahan di AS, pemerintah Indonesia memanfaatkan pragmatisme yang dimiliki oleh Trump. Pragmatisme ini tentunya bisa menguntungkan Indonesia dalam beberapa hal.

John J. Mearsheimer dari University of Chicago dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail menjelaskan bahwa tatanan liberal AS yang selama ini dibangun bisa saja tidak lagi benar-benar diterapkan kembali. Apalagi, situasi geopolitik kini memunculkan penantang serius bagi AS, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Alhasil, AS akan bersedia untuk menurunkan idealismenya dan menjadi lebih pragmatis. Hal ini terlihat dari pemerintahan Trump yang memang tidak terlalu memedulikan rekam jejak demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) sebagai prasyarat kerja sama.

Ketika Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berkunjung ke AS, misalnya, pemerintahan Trump bersedia mencabut larangan masuk untuk Ketua Umum Gerindra tersebut. Padahal, sejumlah organisasi dan aktivis HAM keberatan dengan undangan pemerintah AS untuk Prabowo.

Selain itu, anggapan pragmatisme ini juga pernah disebutkan oleh Luhut. Dalam tulisannya di The Straits Times, sang Menko Marves menyebutkan bahwa pragmatisme Trump ini dapat menguntungkan Indonesia.

Ini pun bisa jadi sejalan dengan pragmatisme yang disebut-sebut dimiliki oleh pemerintahan Jokowi. Belum lagi, baik Jokowi maupun Luhut memiliki ambisi yang besar untuk perekonomian Indonesia – dengan mengundang sejumlah investasi asing untuk pembangunan.

Meski begitu, bila benar Jokowi dan Luhut memanfaatkan pragmatisme yang dimiliki Trump, mengapa baru sekarang? Pasalnya, bukan tidak mungkin presiden AS selanjutnya dapat menganulir kesepakatan apa pun yang dicapai oleh pemerintahan Jokowi dengan Trump.

Baca juga :  Pilkada 2024: Jokowi’s Next Battle?

Tiru Strategi Israel?

Boleh jadi, kunjungan Luhut ke AS dan pertemuannya dengan Trump merupakan manuver politik yang dilakukan pemerintahan Jokowi. Pasalnya, di tengah situasi politik bipartisan AS yang tidak stabil, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi perlu mengimbangkan hubungannya dengan dua kubu politik AS, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik.

Strategi semacam ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh grup pelobi dari Israel. Beberapa saat setelah Israel diakui kedaulatannya oleh Presiden AS Harry Truman pada tahun 1948, sebuah grup lobi Israel besar turut berdiri, yakni American Israel Public Affairs Committee (AIPAC).

Kiprah AIPAC ini juga sempat dijelaskan oleh John Mearsheimer dalam sebuah buku berjudul The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy yang ditulisnya bersama Stephen M. Walt. Dalam buku itu, dijelaskan bahwa AIPAC memiliki pengaruh yang luas di banyak tingkat di pemerintahan AS.

Bahkan, saking besarnya pengaruh kelompok ini, Mearsheimer dan Walt menjelaskan bahwa pemerintah AS tetap memiliki tendensi untuk mendukung kebijakan-kebijakan luar negeri Israel – entah partai politik mana yang berkuasa di negara Paman Sam.

Apa yang dijelaskan oleh Mearsheimer dan Walt ini menjadi masuk akal. Pasalnya, AIPAC disebut memiliki posisi dan relasi politik yang bipartisan – yakni memiliki kecenderungan politik yang seimbang antara Partai Republik dan Partai Demokrat AS.

Bukan tidak mungkin, Luhut menggunakan strategi serupa melalui pertemuannya dengan Trump. Bisa jadi, dengan proses transisi pemerintahan AS ke Biden, pemerintahan Jokowi ingin Indonesia tetap memiliki hubungan yang baik dengan Trump dan Partai Republik.

Manuver balancing (pengimbangan) ini terlihat dari bagaimana Luhut juga bertemu dengan tokoh-tokoh politik dari dua partai tersebut. Selain Trump, sang Menko Marves juga bertemu dengan O’Brien dari NSA yang dinilai telah mengakui kemenangan Biden.

Belum lagi, Trump disebut-sebut tengah menyiapkan sejumlah taktik dan strategi untuk mendelegitimiasi Pilpres AS 2020. Dalam arti lain, Trump dan Partai Republik akan menyiapkan sejumlah end game – seperti peradilan Georgia dan Mahkamah Agung AS.

Bukan tidak mungkin, politik balancing yang dijalankan oleh Luhut ini penting bagi pemerintahan Jokowi ke depannya. Hingga kini, Partai Republik pun juga masih memegang mayoritas Senat AS.

Meski mungkin, gambaran kemungkinan di atas belum tentu benar adanya. Kekuatan politik Trump sendiri dapat berubah secara tiba-tiba di tengah-tengah situasi yang tidak pasti – mengingat sejumlah kasus hukum dan pajak menghantuinya. Mari kita nantikan saja kelanjutannya. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.