Site icon PinterPolitik.com

Tembak Mati, Bobby Sedang Pansos?

bobby nasution

Wali Kota Medan Bobby Nasution. (Foto: Pikiran Rakyat)

Maraknya kasus begal di Medan mendorong Wali Kota Medan Bobby  Nasution kemudian mengeluarkan gagasan agar menembak mati para pelaku begal. Meskipun mendapat kritik karena dianggap melanggar HAM, banyak orang justru mendukung gagasan ini. Lantas, apa yang sebenarnya mendorong masyarakat mendukung hukuman tembak mati ini? 


PinterPolitik.com 

Apabila berbicara tentang Orde Baru (Orba), salah satu hal yang pasti teringat adalah Petrus. Ya, Petrus atau Penembak Misterius memiliki reputasi yang menyeramkan selama Orba. Demi menjamin keamanan masyarakat, pemerintah Orba menggagas Petrus untuk menembak di tempat para pelaku kejahatan jalanan dan preman. 

Tampaknya, warisan Orba yang telah menimbulkan protes di berbagai pihak karena menimbulkan masalah seperti pelanggaran HAM itu kembali mengemuka. Hal ini menyangkut pernyataan dari Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution yang mendukung aparat kepolisian tak ragu menembak mati para pelaku begal di Kota Medan.  

Pernyataan tersebut keluar setelah Bobby mengapresiasi jajaran Polrestabes Medan yang berhasil menembak mati pelaku begal. Menurutnya, kejahatan Begal di Medan sudah sangat meresahkan.  

“Untuk itu, saya harap pihak kepolisian lebih tegas untuk menindak para pelaku di lapangan walaupun harus ditembak mati” Cuit Bobby di akun Twitternya. 

Akan tetapi, pernyataan Bobby terkait hukuman tembak mati ini langsung mendapat kritik dari berbagai lembaga penggiat HAM. Menurut Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar, misalnya, apa yang disampaikan Bobby merupakan bentuk pengabaian terhadap penegakan HAM. 

Rivanlee menganggap pernyataan yang disampaikan oleh Bobby melanggar isi dari pasal 5 Perkap Polri No. 1 Tahun 2009. Peraturan tersebut  menjelaskan penggunaan senjata oleh aparat kepolisian hanya bertujuan untuk melumpuhkan pelaku atau tersangka bukan mematikannya. 

Di tengah kontroversi dari pernyataan Bobby, gagasan untuk menembak mati para pelaku begal justru mendapat pujian dari warganet.  

Ini terlihat dari kolom komentar infografis PinterPolitik berjudul Tembak Mati Begal, Sepakat Bobby? yang menunjukan sikap setuju atas pernyataan dari Bobby misalnya “Setuju, karena begal lebih dulu melanggar HAM!”, “Coba yang teriak HAM terjun langsung ngadepin begal wkwk” hingga “Kalo perlu petrus diadakan lagi. Setuju gue. Begal ga perlu diajari HAM segala”. 

Ketertarikan masyarakat atas pernyataan Bobby untuk menembak mati begal menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Masyarakat tampaknya sudah jenuh dan takut ketika mendengar pemberitaan kasus begal yang seringkali tak segan membunuh para korbannya.  

Namun, apakah ada faktor lain dari munculnya reaksi positif masyarakat atas ide Bobby yang berpotensi membawa “atmosfer” Orba ke masa kini? 

Mengapa Menyukai Kekerasan? 

Dukungan masyarakat atas penghukuman bernuansa balas dendam seperti menembak mati atau memenjarakan seumur hidup para pelaku kejahatan seringkali mendapatkan tanggapan sinis dari para pegiat HAM. Setidaknya begitu lah cara kerja mereka jika diekspresikan secara satir. 

Selain dikarenakan memang melanggar hak asasi, ketidaksetujuan terhadap penggunaan hukuman yang bersifat represif juga dikarenakan tidak ada bukti mengenai efektivitasnya dalam mencegah kejahatan. 

Beberapa akademisi dari bidang kriminologi sendiri sudah sering mengkritisi penghukuman bernuansa balas dendam atau biasa disebut capital punishment. Menurut Kriminolog asal Australia John Braithwaite, misalnya, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukan efektivitas dari pemberian hukuman represif dalam mengentarjerakan para calon pelaku kejahatan. 

Dalam argumennya, Braithwaite melihat alih-alih menggunakan hukuman yang bersifat represif, pemerintah seharusnya menjamin kesejahteraan masyarakat agar mencegah seseorang terlibat menjadi pelaku kejahatan. 

Menurutnya, ini dikarenakan masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan merupakan faktor paling berpengaruh dalam mendorong seseorang menjadi pelaku kejahatan.   

Akan tetapi, di dalam konteks masyarakat Indonesia kepercayaan atas efektivitas hukuman represif dalam menurunkan angka kejahatan sulit dihilangkan. Hal itu agaknya tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah bangsa Indonesia yang erat dengan kekerasan. 

Hal ini dapat ditelusuri dari masa pemerintah Orba mencoba yang melakukan kampanye perang terhadap kejahatan dan premanisme dengan membentuk  Petrus. 

David Bourchier dalam penelitiannya berjudul Crime, Law and State Authority in Indonesia praktik penembakan Petrus menyasar simbol-simbol yang dianggap menggambarkan ciri pelaku kejahatan dan preman seperti misalnya tato dan narkoba.  

Bourchier dalam penelitiannya juga menjelaskan pemberian stigma buruk terhadap atribut tertentu mengakibatkan korban penembakan Petrus, utamanya menyasar warga sipil yang secara penampilan dianggap mirip dengan pelaku kejahatan. 

Warisan kekerasan Petrus dalam menanggapi sebuah kejahatan kemudian terus berlanjut hingga masa Orba runtuh. 

Dalam jurnal yang ditulis oleh Joshua Barker berjudul State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Suharto’s New Order, memasuki awal era reformasi, masyarakat berusaha memulihkan kekuasaan teritorialnya yang sebelumnya telah ditekan secara represif oleh rezim orde baru.  

Barker dalam jurnalnya juga menyebut masyarakat pasca rezim orde baru melakukan “balas dendam” atas kekuasaan represif negara di era sebelumnya dengan melakukan tindakan kekerasan seperti main hakim sendiri.  

Tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pasca Orba agaknya bukan murni untuk merespon pelaku kejahatan. 

Tindakan kekerasan yang dilakukan lebih bertujuan untuk mempertegas kepemilikan masyarakat atas wilayahnya sendiri dari intervensi aparat keamanan. 

Selain disebabkan pengaruh dinamika kehidupan pasca Orba, ketidakpuasan masyarakat atas praktik penegakan hukum di Indonesia saat ini kiranya dapat menjadi pendorong timbulnya dukungan atas penggunaan kekerasan dalam merespon kejahatan. 

Ihwal itu selaras dengan apa yang dikemukakan Sosiolog asal Amerika Serikat (AS) Donald Black, munculnya perilaku atau dukungan terhadap tindakan kekerasan tidak bisa dilepaskan dari kekecewaan masyarakat terhadap hukum formal. 

Black secara lebih jauh menjelaskan ketika sistem hukum formal tidak menciptakan keadilan, timbul dorongan dari masyarakat untuk menggunakan alternatif lain dalam merespon sebuah penyimpangan dan kejahatan, yaitu dengan melakukan kekerasan atau tindakan main hakim sendiri.  

Terlepas dari akar munculnya dukungan masyarakat Indonesia atas penggunaan kekerasan dalam menghukum pelaku kejahatan, bukti atas efektivitas dari bentuk penghukuman sendiri kiranya tak berlebihan untuk dipertanyakan.  

Hal ini dikarenakan dukungan yang muncul sendiri lebih bersifat emosional ketimbang dari hasil pemikiran rasional. Lantas, apakah gagasan Bobby untuk menembak mati para pelaku begal merupakan hasil pertimbangan rasional? Atau hanya sekadar memuaskan ekspektasi emosional masyarakat yang geram dengan kejahatan jalanan ini? 

Bobby Hanya Pansos? 

Tingginya dukungan masyarakat atas penggunaan hukuman represif dalam menindak para pelaku kejahatan dapat menjadi lahan bagi para politisi untuk meningkatkan popularitas mereka. 

Hal ini kemudian mengarah pada timbulnya kebijakan kriminal yang bernuansa pada penal populism

Menurut John Pratt dalam bukunya berjudul Penal Populism: Key ideas in Criminology menjelaskan penal populism merupakan pemanfaatan ekspresi kemarahan atau kekecewaan publik sebagai dasar untuk membentuk kebijakan kriminal.  

Pemanfaatan penal populism sendiri bukan berfokus untuk menangani masalah kejahatan akan tetapi untuk mengejar keuntungan elektoral seorang politisi.  

Margarita Dobrynina dalam jurnalnya berjudul The Roots of” Penal Populism”: the role of media and politics menjelaskan strategi penal populism dimulai dengan menggambarkan masalah kejahatan secara tidak proporsional dengan tujuan untuk menimbulkan respons ketakutan secara berlebih di masyarakat. 

Bagaimana Bobby mewacanakan penggunaan hukuman tembak mati sebagai solusi mengurangi kasus begal di Medan pun kiranya merupakan contoh gambaran sebuah kejahatan yang dikonstruksi.   

Terlepas dari keresahan terhadap fenomena begal dan dampaknya, masyarakat Kota Medan juga tampaknya mempercayai gagasan yang disampaikan oleh Bobby meskipun gambaran mengenai kejahatan begal dan efektivitas hukuman tembak mati belum terbukti secara empiris. 

Ketika perspektif masyarakat selaras dengan apa yang berusaha ditegakkan Bobby, sentimen positif kiranya akan direngkuh sang menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu. Tentu, ketika berbicara variabel-variabel pendukung bagi karier politiknya ke depan.

Selain itu, tak hanya peran dari Bobby sebagai orang nomor satu di Medan dalam mempengaruhi emosi masyarakatnya, media tampaknya juga turut andil dalam menciptakan ketakutan secara berlebihan di masyarakat atas fenomena kejahatan.  

Menurut Bagus Sudarmanto, seorang Kriminolog dari Universitas Indonesia, berita kejahatan dapat menimbulkan ketakutan dan kengerian bagi pembacanya, namun disatu sisi tetap menciptakan daya tarik untuk terus mengkonsumsi konten tersebut. 

Menurutnya, media memanfaatkan perhatian yang besar dari masyarakat untuk menghasilkan berita mengenai kejahatan secara berulang dengan menambahkan penekanan lain seperti unsur hiburan.  

Di titik ini, gagasan Bobby yang sesuai dan menjawab ketakutan dari masyarakat dapat memberikan peluang untuk meningkatkan elektabilitasnya. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa ketakutan dan kengerian masyarakat atas kasus kejahatan begal di Medan tampaknya rentan untuk dipolitisasi. 

Oleh karena itu, dalam menyampaikan gagasannya, Bobby seharusnya membuktikan terlebih dahulu secara akademis bagaimana penggunaan hukuman tembak mati dapat secara langsung menurunkan niat para pelaku kejahatan begal di Kota Medan. Setidaknya, perspektif komprehensif itu lah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. (F92) 

Exit mobile version