Site icon PinterPolitik.com

Telatnya Putusan MA Untungkan Gerindra?

Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto ditengah-tengah menteri lain selepas pelantikan Kabinet Indonesia Maju Oktober 2019 silam.

Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto berada ditengah-tengah menteri lain selepas pelantikan Kabinet Indonesia Maju Oktober 2019 silam. (Foto: Media Indonesia)

Meskipun diyakini mustahil untuk memengaruhi hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, keterlambatan publikasi putusan MA terkait kontestasi sengit tersebut terus menjadi perbincangan hangat. Lantas, gerangan apa yang dapat ditafsirkan di balik momentum publikasi putusan salah satu peradilan tertinggi negara tersebut terhadap signifikansi dinamika politik yang ada saat ini?


PinterPolitik.com

Sangat disayangkan, alasan yang keluar dari juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro, bahwa telatnya publikasi putusan MA terkait gugatan Pilpres 2019 dikarenakan alasan klasik berupa banyaknya perkara yang ditangani lembaga yudikatif tersebut.

Memang, Nganro menyatakan bahwa terbitnya putusan yang telah diketok majelis hakim pada 28 Oktober 2019 lalu itu telah sesuai prosedur. Akan tetapi tetap saja, timing unggahan putusan pada awal Juli ini menimbulkan tanda tanya tersendiri.

Spekulasi keterkaitan momentum putusan MA tersebut yang seolah turut mewarnai isu politik dan pemerintahan saat ini tampaknya sulit untuk dijustifikasi secara autentik. Tapi di luar itu, nalar pihak manapun dinilai akan terdistraksi dengan “seksinya” isu Pilpres 2019 beserta intriknya kala itu.

Sementara di sisi lainnya, tendensi minor justru tersorot kepada MA yang oleh pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati, disebut menyediakan alasan yang tak masuk akal atas keterlambatan lebih dari delapan bulan sejak putusan hakim.

Kemudian tanggapan menarik datang dari Teguh Hidayatul Rachmad, peneliti Indonesia Popular Survey (IPS) yang menyebut bergulirnya polemik publikasi putusan MA saat ini menjadi sebuah dialektika yang dimainkan untuk mengguncang stabilitas politik. Secara gamblang, Teguh menyasar keterkaitan polemik putusan tersebut dengan kontroversi RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai konteks dialektika tersebut.

Lantas pertanyaannya, apakah MA sebagai salah satu lembaga peradilan tertinggi di republik ini memungkinkan untuk turut “bermain” dalam dinamika politik dan pemerintahan?

Spekulasi tak berdasar tentu tak memiliki ruang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun praduga yang memiliki korelasi dengan tendensi tertentu dinilai dapat memberikan jawaban: “mungkin saja”.

Hal tersebut mengacu pada tendensi historis dari sebuah penelitian Sebastiaan Pompe yang berjudul The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse di mana menyebutkan bahwa pada masa Orde Baru (Orba), MA acapkali mencerminkan defisiensi sebagai lembaga peradilan dengan berbagai putusannya yang jamak berinteraksi dengan agenda politik.

Secara normatif, publikasi Pompe agaknya akan dapat ditentang dengan mudah oleh justifikasi inheren sebuah lembaga peradilan yang notabene mustahil berpihak dan sah-sah saja menelurkan berbagai bentuk keputusan dengan privilege dan pertimbangan tertentu dari majelis hakim. Terlebih Pompei melandaskan studi kasus pada masa Orba yang dianggap tak relevan dikarenakan lembaga peradilan telah banyak mendapatkan pembenahan serta perbaikan di era reformasi.

Lalu, jika MA memang benar-benar telah berbenah, mengapa keterlambatan publikasi putusan dengan tendensi sensitif terkait gugatan Pilpres 2019 bisa terjadi? Dan pada saat yang sama, mengapa pula masih ada tafsir minor yang terkonstruksi terhadap MA dari buffer publikasi putusan tersebut?

Hanya Kebisingan Politik?

Satu hal yang harus diakui, putusan memuaskan dahaga keadilan memang tak selalu datang dari MA. Publik dapat dengan mudah membuka kembali lembaran pemberitaan lampau yang menyiratkan adanya kontroversi pada beberapa keputusan MA.

Sebut saja putusan yang justru meringankan tuntutan sejumlah koruptor seperti Idrus Marham dan Syafruddin Arsyad Temenggung, hingga kontroversi perkara gugatan larangan pengurus parpol untuk menduduki jabatan Dewan Perwakilan Daerah DPD oleh Oesman Sapta Odang.

Kendati demikian, untuk menghubungkan kontroversi putusan ataupun momentum publikasi putusan MA dengan adanya intervensi politik dengan maksud tertentu, diperlukan jembatan khusus yang tampaknya membutuhkan perjalanan panjang dan energi yang besar untuk terbangun. Utamanya fakta bahwa putusan tersebut tak memiliki konsekuensi hukum apapun terhadap hasil akhir Pilpres 2019.

Pada spektrum yang berbeda, postulat dari aspek legalitas di atas tak lantas menggugurkan analisa komprehensif mengenai momentum publikasi putusan gugatan Pilpres 2019 oleh MA yang dinilai turut larut dalam keruhnya situasi politik dan pemerintahan tanah air belakangan ini.

Fenomena tersebut dapat dipahami dengan teori komunikasi publik mengenai manajemen isu. Elizabeth Dougall dalam tulisannya yang berjudul Issues Management menyebut manajemen isu menjadi sebuah proses strategis bagi sebuah entitas, dalam hal ini pemerintah, untuk mendeteksi serta merespon berbagai tren yang mengemuka dalam dinamika politik dan pemerintahan.

Oleh karena sebuah isu dapat bertransformasi menjadi preseden negatif, entitas yang berkepentingan dapat merespon isu tersebut dengan melempar atau menjadi pihak yang “memanfaatkan” isu lainnya sebagai bentuk distraksi.

Manajemen isu inilah yang dinilai menjadikan hadirnya publikasi putusan Pilpres 2019 MA sebagai sebuah kebetulan yang menguntungkan di tengah berbagai isu minor terkait kontraproduktifnya kebijakan pemerintah belakangan ini. Mulai dari RUU HIP, isu tenaga kerja asing (TKA) Tiongkok, mengemukanya kembali dwifungsi aparat, hingga gelagat keteteran pemerintah dalam penanganan Covid-19.

Dan menjadi tak keliru memang jika Teguh Hidayatul Rachmad sebelumnya membaca ada dialektika yang dimainkan terkait terlambatnya publikasi putusan Pilpres MA yang ia sasarkan pada isu kontroversi RUU HIP.

Namun jika ditelisik lebih dalam pada konteks putusan MA, kemustahilan untuk mengubah hasil Pilpres 2019 juga berbanding lurus dengan mustahilnya kekecewaan atas apapun hasil putusan mengingat telah musnahnya tensi persaingan ketika para kontestan utama telah bergabung dalam koalisi.

Menjadi menarik kemudian untuk mengaitkan kemungkinan terjadinya manajemen isu ini dengan salah satu kontestan Pilpres 2019, yakni Prabowo Subianto. Jika merujuk pada eksplanasi manajemen isu Dougall, membesarnya polemik keterlambatan putusan hasil Pilpres 2019 oleh MA, tampaknya justru menguntungkan partai besutannya, Gerindra yang tengah menjadi sorotan akibat terkuaknya kongsi berjamaah kader partai dalam ekspor benih lobster.

Polemik Yang Untungkan Gerindra?

Mengapa Gerindra? Tentunya jika mengacu pada prinsip manajemen isu, aspek momentum adalah salah satu kunci utama. Jika dibandingkan isu lainnya, eksistensi isu putusan Pilpres MA secara simultan tampak beriringan dengan semakin meruncingnya isu “bagi-bagi kue” untuk Gerindra melalui Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Ditambah, laporan Majalah Tempo edisi 4 Juli lalu yang bertajuk Pesta Benur Menteri Edhy akan membuat siapapun geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, laporan investigatif tersebut membeberkan secara detail nama-nama kader Gerindra yang menjadi komisaris hingga direksi di perusahaan eksportir benih lobster seperti Rahayu Saraswati hingga Hashim Djojohadikusumo.

Tak heran jika kemunculan secara tiba-tiba publikasi putusan Pilpres MA yang kemudian berkembang menjadi polemik tersendiri, agaknya sedikit menguntungkan serta mengurangi tekanan isu kongsi ekspor lobster Gerindra.

Robert Lawrence Heath dalam Strategic Issues Management: Organizations and Public Policy Challenges, melihat lebih jauh domain manajemen isu sebagai bagian dari penajaman rencana strategis jangka panjang.

Terlalu tumpang tindihnya berbagai polemik isu kebijakan kontraproduktif pemerintah yang dibumbui dengan isu-isu lain yang seolah saling terkait membuat ekosistem informasi yang berkembang menjadi sangat keruh.

Setelah tertunda lebih dari delapan bulan sejak putusan majelis hakim, publikasi MA terkait gugatan Pilpres 2019 juga di sisi lain tampaknya memunculkan potensi diskursus baru mengenai ekspektasi publik andai kata putusan tersebut dapat mengubah hasil Pilpres.

Sorotan tertuju kepada Ketua Umum Gerindra yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Publikasi putusan MA dinilai menjadi sapu jagat – selain membiaskan polemik ekspor lobster kader Gerindra – untuk dapat pula menjadi elemen penilaian strategi jangka panjang dalam mengukur ekspektasi publik terhadap mantan Panglima Kostrad itu sebagai kandidat pada kontestasi pemimpin bangsa 2024.

Di luar itu semua, kita tentu mengetahui bahwa benar tidaknya putusan MA tersebut hanya dijadikan manajemen isu tentunya tidak diketahui secara pasti. Pada titik ini, kita tentu hanya bisa meraba-raba terkait peristiwa apa yang tengah terjadi.

Bagaimanapun, ke depannya publik harus lebih jeli memilah informasi dan isu terkait politik dan pemerintahan yang sedang mengemuka. Menariknya diskursus isu tertentu di tengah berbagai kemudaratan konkret yang sedang terjadi, bisa jadi merupakan pengalihan atau bahkan pembiasan yang direncanakan. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version