Site icon PinterPolitik.com

Teknologi, Pembunuh Kelas Menengah Indonesia?

Ilustrasi tenaga kerja di Indonesia (Foto: MI/Ramdani)

Indonesia sering disebut-sebut akan menjadi negara Asia Tenggara dengan jumlah populasi kelas menengah terbanyak. Akan tetapi, sesuai dinamikanya, Indonesia tampak kesulitan dalam menjamin kelangsungan hidup kelas menengah, contohnya dengan bagaimana sebagian besar orang tidak mampu membeli hunian pribadi di perkotaan. Mengapa hal ini bisa terjadi? 


PinterPolitik.com 

Meskipun penting, obrolan seputar keamanan finansial dan perencanaan memiliki hunian pribadi barangkali menjadi salah satu topik yang paling sensitif untuk didiskusikan bagi mereka yang sedang terjebak dalam usia paruh baya. Ibarat mengobrol tentang percintaan, sebagian besar orang hanya mau berbicara tentang hal-hal finansial pada mereka yang memang dipercaya, atau sering menjadi tempat curhat. 

Tidak heran, meski sekarang lapangan pekerjaan di kota semakin banyak, tapi sepertinya hampir semua orang akan setuju bahwa saat ini sangat sulit sekali untuk bisa mendapatkan hunian pribadi di lingkungan urban.  

Harga properti yang semakin mahal setiap tahunnya telah membuat orang-orang akhirnya memutuskan untuk ngontrak, atau membeli rumah di wilayah pinggiran kota. Itu pun belum ditambah beban finansial dalam membiayai keluarga, jika memang kita ingin berkeluarga. 

Well, ada benarnya jika kalian merasa cukup relate dengan pendapat itu, karena data dari laporan Bank Dunia pada tahun 2021 sendiri menunjukkan bahwa dari sekitar 85 juta orang Indonesia yang memiliki penghasilan tetap, ternyata hanya 13 juta, atau sekitar 15 persen saja yang berpenghasilan cukup untuk membiayai keluarga berjumlah empat orang.  

Kenyataan tersebut menjadi ironi ketika kita melihat narasi tentang Indonesia yang diprediksi akan memiliki ledakan populasi kelas menengah sampai tahun 2045 nanti. Pada 2020 lalu kita pun sempat dibuat gembira dengan kabar penobatan Indonesia sebagai upper middle income country atau negara berpendapatan menengah ke atas oleh Bank Dunia. 

Namun sayang, gelar itu tidak bertahan lama karena pada akhir 2021 Indonesia kembali turun menjadi lower middle income country atau negara berpendapatan menengah ke bawah. Hal ini karena pada tahun lalu tercatat pendapatan per kapita Indonesia hanya sebesar US$3.870, sementara ambang batas minimal negara berpendapatan menengah atas adalah US$4.096.  

Lantas, mengapa kehidupan masyarakat kelas menengah tampak semakin sulit? 

Baca juga: Jokowi dan Serangan Balik Kelas Menengah

Hilangnya Pasar Kelas Menengah? 

Sebelum membahas lebih lanjut, akan lebih pantas jika kita terlebih dahulu mengulas tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan middle income trap. Breda Griffith, seorang konsultan ekonomi dari Bank Dunia dalam tulisannya Middle-Income Trap, menjelaskan bahwa itu adalah istilah yang mengacu pada keadaan ketika sebuah negara berhasil mencapai ke tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. 

Kegagalan kenaikan kelas ini, menurut Griffith, diakibatkan oleh semakin meningkatnya harga barang-barang di pasar, dan juga ketidakmampuan sumber daya manusia (SDM) negara tersebut dalam mengejar standar daya saing internasional. Bukti yang mendukung bahwa suatu negara terjebak dalam middle income trap ditunjukkan melalui penurunan pendapatan per kapita dan penurunan atau stagnasi dalam daya saing ekonomi. 

Namun, apakah istilah ini cukup untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada kelas menengah di Indonesia? 

Tentu tidak. Karena sesungguhnya ada satu fenomena lain yang menjadi permasalahan di Indonesia, yaitu apa yang disebut sebagai market bifurcation. Will Kenton, seorang pengamat ekonomi dari Investopedia dan Kapitall Wire, menjelaskan bahwa market bifurcation adalah suatu keadaan di mana pasar terbelah menjadi dua, yaitu pasar kelas bawah dan pasar kelas atas. 

Sementara itu, dalam fenomena ini, pasar kelas menengah akan semakin mengecil, sehingga akan semakin banyak pengusaha yang sulit bertahan jika sasarannya adalah konsumen kelas menengah. Hal ini karena pendapatan yang mereka dapatkan tidak cukup untuk mengembangkan bisnisnya. Di sisi lain, semakin banyak juga pekerjaan kelas menengah yang membutuhkan syarat tinggi, tetapi tidak diiringi oleh upah yang juga tinggi.  

Kemudian muncul juga tren di mana konsumen semakin cenderung memilih barang yang premium atau justru yang paling murah. Sementara barang-barang yang harganya ‘nanggung’ akan semakin tidak diminati, karena dianggap tidak memiliki kualitas yang bagus, dan terlalu mahal jika dibandingkan dengan barang murah yang kualitasnya tidak jauh berbeda. 

Keadaan seperti inilah yang menjadi ancaman sesungguhnya bagi kelas menengah di Indonesia. Abdul Manan Pulungan, Kepala Makro Ekonomi dari INDEF, pernah mengingatkan bahwa peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia bukanlah sebuah alasan untuk berbangga, karena kelas menengah kita hanya kuat dari sisi konsumsi, bukan produksi.  

Oleh karena itu, sesungguhnya Indonesia hanya menjadi pasar impor. Dan tren yang terjadi saat ini pun membuktikan itu, orang Indonesia gemar membeli barang-barang terkini, yang sesuai dengan perkembangan gaya hidup, tapi kemudian mengalami kesulitan jika ingin membeli properti atau rumah. 

Jika benar demikian, maka Indonesia perlu ekstra hati-hati akan perangkap ‘lanjutan’ yang kemungkinan besar terjadi bila suatu negara mengalami kesulitan dalam menjamin kemakmuran populasi kelas menengahnya. Perangkap tersebut adalah apa yang kita sebut sebagai barbell effect.  

Jim Blasingame dalam artikelnya Beware The Barbell Effect, Unless You’re A Small Business, menjelaskan barbell effect adalah sebuah fenomena di mana ketidakmampuan kelas menengah dalam mempertahankan dirinya di suatu ekosistem ekonomi telah menyebabkan kesenjangan yang mendalam antara kelas miskin dan kelas kaya.  

Sesuai namanya, populasi suatu negara yang terlanda barbell effect memiliki postur populasi yang menyerupai bentuk barbel. Masyarakat kaya semakin terjamin posisinya, masyarakat miskin semakin menancap dalam kemiskinannya, dan masyarakat menengah stagnan terjebak di tengah-tengah.  

Lalu, mengapa barbell effect ini bisa terjadi? 

Baca juga: UU Ciptaker, Untuk Kebaikan Siapa?

Akibat Perkembangan Teknologi? 

Jamie Bartlett dalam bukunya The People Vs Tech: How the Internet is Killing Democracy, menjelaskan bahwa alasan mengapa perekonomian sejumlah besar negara di dunia saat ini menghadapi permasalahan barbell effect adalah akibat dari adanya perkembangan teknologi.  

Kelompok orang-orang yang terdidik, sangat terekspos dengan perkembangan pengetahuan di bidang teknologi, mereka sangat pandai menggunakan dan mengeskploitasi teknologi. Sementara itu, teknologi telah menjadi salah satu kekuatan terkuat dalam abad ke-21.  

Kesenjangan dalam mengakses sumber ‘kekuatan’ ini telah membuat mereka yang sudah kaya menjadi lebih kaya. Bartlett mencontohkannya dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan, yang merupakan salah satu teknologi paling canggih saat ini. Bartlett menilai, jika saat ini kita mengetahui bagaimana cara mengembangkan kecerdasan buatan, maka kita dapat menjadi pemimpin industri di banyak sektor ekonomi yang berbeda. Sementara itu, uniknya adalah, kita tidak perlu pabrik besar untuk melakukannya. 

Lalu ada pekerjaan kelas menengah yang semakin terancam. Saat ini, menurut Bartlett, sebagian besar masyarakat yang dilihat sebagai kelas menengah, menjadi terfragmentasi. Beberapa dari mereka pergi ke area tingkat tinggi dan tersedot ke sektor teknologi. Mereka menjadi manifestasi dari manusia modern, keren, dan dibayar dengan upah tinggi. Tetapi mereka yang tidak memiliki akses ke pengetahuan teknologi akan terseret ke dalam sektor layanan, yang sebagian besar tujuannya adalah untuk melayani orang-orang kaya. 

Sementara itu, seperti yang kita tahu, orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih dalam teknologi, khususnya di Indonesia masih sangat terbatas. Kita memang punya beberapa perusahaan teknologi unicorn, seperti Gojek dan Tokopedia, tetapi banyak startup-startup teknologi lain yang namanya tidak sempat terekspos, namun mereka tumbang sebelum sempat berkembang lebih jauh karena akses teknologi canggihnya masih sangat terbatas. 

Dengan demikian, kunci untuk terlepas dari sejumlah perangkap-perangkap yang menjerat kelas menengah di Indonesia sesungguhnya bukanlah untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Itu akan hanya memberi kelas menengah akses ke hasrat konsumerisme, dan awal dari permasalahan baru yang lebih kompleks. Yang seharusnya ditekankan pemerintah adalah mendorong adanya ekosistem teknologi yang mumpuni, termasuk dari sektor pendidikan. 

Jika pendidikan teknologi di Indonesia bisa terdorong, kita tidak hanya akan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan, tetapi SDM yang ada juga mampu menjadi entrepreneur-entrepreneur teknologi yang pada akhirnya mampu menangkal perangkap barbell effect, dan dalam jangka panjangnya, juga dampak buruk dari market bifurcation. (D74) 

Baca juga: Jadi Pahlawan, Jokowi Revisi JHT?

Exit mobile version