“Dibutuhkan darah dan otak untuk memenangkan perang.”~ George S. Patton
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]aat berperang, kita tak hanya membutuhkan darah muda yang bergolak penuh semangat tapi juga otak yang cerdik saat membidik. Itulah yang ingin disampaikan oleh George S. Paton, jenderal pasukan Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Ucapan ini mungkin juga yang sebenarnya diharapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melantik 729 perwira remaja TNI-Polri di halaman Istana Merdeka, Selasa (25/7).
Di hari sebelumnya, Jokowi juga menyatakan hal yang sama pada Calon Perwira Remaja (Capaja) Akademi TNI dan Polri, Senin (24/7). Dihadapan para pembela negara generasi Y ini, Jokowi mengingatkan kalau di masa depan, lanskap pertahanan dan keamanan dunia pasti berubah. Karena itu, mereka diharapkan untuk mempelajari artificial intelligence (AI) yang juga erat kaitannya dengan information technology (IT).
Zaman memang telah berubah, saat ini saja Indonesia sudah menjadi target terbesar perang siber (cyberwar) dunia. Setiap harinya, diperkirakan Indonesia menerima 42 ribu serangan siber setiap harinya. Berbagai upaya menangkal perang di masa datang, seperti cyber war, proxy war, dan hybrid war telah dilakukan. Tak hanya TNI-Polri saja yang telah memiliki divisi penangkalnya, bahkan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) juga telah membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Walau saat ini keamanan Indonesia masih terjaga, namun ke depannya, negara ini memiliki tantangan yang sangat besar untuk dapat mempertahankan kedaulatan. Saat ini saja, di Laut Tiongkok Selatan, dua negara besar tengah saling memamerkan kekuatannya. Walaupun Indonesia tidak ikut terlibat dalam permasalahan teritorial yang melibatkan beberapa negara tersebut, namun imbasnya tetap harus diantisipasi sedini mungkin.
Tantangan Militer Masa Depan
“Bagi para Perwira Remaja TNI dan Polri tidak ada kata lain, harus selalu belajar, belajar dan belajar dari kehidupan, sehingga mereka tidak ketinggalan mengikuti perkembangan dan perubahan yang begitu cepat.” ~ Jenderal TNI Gatot Nurmantyo
Itulah pesan Panglima TNI saat acara pelantikan TNI Polri tersebut di atas. Menurutnya, secara perlahan namun pasti berbagai ancaman siber sudah mulai terdengar gaungnya, baik di dunia internasional maupun di dalam negeri. Salah satunya adalah adanya proxy war yang sudah menyusup ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Walaupun saat ini kekuatan militer Indonesia berada di posisi ke 14 terkuat di dunia dan pertama di Asia Tenggara, serta memiliki pasukan elit khusus yang paling ditakuti di dunia – bahkan oleh Navy Seal Amerika Serikat, namun tanpa peralatan canggih yang mampu mengimbangi peralatan canggih musuh, Indonesia tetap akan berada dalam posisi yang terancam.
Gerakan teroris radikal seperti ISIS, telah memperlihatkan kalau kemajuan teknologi digital mampu menciptakan ancaman global yang serius. Bahkan media sosial pun telah digunakan oleh ISIS untuk merekrut dan berkoordinasi. Belakangan, dikabarkan beberapa gerakan teroris juga sudah menggunakan pesawat tanpa awak atau drone untuk membawa bom yang siap meledak saat menemukan targetnya.
Melalui proxy war, musuh yang berada di dalam ataupun luar negeri, akan terus berupaya menguasai media di Indonesia dan menciptakan adu domba TNI-Polri, rekayasa sosial, perubahan budaya, memecah belah partai, termasuk penyelundupan Narkoba yang sudah jauh-jauh hari dilakukan. Karena itu, TNI-Polri sebagai garda terdepan harus mampu menyesuaikan diri dan lebih melek terhadap teknologi informasi dan komunikasi, seperti yang diharapkan Presiden.
TNI-Polri juga harus mampu mengimplementasikan teknologi melalui peremajaan peralatan dan alutsista yang berbasis komputerisasi. Mekanisme kerja sehari-hari di satuan jajaran TNI, kabarnya juga sudah mulai menggunakan sistem informasi melalui pembangunan aplikasi untuk mempermudah dan mempercepat tugas, serta dapat memberikan data yang lebih akurat.
Berbagai kemajuan teknologi berbasis digital, alutsista berbasis komputerisasi, serta sistem informasi pun akan berfungsi dengan baik hanya bila manusia yang mengawaki paham betul dengan teknologinya. Karena itu, TNI-Polri harus mampu menguasai terobosan-terobosan tersebut dan terus meningkatkannya melalui pelatihan, kursus, dan pendidikan IT secara terus menerus.
Kemampuan Produksi Alat Canggih
“Hampir semua bidang, baik land forces, naval dan aerospace, teknologi kita meningkat besar. Meski ada beberapa yang impor, kita tidak lagi ketergantungan. Kita bisa produksi sendiri.” ~ Mayjen TNI Jan Pieter Ate
Fakta ini diungkapkan oleh Wakil Rektor III Bidang Kerjasama Kelembagaan UNHAN Mayjen TNI Drs Jan Pieter Ate, M.Bus M.A., yang di tahun 2016 lalu menjadi Ketua Panitia Pelaksana Indo Defence. Menurutnya, penguasaan teknologi angkatan bersenjata Indonesia sudah canggih. Bahkan sudah mampu memproduksi kapal perang sampai kelas Strategiv Sealift Vessel (SSV) yang panjangnya 123 meter.
Begitu juga dengan pengadaan pesawat tanpa awak (drone) yang menurut Jokowi akan menjadi andalan TNI untuk berjaga di wilayah-wilayah perbatasan dari pelanggaran perbatasan wilayah oleh negara lain, dan melacak kegiatan teroris di hutan-hutan. Dengan dukungan sejumlah ilmuwan seperti Profesor Yohanes Surya Ph.D, rektor Universitas Surya dan Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ahli pesawat terbang tanpa awak dan radar dunia asal Indonesia, drone-drone tersebut dapat dimodifikasi dengan tambahan radar bahkan persenjataan.
Drone buatan anak bangsa akan jaga laut indonesia!!! http://t.co/B2EobxQW8B follow @portal_militer & @Motivasi_kan pic.twitter.com/R7RbfNBXRp
— Portal Militer (@portal_militer) January 30, 2015
Dalam bidang produksi, TNI juga telah lama mengenal industri pertahanan melalui PT Pindad yang memproduksi senapan, amunisi, bom udara, hingga roket sendiri. Belum lagi, industri pertahanan ini juga sedang berusaha menguasai teknologi peluru kendali. Kini, industri militer juga semakin berkembang berkat dukungan PT Dirgantara Indonesia serta BUMN industri strategis lainnya, termasuk pihak swasta.
BUMN industri strategis ini, kabarnya juga telah memiliki kemampuan membuat peralatan pertahanan di bidang teknologi defense system, combat management seperti kapal perang dan pesawat, juga battle management untuk ground forces. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, industri pertahanan ini juga sudah mulai mengembangkan sayapnya dengan menerima pesanan negara lain, misalnya Turki yang saat kunjungan Jokowi lalu, memesan drone dan kapal selam.
Ancaman di Depan Mata
“Saya minta kemampuan TNI dan Bakamla dalam menjaga laut harus lebih ditingkatkan, baik dalam hal kelengkapan teknologi radar maupun kesiapannya.” ~ Jokowi
Instruksi ini dikeluarkan Jokowi ketika meninjau Perairan Natuna tahun lalu. Kehadiran kekuatan asing di wilayah Laut Tiongkok Selatan, terkait konflik berlarut diperairan tersebut tentu juga akan membawa imbas bagi Indonesia. Menyusul ulah Tiongkok yang mengklaim kepemilikan Pulau Spartly yang menjadi rebutan beberapa negara di sekelilingnya, seperti Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Karena itu pula, tahun lalu Jokowi memberikan perhatian khusus di wilayah Perairan Natuna yang letaknya sangat dekat dengan Kepulauan Spartly. Apalagi Panglima TNI sendiri sudah memperingatkan, kalau nelayan Tiongkok pernah tertangkap memasuki wilayah Indonesia dengan kawalan kapal militer Tiongkok. Ulah ini, menurut Gatot, merupakan sinyal akan kemungkinan upaya Tiongkok mengklaim Perairan Natuna yang terkenal kaya minyak.
Jadi tidak mengejutkan, ketika tahun ini pemerintah mengeluarkan peta baru yang lebih tegas memperlihatkan batas-batas wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Disusul dengan bergantinya nama Laut Tiongkok Selatan di sekitar Natuna menjadi Perairan Natuna Utara. Banyak pihak yang mengakui kalau tindakan ini termasuk berani. Bahkan protes Tiongkok atas perubahan nama tersebut pun hanya dianggap angin lalu oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Tak sampai di situ, Jokowi juga telah mengungkapkan rencananya untuk menjadikan pulau-pulau kecil terluar untuk berperan sebagai kapal induk. Ke depan, dikabarkan juga akan dibangun landasan pesawat di Natuna untuk diisi dengan pesawat tempur berikut sarana pendukungnya. Begitupun di pulau terluar lain, seperti di Biak dan Papua, disediakan pangkalan militer baru yang siap mengawal kedaulatan RI.
Upaya mempercanggih peralatan militer hingga memperkuat basis pasukan di wilayah terluar Indonesia, merupakan bukti Jokowi tengah melakukan teknokrasi militer, yaitu membentuk militer dengan menempatkan para pakar teknis militer yang digabungkan dengan bidang lainnya di luar militer, misalnya dengan bekerjasama dengan para ilmuwan yang mampu menyumbang keahlian teknologinya bagi kemajuan TNI-Polri.
Segala upaya ini memang membutuhkan anggaran yang tak sedikit, karena itulah pemerintah dan DPR telah sepakat untuk mengucurkan anggaran Kementerian Pertahanan tahun ini, sebesar Rp 108 triliun. Jumlah yang tak sedikit – Bahkan tertinggi dalam 12 tahun, mengingat perekonomian Indonesia yang masih lesu dan Anggaran Belanja Negara yang nyaris defisit. Namun DPR sendiri menyadari, kalau pertahanan atas kedaulatan Indonesia bukan hal yang dapat dikompromikan. Akan efektifkah upaya teknokrasi militer Jokowi yang mengorbankan banyak biaya ini? Semoga saja. (R24)