Kepolisian Daerah (Polda) Papua disebut bersedia memberikan tebusan uang kepada Kelompok Kriminal Bersenjata/Organisasi Papua Merdeka (KKB/OPM) sebagai cara untuk membebaskan Kapten Phillip yang disandera KKB, sejak beberapa bulan lalu. Lantas, apakah tawaran tebusan uang ini diberikan sebatas upaya untuk membebaskan Phillip, atau sebagai bukti bahwa pihak TNI/Polri tidak “mampu” untuk membebaskannya lewat operasi militer?
“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”, Abdurrahman Wahid, Presiden ke-4 Indonesia
Kepolisian Daerah (Polda) Papua secara terbuka menyatakan bahwa pihaknya akan memenuhi tuntutan dari Kelompok Kriminal Bersenjata/Organisasi Papua Merdeka (KKB/OPM), sebagai upaya untuk membebaskan Kapten Phillip Mertens.
Phillip sendiri merupakan seorang pilot dari maskapai Susi Air yang ditangkap setelah mendarat di Nduga, Februari lalu. Hingga saat ini baik TNI/Polri memang masih berupaya untuk membebaskannya, baik lewat soft maupun hard approach.
Kapolda Papua, Irjen Pol Mathius Fakhiri, menyatakan bahwa pihaknya bersedia bernegosiasi dan memenuhi tuntutan KKB, kecuali pada hal-hal yang berkaitan dengan senjata api dan kemerdekaan. Ia juga berharap, dengan peran dari tokoh agama, masyarakat serta keluarga, semoga Egianus Kogoya mau melepaskan pilot dari Susi Air tersebut.
Meski begitu, KKB membantah pihaknya meminta tebusan uang pada polisi atau pemerintah. Sebby Sambom, yang merupakan juru bicara dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)-OPM, atau KKB, menyatakan bahwa mereka bukan kriminal dan tidak minta uang, tapi ia menyebut bahwa tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah adalah soal pengakuan atas eksistensi perjuangan TPNPB dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Sementara itu, menurut Kabid Humas Polda Papua, Ignatius Benny Prabowo, sebenarnya KKB mengajukan permintaan uang pada masa awal penyanderaan. Akan tetapi, ketika ingin dipenuhi, komunikasi dengan mereka justru terputus.
Maka, apakah mungkin tawaran tebusan uang ini ditawarkan oleh polisi sebagai upaya untuk “menghindari korban”? Dan apakah itu berarti pihak TNI/Polri “tidak sanggup” membebaskan Phillip secara langsung lewat operasi militer?
Cari Aman?
Peristiwa penyanderaan pilot Susi Air ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk segera menemukan jalan keluar, dan menyelesaikan konflik di Papua, serta menumpas gerakan separatis di wilayah tersebut.
Di satu sisi, pemerintah harus bisa menjaga opini publik, baik secara nasional atau internasional, agar jangan sampai muncul isu pelanggaran HAM, yang selain menyulitkan proses penyelesaiannya, juga bisa membawa implikasi serius, seperti embargo ekonomi atau embargo militer.
Oleh karena itu, solusi penyelesaiannya bukanlah dengan menghadirkan penggunaan alutsista berat, seperti helikopter serang, dan lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, bahwa jangan sampai pihak internasional terlibat, baik negara lain, lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional, hingga organisasi internasional.
Karena itu, ia mengatakan negara tidak akan meminta bantuan dari negara lain, dan juga tidak menerima bantuan apapun dari pihak pihak internasional. Menurutnya, jika satu saja pihak internasional diizinkan membantu dan terlibat, maka akan merembet ke campur tangan pihak lain seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan lainnya.
Di sisi lain, di pihak TNI/Polri sendiri telah jatuh korban dalam operasi pembebasan sandera tersebut lewat cara “konvensional”. Sekitar 4 orang prajurit gugur dalam upaya tersebut. Tentu, pada akhirnya opsi yang lebih “murah” berupa tebusan uang dapat menjadi opsi alternatif yang dipilih oleh pemerintah.
Hal ini sesuai jika kita lihat menggunakan theory of life sacrifice. Teori ini menjelaskan bahwa opsi pemberian tebusan berupa uang kepada kelompok bersenjata seperti teroris atau kelompok separatis diambil karena prioritas utama adalah menyelamatkan sandera. Teori ini dikembangkan oleh Peter Singer dari bukunya “Famine, Affluence, and Morality”, dan juga dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Stuart Mill.
Dalam kasus Philip sendiri, prioritas utama memang menyelamatkan sandera, meski juga dilakukan pendekatan militer. Dengan jatuhnya korban di pihak pasukan pembebas, secara rasional tentu akan lebih baik untuk “bermain aman” terlebih dahulu untuk menyelesaikan kasus ini.
Hal ini bukan berarti pemerintah tidak ingin sekaligus menumpas KKB, tapi objektif utama dari operasi ini hanya untuk pembebasan Philip. Sementara, untuk masalah KKB secara menyeluruh dan lebih luas, dibutuhkan penyelesaian yang lebih mendalam dan kompleks.
Namun, pertanyaan besar yang kemudian muncul di benak banyak orang adalah, kenapa Indonesia, sebagai negara berdaulat, mau bernegosiasi dengan kelompok separatis? Apakah ini berarti Indonesia “takluk” dan mengakui eksistensinya? Dan apakah langkah negosiasi ini dapat dibenarkan?
Layak Negosiasi?
Dalam menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok bersenjata, pemerintah memiliki dua opsi penyelesaian, yaitu dengan menggunakan pendekatan keras/militer atau pendekatan lembut/negosiasi. Untuk pendekatan pertama menjadi opsi paling umum dilakukan oleh pemerintah, karena berkaitan dengan menjaga “martabat” negara. Opsi ini akan melibatkan pasukan khusus dalam penyelesaiannya.
Namun, untuk opsi negosiasi, biasanya menimbulkan pertanyaan, apakah negara boleh bernegosiasi dengan kelompok teroris atau separatis?
Biasanya keputusan pemerintah untuk melakukan negosiasi dengan kelompok-kelompok tersebut menimbulkan kritik, karena dianggap sebagai bentuk menuruti keinginan kelompok tersebut. Oleh karena itu, beberapa pemerintah sering mengatakan “tidak akan bernegosiasi dengan teroris”, contohnya seperti pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Namun, keputusan pemerintah untuk bernegosiasi sebenarnya masuk akal, terutama dalam mempertimbangkan keselamatan sandera yang menjadi alat tawar kelompok tersebut. Sementara di satu sisi, pemerintah juga tidak ingin mengorbankan nyawa prajurit pasukan pembebas, yang meskipun sangat berpengalaman dan tangguh, namun dalam situasi yang tidak menguntungkan bisa menjadi korban.
Dalam kasus penyanderaan Kapten Phillip oleh KKB Papua, pemerintah telah berulang kali menyampaikan bahwa keselamatan Kapten Phillip adalah prioritas utama, seperti yang dikatakan oleh Kapolda Papua, Irjen Pol Mathius Fakhiri.
Sehingga, tindakan pemerintah untuk bernegosiasi merupakan hal wajar, karena melindungi keselamatan sandera dapat mencegah dampak buruk pada hubungan Indonesia dan Selandia Baru, negara asal Philip.
Selain itu, dalam konteks gerakan separatis yang dimotivasi bukan hanya sekedar oleh uang, tentu memiliki kompleksitas dalam penyelesaiannya. Sehingga, komunikasi dan negosiasi yang terbangun bisa dilanjutkan dalam upaya untuk menyelesaikan kasus secara lebih menyeluruh nantinya.
Tentunya, bagaimanapun juga, menyelamatkan nyawa sandera sangat penting, karena tentu kita semua tidak ingin melihat nyawa orang tidak bersalah mati secara sia-sia, hanya karena konflik politik. Apalagi orang tersebut bukan orang Indonesia, sehingga tidak terkait sama sekali.
Dan pilihan negosiasi dan tebusan uang adalah langkah rasional yang tepat untuk saat ini, karena pasukan pembebas di satu sisi menghadapi sulitnya medan, di mana pasukan KKB memiliki pengetahuan lebih terhadap medan.
Namun, tentu penyelesaian konflik di Papua bukan hanya sekedar tentang pembebasan sandera, tapi lebih luas dan kompleks dari itu. Semoga pemerintah bisa bekerja lebih jauh untuk menyelesaikan konflik ini selamanya.
Apalagi, Indonesia sendiri sudah beberapa kali mengalami gerakan separatis selain OPM, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), dan lainnya. Sehingga, sudah sepatutnya pemerintah bisa segera menyelesaikan ini semua, dan membawa perdamaian dan pembangunan lebih baik bagi warga Papua seluruhnya. (R87)