Harta kekayaan para konglomerat meningkat di tahun 2017. Benarkah berkat Tax Amnesty?
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]ari jajaran nama konglomerat keluaran Forbes 2017, ada nama Arini Saraswati Subianto di sana. Namanya memang baru, tapi jelas ia bukan newbie atau pemain baru dalam dunia bisnis. Ayahnya, Alm. Benny Subianto adalah pengusaha sukses pendiri PT. Astra Agro Lestrari yang juga memiliki investasi di PT Adaro Energy.
Sepeninggal Benny, Arini mewarisi kekayaan Benny hingga mampu menempatkannya sebagai perempuan terkaya di Indonesia dengan kekayaan sebesar lebih dari Rp. 11 tiriliun. Arini saat ini menjabat sebagai Presiden Direktur perusahaan keluarga, Persada Capital Investama dan mengendalikan sejulah investasi di berbagai sektor seperti produk olahan kayu, tambang batu bara, minyak sawit, juga karet.
Nama Arini bersanding dengan nama-nama lawas yang sejak dulu sudah menempati jajaran orang terkaya Indonesia, seperti pengusaha kretek bersaudara Budi dan Michael Hartono dengan Djarum, Eka Tjipta Widjaja dari Sinar Mas, dan Susilo Wonodjojo dari Sampoerna.
Untuk nama-nama konglomerat perempuan, selain Arini, ada pula nama lawas Kartini Muljadi dari Tempo Scan Group, Desi Sulistio Hidayat dari Sido Muncul, hingga Tutut Soeharto.
Tak ada yang spesial memang dari daftar konglomerat yang disajikan oleh Forbes selain nama baru, Arini Subianto. Namun menurut pemaparan BBC Indonesia, jumlah kemkayaan para konglomerat ini naik secara signifikan di tahun 2017. Jika digabungkan, nilainya bahkan lebih dari US$ 100 miliar atau sekitar Rp. 1359,4 triliun
Peningkatan tersebut dinilai oleh BBC, salah satunya dikarenakan oleh adanya program Tax Amnesty dari Sri Mulyani. Menilik data dan beberapa pemberitaan yang mengungkap kegagalan Tax Amnesty, apakah peran tax amnesty bisa disebut sebagai faktor penggenjot kekayaan para konglomerat negeri?
Menguak Kekayaan Lewat Tax Amnesty
Kebijakan Tax Amnesty resmi berakhir pada 31 Maret 2017 lalu. Kebijakan yang telah berjalan selama sembilan bulan, sejak 1 Juli 2016, tersebut menghasilkan antrean panjang di berbagai kantor pajak. Masyarakat menggunakan kesempatan terakhir itu untuk melaporkan kekayaannya yang selama ini tertutup rapat dari pantauan aparat pajak.
Sebelumnya Indonesia memang sudah memberlakukan kebijakan amnesti pajak, yakni pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Keduanya mengalami kegagalan hakiki. Menurut analisa dari Sucorinvest, gagalnya dua amnesti pajak itu dikarenakan kurangnya reformasi di sistem administrasi pajak, data yang miskin, dan juga penegakan hukum yang lemah.
Sementara pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiasteadi berkata jika sistemnya jauh lebih berhasil dibandingkan dengan dua kebijakan sebelumnya. Tentu saja kebijakan tersebut ‘lancar’ dijalankan, sebab ada undang-undang yang menjadi pondasi kuat Tax Amnesty di bawah monitor Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan.
Sri Mulyani juga punya tujuan jelas dari amnesti pajak kali ini, yaitu menarik kekayaan warga Indoneseia di luar negeri ke tanah air, atau yang disebut dengan repatriasi. Tapi sayang sekali, hingga detik berakhirnya program amnesti pajak, tujuan tersebut belum tercapai secara maksimal.
Pemerintah sudah menargetkan dana repatriasi dari amnesti pajak sebesar Rp. 1000 triliun, tapi sampai program resmi berakhir dan ditutup, data statstik Amnesti Pajak Kementerian Keuangan menunjukan jika total dana repatriasi hanya berjumlah Rp. 147,1 triliun, atau hanya sekitar 14, 7 persen dari target.
Walau berita buruk menghinggapi dana repatriasi, tapi dana deklarasi pajak amnesti berhasil melebihi target. Pemerintah menargetkan pendapatan dana deklarasi sebesar Rp. 4000 triliun, dan menurut data statistik dari Kementerian Pajak, dana yang didapatkan adalah Rp. 4.700 triliun, dengan porsi Rp. 3. 687 triliun dari dalam negeri dan Rp. 1. 032 trilun dari luar negeri.
Dana deklarasi yang melebihi target ini, memang lebih banyak mendapatkan andil dari para individu berpenghasilan selangit atau konglomerat yang menyimpan kekayaan di luar negeri. Sucorinvest, dalam laporan berjudul Show Me the Money menunjukan bahwa para konglomerat ini memiliki kekayaan bersih Rp. 100 miliar hingga lebih dari Rp. 1 triliun.
Di dalam laporan tersebut dijelaskan, jika sebagian besar konglomerat menyambut baik adanya amnesti pajak dan tak ada masalah dengan pendeklarasian aset mereka. Namun mereka lebih memilih untuk tetap menyimpan asetnya di perusahaan offshore dibandingkan membawanya kembali ke Indonesia.
Para konglomerat berpikir bahwa menyimpan aset di luar negeri akan memberi mereka keamanan, fleksibilitas, dan tarif pajak yang rendah. Cara tersebut dianggap lebih baik pula untuk melindungi informasi finansial bila dibandingkan dengan menyimpannya di dalam negeri.
Inilah alasan mengapa harta kekayaan para konglomerat ‘terlihat’ meningkat secara signifikan, dalam waktu kurang dari setahun, seperti yang diulas oleh Forbes. Sebagian besar konglomerat menunjukkan harta kekayaan yang disimpannya di luar negeri, yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp. 1.000 triliun. Namun begitu, harta yang tersimpan tersebut tak bisa disebut sebagai pendapatan bisnis semata.
Jokowi Berpihak ke Pebisnis?
Dalam laporannya, BBC juga mengatakan bahwa kebijakan ekonomi Jokowi membuat konglomerat yang sudah kaya, bertambah kaya. Kenyataannya, saat ini kebijakan ekonomi Jokowi sangat sedikit memberi ruang bagi swasta untuk ikut andil dalam program dan kebijakan pembangunan infrastrukturnya.
Seperti yang sudah diketahui bersama, saat ini Jokowi getol menjalankan proyek infrastruktur dan pembangunan di beberapa titik di Indonesia. Proyek tersebut berupa pembangunan jalan tol, pembuatan terminal, pembangunan jalur transportasi, bandara-bandara, dan lain-lain.
Hal ini diamini pula oleh Rini Soemarno, selaku Menteri BUMN, “BUMN dikonsentrasikan untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur, utama pembangunan kolektivitas darat, laut, dan udara.”
Untuk merealisasikan proyek pembangunan dan infrastruktur ini, Jokowi lebih banyak melibatkan BUMN. Sehingga tak heran, keluhan kemudian datang dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang menyebut BUMN mendominasi penggarapan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Akibatnya, peran swasta di dalamnya hampir tak ada dan tak kebagian.
Tak hanya itu saja, BUMN juga bahkan dilarang menggarap proyek infrastruktur pemerintah di bawah Rp. 50 miliar ke bawah. Hal tersebut diatur dan dilindungi dalam Peraturan Menteri PUPR nomor 31/2015 tentang Standar dan Pedoman pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultasi.
Dengan demikian, BUMN selain akan mendominasi, juga pasti akan mendapatkan ‘madu’ yang tak sedikit dari proyek pembangunan infrastruktur Jokowi. Dari sana, apakah masih bisa dikatakan kalau kebijakan ekonomi Jokowi berpihak pada pebisnis?
Jangankan pihak swasta, BUMN yang bekerja di sektor non-infrastruktur dan pembangunan juga kena getahnya, mereka mengalami kerugian banyak di tahun 2017, bergerak di bidang jasa penerbangan dan logam, bukan infrastruktur.
Dengan demikian, pernyataan BBC yang menyebut bahwa kebijakan ekonomi pemerintah makin menguntungkan konglomerat swasta, menjadi tak relevan.
Begitu pula dengan anggapan bahwa amnesti pajak atau tax amnesty mampu menggenjot pendapatan para konglomerat, padahal yang dilakukan kebijakan Sri Mulyani itu hanya memperlihatkan harta-harta dari para konglomerat. (Berbagai Sumber/A27)