“Our exile organizations have been our way of replacing the cities and villages we have lost.” – Henning Mankell
Pinterpolitik.com
[dropcap]H[/dropcap]ak pilih Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri tak bisa dianggap remeh oleh kandidat hajatan politik Pilpres 2019. Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) tahap I yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 2.025.344 WNI di luar negeri yang tercatat memiliki hak pilih pada Pemilu 2019.
Jumlah pemilih dapil luar negeri tersebut, berdasarkan DPT 2019 dari KPU yang belum diperbarui, nyaris serupa dengan jumlah pemilih di Kalimantan Timur yakni, 2.368.200 pemilih. Dapil luar negeri jauh melampaui jumlah pemilih di Papua Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, Bengkulu, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
Secara teknis, ada tiga metode pemungutan suara, metode tersebut meliputi datang langsung ke tempat pemilihan suara (TPS) yang dibangun di kantor perwakilan Indonesia di negara setempat, kotak suara keliling, dan menggunakan pos.
Selain itu, ada perbedaan waktu pemungutan suara antara di dalam negeri dan luar negeri. Jika di Indonesia hari pemungutan dijadwalkan pada tanggal 17 April 2019. Maka, KPU mengambil kebijakan untuk pemungutan suara di luar negeri lebih awal atau dengan early voting.
Kebijakan itu memungkinkan untuk meningkatkan partisipasi WNI di luar negeri untuk datang ke TPS. Tetapi penghitungannya (hasil pemungutan suara) tetap sama, yakni tanggal 17.
WNI di luar negeri atau yang biasa dikenal dengan diaspora menjadi rebutan dalam konteks Pilpres 2019. Share on XAdanya perantau di luar negeri ini, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, dari perspektif negara, dalam hal ini pemerintah yang ingin berkiprah dalam dunia internasional. Kedua, warga negara itu sendiri yang ingin memberikan sumbangsih terhadap negara.
Sebagai “wajah” bangsa di luar negeri, kehadiran para perantau ini penting untuk direngkuh sebab menjadi “kepanjangan tangan” bagi muka pemerintah terhadap dunia internasional.
Mereka juga bisa terlibat dan menggelorakan nasionalisme jarak jauh atau long distance nationalism seperti teori Benedict Anderson.
Selain itu, beragam isu yang timbul dari para perantau mulai dari kasus TKI, kewarganegaraan, status anak, dan yang lainnya perlu mendapat perhatian dari pemangku kepentingan agar perasaan mereka terwakili.
Dengan demikian, WNI di luar negeri memiliki signifikansi kepentingan yang tinggi karena mereka bisa dikatakan sebagai wajah terdepan negara.
Nasionalisme Jarak jauh, Kiprah Perantau
Kehadiran globalisasi telah menjadikan suatu fenomena yang telah menyebabkan adanya pergeseran dalam berbagai aspek. Dalam aspek sosial, globalisasi juga telah mempengaruhi pola interaksi yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya adalah munculnya “masyarakat jaringan”.
Manuel Castells menjelaskan mengenai masyarakat jaringan ini sebagai ekses dari globalisasi. Masyarakat jaringan dapat diartikan sebagai suatu struktur sosial yang terbuat atas jaringan-jaringan yang terbentuk dari microelectronics berdasarkan teknologi informasi dan komunikasi.
Lahirnya masyarakat jaringan tersebut juga turut mempengaruhi pola hubungan dari warga suatu negara. Munculnya teknologi komputer dan internet memunculkan apa yang disebut nasionalisme jarak jauh atau long distance nationalism.
Teori ini diungkapkan oleh Ben Anderson yang menyatakan bahwa orang-orang membangun sirkuit informasi komputer antar benua melalui surel, situs internet atau web content yang pada akhirnya memperkuat politik identitas mereka. Mereka melakukan kerja politik etnisisasi dalam satu negara-bangsa.
Dalam beberapa kasus, mereka bisa mengirim uang untuk tujuan politik, membeli senjata perang, atau diplomasi politik internasional sebagai bentuk perjuangan nasionalisme berbasis etnis atau ras. Nasionalisme jarak jauh ini, seperti dikatakan Ben mampu menciptakan sebuah politik yang serius yang pada saat yang sama tidak dapat di perhitungkan secara pasti.
Dalam konteks perantau Indonesia, pada dasarnya mereka ingin memberikan sumbangsih kepada negara. Kekuatan perantau Indonesia bisa dilihat dari segi ekonomi, budaya, maupun melalui kancah politik praktis.
Dalam titik ini, nasionalisme jarak jauh tidak eksis hanya dalam wilayah imajinasi dan sentimen. Dengan demikian, nasionalisme jarak jauh menyaratkan adanya aksi-aksi tertentu, bisa dengan bentuk ikut serta dalam pemilihan umum (vote), demonstrasi, kontribusi uang, dan lain sebagainya.
Dari segi ekonomi, migrasi WNI ke luar negeri memiliki kontribusi yang signifikan terhadap penghasilan devisa negara. Tanpa harus mengeluarkan banyak anggaran APBN, negara diuntungkan dengan kiriman uang yang mengalir ke pelosok kampung dan kota untuk menghidupkan roda perekonomian di daerah masing-masing.
Menurut data dari Bank Indonesia dan BNP2TKI pada tahun 2016, remitansi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sebesar US$ 8,7 miliar atau setara dengan Rp 132,1 triliun. Sementara remitansi TKI sepanjang tahun 2017 mencapai US$ 8,8 miliar atau setara dengan Rp 133,6 triliun.
Remitansi terbesar berasal dari TKI yang bekerja di kawasan Asia seperti Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong, disusul dari negara-negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Uni Emirates Arab, kemudian Amerika, Eropa, serta Australia.
Remitansi TKI secara nyata telah membantu menopang ketahanan perekonomian makro Indonesia, khususnya perekonomian mikro di daerah-daerah sumber TKI.
Kemudian, melalui program tax amnesty, perantau Indonesia disebut telah memulihkan kembali nasionalisme jarak jauh. Sebab, berdasarkan Surat Pernyataan Harta SPH total harta yang dilaporkan para wajib pajak mencapai Rp 4.668 triliun.
Dari total tersebut, perantau di berbagai belahan dunia telah deklarasikan hartanya di luar negeri mencapai Rp 1.031 triliun. Artinya bahwa, melalui program tersebut para perantau telah turut membantu laju investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan demikian, melalui sumbangsih tersebut, muncul nasionalisme jarak jauh yang secara jelas menentang kewarganegaraan yang lebih mementingkan aspek legal formal sembari mengajukan kewarganegaaran yang lebih substantif.
Klaim yang mengikatkan nasionalisme hanya pada satu negara tidak bisa dipertahankan lagi sebab tidak bisa mengakomodasi gairah dan komitmen politik orang-orang yang tingal di luar tanah airnya.
Menjual Isu Demi Politik Elektoral
Ditarik dalam konteks Pilpres 2019, tentu menjadi ladang yang cukup subur bagi para kandidat untuk menarik suara WNI yang berada di luar negeri.
Hal ini berkaitan dengan rasa keterwakilan WNI dengan isu-isu yang diangkat oleh masing-masing kandidat.
Memang, dari segi perolehan suara boleh jadi suara mereka belum menjadi penentu signifikan dari kemenangan suatu kandidat. Akan tetapi, terkait dengan perwajahan negara di luar negeri seperti disebut di atas, suara mereka tetap tak bisa dianggap enteng.
Jika menilik hasil Pilpres 2014, menjaring suara pemilih yang tinggal di luar negeri menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Sebab, Jokowi dominan mengantongi suara di daerah pemilihan.
Tentu masih lekat di ingatan ketika muncul sosok baru yakni Joko Widodo pada Pilpres 2014, ketika dirinya membawa angin segar bagi para TKI di luar negeri. Sebab pada waktu itu Jokowi berjanji akan memperhatikan nasib para TKI.
Diaspora Indonesia, bangga??
Sore tadi saya di acara Diaspora Indonesia, dihadiri 3000 orang Indonesia dari beragam latar belakang. Kegiatan rutin ini dipelopori sahabat sy Dr. @dinopattidjalal (Mantan Menlu RI), yg tak pernah lelah mengabdi utk kepentingan nasional Indonesia. pic.twitter.com/zGA5EI9npG
— Adhyaksa Dault (@AdhyDault) October 20, 2018
Misalnya saja, antusiasme warga dalam Pilpres pernah dirasakan di Hong Kong karena sosok Jokowi. Ada harapan besar oleh TKI pada waktu itu bahwa Jokowi akan memberikan perubahan.
Kita tahu bahwa persoalan TKI cukup memprihatinkan, tidak sedikit TKI yang mendapatkan penyiksaan bahkan pembunuhan tanpa ada rasa terwakili oleh negara. Meski hingga hari ini, persoalan klasik ini masih belum berhasil secara maksimal.
Sebagai contoh, secara kuantitas, jumlah TKI di luar negeri jauh melebihi jumlah tenaga kerja dari Filipina. Namun dari segi kualitas, keberadaan TKI masih di bawah tenaga kerja Filipina. Secara perlindungan hukum di negara penempatan, Indonesia masih belum memiliki ketegasan diplomasi dari penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) dengan negara-negara penemapatan TKI.
Padahal, seperti yang dinyatakan oleh Osteergard-Nielsen, negara memiliki tugas dan kewajiban untuk membela kepentingan para migran di negara tuan rumah.
Saat ini, barangkali Jokowi bisa melanggengkan kemenangan itu dengan kampanye yang rasional dengan membuat assessment yang objektif, tentang keberhasilan pemerintahannya dan menawarkan strategi baru untuk mengatasi masalah yang belum dapat diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
Di lain pihak, kubu Prabowo-Sandiaga nampak akan lebih kesulitan untuk bertarung di dapil luar negeri. Mereka dianggap harus berjuang ekstra lantaran lawan mereka adalah petahana yang sudah teruji kinerjanya. Sementara Prabowo dan Sandiaga belum terlihat capaiannya di pemerintahan selama ini.
Prabowo perlu mengeluarkan kampanye kreatif dan ekstra keras untuk mengalahkan Jokowi. Misalnya saja kampanye dengan meyakinkan bahwa dirinya akan memberikan perlindungan dan keamanan bagi segenap warga negara di luar negeri.
Selain perlindungan kekonsuleran, Prabowo juga dapat menjual dengan memberikan perlindungan diplomatik. Dalam perlindungan diplomatik, pemerintah suatu negara harus secara tegas mengajukan klaim atau protes kepada pemerintah negara lain yang dianggap telah melakukan pelanggaran hukum internasional terhadap warga negaranya. Hal yang nampaknya masioh jauh dilakukan oleh pemerintah Jokowi.
Dengan demikian, peran serta urgensi WNI di luar negeri tidak dapat dianggap remeh. Meski secara kuantitas jumlah mereka hanya 1 persen dari total WNI, namun secara kualitas mereka bisa memberikan sumbangsih nyata yang bisa membawa kemajuan bagi negara Indonesia. (A37)