Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan Bobby Nasution kompak mencopot sejumlah pejabat pemerintahan di wilayahnya masing-masing atas kasus pungutan liar (pungli) hingga Covid-19. Lantas, mengapa dua pemimpin daerah yang juga anak dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu melakukannya?
Sebagai media darling – istilah yang merujuk pada seseorang yang kerap menjadi sumber pemberitaan – dalam politik nasional saat ini, kinerja Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan, Bobby Nasution yang masih satu famili tersebut kembali menuai perhatian.
Belakangan, keduanya bahkan tampak kompak melakukan manuver kebijakan cukup berani, yakni dengan mencopot sejumlah nama pejabat di wilayah kekuasaannya masing-masing lantaran sejumlah musabab.
Pada akhir April lalu, Wali Kota Medan yang juga menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby Nasution mencopot Lurah Sidorame Timur dikarenakan laporan warga dan terkuaknya pungutan liar (pungli) administrasi di kelurahan tersebut.
Seolah ingin membereskan permasalahan lain dengan cara serupa, Bobby tak lantas berhenti sampai di situ. Bobby kemudian mencopot Edwin Effendi dari posisi Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Medan. Edwin dinilai tidak merespons perintah perbaikan penanganan masalah Covid-19 di Kota Medan.
Baca Juga: Akhirnya Gibran Menang Awards
Seperti sebuah kebetulan, tak lama berselang giliran putra Kepala Negara, Gibran Rakabuming Raka, pun memastikan pencopotan seorang lurah, yakni di wilayah Gajahan.
Pencopotan jabatan yang resmi dilakukan pada Senin ini pun berlatar belakang kasus serupa. Sang Lurah disebut terbukti terlibat pungli berkedok zakat dan sedekah Tunjangan Hari Raya (THR) di wilayahnya.
Gibran lalu langsung melakukan berkeliling untuk meminta maaf dan mendatangi masyarakat pemilik toko di Kelurahan Gajahan, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Minggu yang menjadi “korban” pungli.
Lantas pertanyaannya, mengapa manuver kebijakan yang identik dan hampir bersamaan tersebut dilakukan Bobby dan Gibran?
Upaya Definisikan Kesuksesan Awal?
Baik Bobby maupun Gibran, sama-sama masih kinyis-kinyis sebagai kepala daerah. Karenanya, sebagai wajah baru atau istilah kerennya “rookie” dalam kancah politik dan pemerintahan tanah air, menjadi penting kiranya bagi kedua sosok itu untuk menampilkan performa kepemimpinan dan memerintah yang baik di mata publik.
Apa yang dilakukan Gibran dan Bobby selaras dengan karakteristik dan konsep political newcomers atau bermakna pendatang baru politik. Konsep itu sendiri digagas oleh Miguel Carreras dalam publikasinya yang berjudul Institutions, Governmental Performance and The Rise of Political Newcomers, dan berusaha terlepas dari istilah yang sekilas sama yakni outsider dalam politik.
Carreras sendiri menggunakan istilah newcomers dibanding outsider untuk membedakan dan menghindari kerancuan dengan kajian lain yang mendefinisikan outsider dengan berfokus pada asal atau sistem partai sang kandidat atau pemimpin. Berbeda dengan newcomers yang lebih cenderung berkorelasi dengan pengalaman politik kandidat atau pemimpin itu sebelumnya.
Secara substansial sendiri, opsi prioritas yang logis bagi para newcomers untuk dapat menampilkan impresi yang “sukses” di hadapan publik, ialah dengan langsung mengeksploitasi masalah-masalah seperti kecemasan sosial ekonomi, korupsi, established bureaucracy atau realita birokrasi yang ada, hingga kebijakan dan kegagalan moral.
Indikator fundamental pertama terkait hal-hal tersebut ialah mengenai “efektivitas pemerintah”, yaitu dengan menangkap persepsi kualitas layanan publik, kualitas aparatur sipil negara, dan kualitas perumusan dan implementasi kebijakan. Indikator kedua adalah “pengendalian korupsi”, yakni dengan menangkap persepsi tentang sejauh mana kekuasaan publik disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, termasuk bentuk korupsi kecil maupun besar.
Dua indikator itu yang kemudian tampak dipenuhi dengan baik oleh Jimmy Morales (aktor dan komedian) yang pernah menjadi Presiden Guatemala, dan Tihomir Oreškovic (pengusaha) yang merupakan eks Perdana Menteri (PM) Kroasia sebagai political newcomers.
Baca Juga: Ahok-Gibran: Idola Jadi Rival?
Berdasarkan postulat di atas, jika pencopotan lurah dan pejabat lainnya dilihat dari aspek substansi kebijakan secara umum, manuver anak dan menantu Presiden Jokowi itu kiranya juga dapat dinilai sebagai representasi dari prioritas logis dan “persaingan” sebagai sesama newcomers agar dapat memberikan impresi kesuksesan dalam meresap aspirasi atas masalah mendasar di pemerintahan yang dijabarkan Carreras.
Apalagi tak dapat dipungkiri, masalah pungli dan respons yang lamban di level pemerintah daerah menjadi problematika klasik di Indonesia. Selain itu, permasalahan tersebut cukup sulit diberantas karena berbagai hal dan ujungnya marak yang berakhir dengan “kompromi” masyarakat.
Bobby dan Gibran yang mencopot lurah dengan membawa bukti aspirasi dan bahkan rekaman video pungli dari masyarakat di kantong safarinya, juga memberikan sampel dan yurisprudensi yang cukup positif bagi banyak pihak.
Ihwal yang oleh pengamat politik dan pemerintahan Universitas Sumatera Utara (USU) Indra Fauzan, disebut sebagai wujud dari upaya memperkuat reformasi birokrasi.
Bagi masyarakat, hal ini dapat dijadikan landasan bahwa pelaporan keluh kesah atas penyalahgunaan kekuasaan dalam pelayanan publik maupun kebijakan, dapat secara terbuka dilakukan.
Terlebih, manuver dan keputusan cepat pencopotan yang dilakukan Bobby dan Gibran juga membuat masyarakat kini tak perlu khawatir akan terjerat balik oleh Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas pelaporan semacam itu.
Sementara, bagi para pejabat pemerintah lainnya, contoh dari Medan dan Solo tentunya dapat menjadi pemicu untuk perbaikan kualitas pelayanan publik, yang mana mungkin di beberapa tempat masih terdapat praktik-praktik yang membebani masyarakat.
Akan tetapi, langkah tegas pencopotan pejabat itu nyatanya tak sepenuhnya mendapat respons positif. Khusus bagi Bobby, pencopotan Kadinkes Kota Medan, Edwin Effendi justru menimbulkan kritik dari anggota DPR RI Fraksi Gerindra daerah pemilihan Sumatera Utara, Romo Muhammad Syafi’i, perihal alasan pencopotan. Keduanya lantas terlibat “saling serang” di media sosial.
Singkat cerita, Bobby tampak kurang senang atas kritikan itu dan langsung bereaksi memberikan komentar balik yang dihiasi sejumlah kata menggunakan caps lock atau huruf besar, sebagai manifestasi tingkat kegusarannya.
Reaksi balasan Bobby inilah yang kemudian memberikan porsi adanya anti tesis dari manuver tegasnya. Menurut pengamat sosial, Shohibul Anshor Siregar, pilihan respons Bobby Nasution tanpa disadari justru menohok dirinya sendiri. Eksistensi kritik dan penjelasan rasional atas sebuah langkah atau kebijakan menjadi hal yang lazim dalam iklim demokrasi dan aspek kepemimpinan saat ini.
Lalu, apakah intrik yang dialami Bobby itu menunjukkan bahwa dalam komparasinya sebagai newcomers, Gibran masih lebih baik?
Lain Medan, Lain Solo?
Adanya intrik di balik langkah pencopotan pejabat di Medan menguak komunikasi politik sebagai variabel pembeda antara Bobby Nasution dan Gibran Rakabuming Raka.
Dalam Communication Behavior in Political Life Ethnic, Katimin dan kawan-kawan menjabarkan mengenai bagaimana konstruksi bahasa serta budaya komunikasi politik yang ada di Indonesia. Komunikasi politik yang dimaksud sendiri dapat berupa tuturan, pemilihan bahasa, penggunaan gerak tubuh, gerak tubuh, ekspresi wajah, hingga postur saat seorang pemimpin berkomunikasi.
Baca Juga: Bobby Nasution Rasa Presiden
Sebagai basis komunikasi politik, Joseph A. DeVito dalam The Interpersonal Communication Book, menjelaskan bahwa bahasa sebagai pranata sosial dirancang, dimodifikasi, dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan atau subkultur budaya yang terus mengalami perubahan. Hal ini membuat satu budaya atau subkultur memiliki bahasa yang berbeda dengan budaya dan subkultur lainnya.
Gibran di Solo dan Bobby di Medan juga sesungguhnya tak sepenuhnya eksis di dua wilayah dengan karakteristik kultur yang sama. Begitupun dengan komunikasi politik yang mengiringi kepemimpinan keduanya.
Hal ini juga disinggung oleh dosen Ilmu Politik USU, Fredick Broven Ekayanta, yang menyebut reaksi “ceplas-ceplos” Bobby pasca pencopotan dan menimbulkan intrik dengan Romo Syafi’i, dinilai menunjukkan gaya khas anak Medan dengan kulturnya.
Berbeda dengan Gibran yang mungkin akan cukup sulit jika melakukan pendekatan, gestur, maupun komunikasi politik yang “keras” tanpa diiringi tata krama khas Jawa di Solo. Mungkin begitu pula bagi Bobby dengan kultur berbeda di Medan.
Kendati demikian, hal itu tetap tidak dapat serta merta mengesampingkan etika, kesantunan, dan proporsionalitas dalam berkomunikasi di ranah politik dan pemerintahan. Karena bagaimanapun, sikap kurang bijak dalam menanggapi kritikan justru akan memunculkan polemik berujung kerugian impresi bagi siapapun yang melakukannya.
Terlebih lagi, sebagai media darling yang setiap gerak geriknya akan terlihat dengan mudah di linimasa, agaknya potensi beragam penafsiran dari khalayak secara luas juga semestinya menjadi pertimbangan bagi komunikasi politik yang baik.
Kembali lagi, yang tak kalah penting selain komunikasi politik, ialah bagaimana pula kebijakan, langkah tegas, beserta dampaknya yang ditampilkan Bobby dan Gibran itu dapat terus konsisten implementasinya. Tidak hanya demi kemaslahatan masyarakat dan pemerintah di Kota Medan dan Kota Solo saja, tetapi juga bagi daerah lainnya. (J61)
Baca Juga: Siapkah Bobby Hadapi UAS?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.