Revisi aturan tinggi badan minimal taruna dan taruni Akademi TNI yang diinisiasi oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa disayangkan oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Padahal, Jenderal Andika justru membawa reformasi hakikat keadilan dalam rekrutmen serdadu selama ini.
Gebrakan mengenai aturan tinggi badan taruna Akademi TNI yang dilakukan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mendapat sorotan kurang baik. Bahkan, satu di antaranya datang dari Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.
Sebelumnya, Jenderal Andika Perkasa diketahui merevisi aturan dalam penerimaan calon Taruna-Taruni Akademi TNI tahun 2022. Itu setelah video Sidang Pemilihan Terpusat Integratif Penerimaan Taruna Taruni diunggah di YouTube-nya pada Senin, 26 September.
Revisi yang memantik polemik itu dilakukan pada aspek tinggi badan, yakni bagi taruna dari sebelumnya minimal 163 cm menjadi 160 cm, sementara taruni dari 157 menjadi 155 cm.
Jenderal Andika mengatakan perubahan itu dilakukan untuk mengakomodasi lebih luas para calon perwira abdi negara.
Rekrutmen taruna dan taruni Akademi TNI sendiri telah usai pada bulan Agustus kemarin. Sekali lagi, sayangnya, gebrakan Jenderal Andika mendapat respons kurang baik dari Megawati.
Momen ungkapan keprihatinan Megawati diketahui saat dirinya menjadi pembicara utama dalam Napak Tilas Ratu Kalinyamat Pahlawan Maritim Nusantara pada 11 Agustus lalu.
Megawati menceritakan pertanyaannya soal tinggi badan kepada Jenderal Andika yang ternyata telah turun dari standar sebelumnya.
Sosok yang juga Ketua Umum (Ketum) PDIP itu mempertanyakan kembali soal pertumbuhan generasi muda Indonesia. Megawati kemudian menceritakan pengalamannya saat masih menjabat sebagai RI-1 dan melakukan kunjungan ke Amerika Serikat (AS).
Dalam kisah Mega, meskipun tentu ada kecenderungan faktor genetik, dikatakan militer AS memiliki postur yang nyaris seluruhnya tinggi menjulang.
Dia kemudian mengandaikan apabila sang prajurit dengan standar tinggi badan minimal itu membawa senjata panjang maupun senjata berat, tentu akan mengalami kesulitan.
Di balik semua itu, satu pertanyaan sederhana mengemuka. Apakah revisi aturan mengenai tinggi badan taruna dan taruni Akademi TNI itu memang kurang tepat?
Andika “Raja Adil”?
Jenderal Andika agaknya memang memiliki pertimbangan yang cukup tepat jika dilihat dari prinsip keadilan dalam konteks revisi aturan tinggi badan calon taruna dan taruni.
“Saya sudah membuat revisi sedemikian rupa sehingga lebih mengakomodasi kondisi umum remaja Indonesia. Itu yang paling penting,” begitu papar Jenderal Andika.
Di titik ini, aspek keadilan kiranya memang yang ingin dicapai mantan Komandan Paspampres itu.
Secara filosofis, keadilan sendiri menjadi salah satu nilai esensial yang selalu dituntut peradaban manusia. Adagium Latin menyebutnya sebagai fiat justitia ruat caelum. Maknanya, hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh.
Hanan Parvez dalam Why Do People Want Justice? Menjelaskan keadilan adalah salah satu keinginan paling mendasar dalam diri manusia. Parvez menarik kesimpulan itu dari perjalanan evolusi manusia.
Dalam sejarah evolusi, manusia selalu berkelompok, bersosial, dan bekerja sama. Lalu muncul sebuah pertanyaan, yakni ihwal apa yang membuat manusia mampu melakukan aktivitas kooperatif seperti itu?
Menurut Parvez, jawabannya adalah keadilan. Manusia dapat bekerja sama dan patuh pada kelompok karena kelompok tersebut menghadirkan atau setidaknya menjanjikan keadilan.
Filsuf asal Amerika Serikat (AS) John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice, mengatakan keadilan adalah kebajikan utama yang dihadirkan oleh institusi-institusi sosial (social institutions).
Menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak mengesampingkan ataupun mengganggu rasa keadilan dari orang lain, sehingga rasa keadilan dapat dirasakan oleh siapapun, termasuk masyarakat lemah.
Dalam konteks itu, Rawls hendak menggambarkan keadilan bukan hanya tentang hak yang dimiliki oleh seorang individu, melainkan juga sebuah upaya yang diberikan kepada semua tingkatan kelas sosial yang hidup dalam masyarakat, termasuk masyarakat kecil atau masyarakat lemah.
Hal ini sebenarnya punya hubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, yang melihat keadilan seolah jauh dari masyarakat bawah.
Dalam konteks tinggi badan taruna, tinggi badan tentu bukan menggambarkan frasa kecil, lemah, atau bawah. Akan tetapi, lebih kepada upaya menghadirkan kesempatan lebih besar yang masih dalam koridor rekrutmen seorang prajurit.
Singkatnya, apa yang menjadi terobosan Jenderal Andika tampak cukup memenuhi konteks keadilan dari telaah Rawls.
Secara umum, kondisi sosio-ekonomi masyarakat Indonesia sendiri begitu beragam, terutama di daerah dengan akses tiga hal mendasar (sandang, pangan, papan) yang belum maksimal.
Oleh karena itu, pemenuhan nutrisi, plus faktor genetik, kiranya tidak serta merta bisa diukur dengan standar generalisir yang terlampau tinggi.
Dalam konteks rekrutmen TNI, penerapan standar memang hal yang mutlak untuk menghasilkan SDM yang prima.
Namun, Jenderal Andika agaknya mengambil jalan tengah ynag agaknya cukup bijaksana dengan menurunkan standar tinggi badan akan tetapi tetap dalam koridor standar minimal militer, khususnya di Asia Tenggara.
Standar tinggi badan pada rekrutmen akademi angkatan bersenjata Vietnam sebelumnya serupa dengan Indonesia sebelum direvisi oleh Jenderal Andika. Bahkan, untuk perempuannya, Vietnam hanya mematok tinggi badan 152 cm.
Sementara itu, akademi militer di Malaysia mensyaratkan 162 cm bagi laki-laki dan 157 cm bagi perempuan. Di Singapura, 158 cm adalah syarat minimum bagi calon serdadu, baik laki-laki maupun perempuan.
Di negara Gajah Putih, Thailand, bahkan laki-laki hanya dipatok minimal memiliki tinggi badan 155 cm dan perempuan 150 cm.
Memang, tinggi badan tidak selalu menjadi konteks utama dalam rekrutmen calon prajurit yang memiliki penilaian komprehensif lainnya. Apalagi, peruntukan seorang prajurit tidak harus selalu sebagai protokoler yang memang membutuhkan penampilan ideal.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) yang juga mantan Panglima TNI Moeldoko, juga memberikan support atas inisiasi Jenderal Andika. Menurutnya, tinggi badan tidak mutlak menjadi syarat kemampuan seorang prajurit.
Nantinya, dalam analisis Moeldoko, kebutuhan setiap kecabangan maupun kesatuan tentu akan menyesuaikan, sekali lagi, bukan hanya mengenai tinggi badan.
Lalu, mengapa kiranya Megawati memiliki penafsiran yang berbeda dan seolah tak sepakat dengan gebrakan aturan dari Jenderal Andika?
Karena Ekonomi-Politik Osteologis?
Meskipun respons Megawati tampak berbeda, namun kiranya putri kandung Presiden ke-1 RI itu memiliki relevansi tertentu dalam kaca mata ekonomi-politik.
Carles Boix dan Frances Rosenbluth dalam sebuah publikasi berjudul Bones of Contention: The Political Economy of Height Inequality memberikan analisis menarik terkait hubungan antara impresi ekonomi-politik dengan dinamika tinggi badan berbagai era peradaban manusia.
Menggunakan data ostelologis manusia atau human osteological data di berbagai belahan dunia, Boix dan Rosenbluth mengeksplorasi hubungan antara ketimpangan tinggi badan dan institusi ekonomi dan politik.
Mereka memberikan sejumlah data perbandingan silang hubungan antara tinggi rata-rata laki-laki dan perempuan dan dua variabel independen.
Variabel itu, yakni jenis ekonomi (diklasifikasikan ke dalam empat kategori pencarian makan sederhana, pencarian makanan kompleks, pertanian ekstensif, dan pertanian intensif) dan hierarki politik (diklasifikasikan sebagai tidak ada otoritas, otoritas berbasis klan, kepala suku, atau negara).
Transformasi ekonomi yang didorong oleh revolusi industri, misalnya, memiliki dua konsekuensi. Dalam jangka pendek, hal itu menyebabkan penurunan ketinggian rata-rata karena penduduk pedesaan pindah ke pusat kota yang padat dan tidak sehat.
Dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan per kapita dan perbaikan sanitasi publik menghasilkan kondisi gizi serta kesehatan yang lebih baik dan, pada akhirnya, meningkatkan tinggi badan dari potensi genetik.
Dengan kata lain, penurunan standar tinggi badan karena refleksi kondisi tubuh remaja saat ini dapat dikatakan meninggalkan impresi kurang baik secara ekonomi-politik.
Utamanya, saat bagaimana negara bisa saja dianggap belum berhasil meningkatkan variabel-variabel pendorong peningkatan tinggi badan rerata penduduk seperti pendapatan, pemerataan ekonomi, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya.
Sebagai ketua umum partai politik penguasa dan sosok yang pernah memimpin negeri ini, Megawati kiranya enggan terkena impresi tersebut.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa jika secara kontekstual rekrutmen TNI, apa yang diinisiasi oleh Jenderal Andika sah-sah saja. Namun, tidak demikian jika dilihat dari sudut pandang ekonomi-politik negara yang dikemukakan Megawati, khususnya dalam hal pencapaian politik dan pemerintahan.
Bagaimanapun, diharapkan polemik ini tidak berlarut dan dapat dijadikan refleksi bagi perbaikan kondisi gizi dan perekonomian secara menyeluruh di Indonesia, tanpa terkecuali. (J61)