Pembahasan mengenai perlu tidaknya presidential threshold (Pres-T) di DPR masih belum ada kesepakatan. Beberapa partai menyatakan bahwa ambang batas masih diperlukan, sementara yang lainnya berkeras untuk dihapuskan.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]embahasan Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) masih alot dan belum meraih titik temu, terutama keputusan mengenai Pres-T. Namun menurut pendapat seorang sumber, ambang batas yang menentukan bisa tidaknya sebuah partai politik (parpol) mengusung pasangan calon presiden (capres) atau wakil presiden (wapres) ini, hampir dipastikan akan tetap ada aturannya.
“Nanti ada parpol yang menginstruksikan fraksinya di DPR agar dukung Pres-T. Kalau sudah begitu, maka Pres-T untuk 2019, ya hampir pasti akan tetap ada,” katanya di Jakarta, Jumat (12/5). Sebelumnya, ada beberapa fraksi yang meminta agar ketentuan Pres-T itu dihapus agar setiap peserta pemilu dapat mengusung kandidat calon presidennya masing-masing.
Ketentuan ambang batas parpol untuk mengusung kandidat capres yang berlaku saat ini, adalah 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah parpol secara diketahui. “Tidak mungkin Pres-T dihapus. Itu bisa membuka celah orang membentuk partai hanya demi langsung dapat tiket maju pilpres,” kata sumber tersebut.
Namun, sumber tersebut juga mengakui bahwa ada juga fraksi yang menginginkan penurunan angka Pres-T. “Ya, ada juga yang minta diturunkan, misalnya menjadi 10 persen peroleh kursi DPR atau 15 persen perolehan suara sah secara nasional. “Kalau saya, optimistis tetap 20 persen dan 25 persen,” katanya.
Yusril Sebut Usulan “Presidential Threshold” 20-25 Persen Tak Relevan – https://t.co/BdkJXKHzB4 https://t.co/FZmXwkUw3f
— Yusril Ihza Mahendra (@Yusrilihza_Mhd) May 2, 2017
Seperti diketahui, penghapusan sistem ini di dukung oleh Partai Gerindra, PAN, Hanura dan Demokrat. Sedangkan empat partai, yakni Golkar, NasDem, PKS, dan PDI Perjuangan menilai usulan pres-T 20 persen kursi atau 25 persen suara perlu dipertahankan. Sementara PKB mengusulkan ambang batas diturunkan hingga 3 persen.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, perlu ada ambang batas mengusung calon presiden untuk memperkuat pemerintahan. Jika tidak, ia khawatir kekuatan parlemen yang menentang kebijakan pemerintah justru lebih besar. “Presidential threshold 25 persen suara dan 20 persen kursi menunjukkan dukungan ke presiden. Presiden harus didukung partai yang sudah teruji di pemilu sebelumnya,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (6/5).
Pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, menurutnya, Pemerintah setuju jika presidential threshold dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu sebesar 20-25 persen. Alasannya, proses pemilihan capres dan cawapres memerlukan dukungan riil sebagaimana pemilihan calon anggota legislatif. Dukungan riil tersebut terlihat dari jumlah suara yang diperoleh partai politik pada pemilu legislatif.
Parpol, lanjutnya, merupakan representasi suara rakyat Indonesia. Salah satu bentuk legitimasi sebuah parpol pun adalah pemilu. “Maka, kalau ada orang mau jadi presiden dengan aturan 0 persen, komitmen dalam meningkatkan kualitas demokrasi dalam pemilihan presiden yang merupakan rezim partai politik jadi tak menunjukkan bobot kualitasnya,” ujar Tjahjo.
Di sisi lain, anggota Pansus fraksi Demokrat, Fandi Utomo mengatakan, sistem Pres-T 20 persen berpotensi menyandera calon presiden di Pemilu 2019. Sebab, saat ini tidak ada satupun partai yang mempunyai kursi 20 persen di parlemen. Jikapun ingin mencapai angka 20 persen maka diperlukan koalisi yang loyal. “Kepada yang usulkan 20 persen saya anggap partai ini mau menyandera capres, karena tidak ada satupun partai kita yang punya kursi 20 persen di palremen,” ungkapnya, Jumat (12/5).
Pendapat ini disetujui oleh Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy yang mengatakan, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2019 dilakukan secara serentak, maka otomatis menghapuskan jumlah ambang batas pengajuan calon presiden. Menurutnya, jika Pres-T tetap diberlakukan, justru melanggar konstitusi. Sebab, ketentuan acuan Pres-T sebesar 20-25 persen tersebut berdasarkan Pemilu 2014.
Lukman mengakui, usulan penghapusan Pres-T memungkinkan jumlah capres lebih banyak, tapi bukan berarti setiap parpol peserta pemilu kemudian mengajukan masing-masing calon. “Menurut saya tidak seperti itu, konsolidasi tetap ada,” katanya. Penghapusan Pres-T itu dimaksudkan agar parpol diberikan kebebasan untuk mengajukan calon sendiri atau bergabung dengan partai lain. Hal ini, lanjut Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu, untuk menghindari tergerusnya suara dari partai kecil.
Tarik ulur keputusan Pres-T yang masih belum mencapai mufakat ini, merupakan salah satu penyebab molornya pembahasan RUU Pemilu. Sehingga agar RUU ini bisa selesai sesuai dengan waktu yang ditetapkan sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menyarankan agar Pansus dan pemerintah memilah-milah isu yang penting untuk didahulukan, sehingga penyelenggara Pemilu juga punya cukup waktu untuk mempersiapkan tahapan selanjutnya. (SP/Berbagai Sumber/R24)