HomeNalar PolitikTantang Prabowo Salat, Jokowi Terjebak?

Tantang Prabowo Salat, Jokowi Terjebak?

Prabowo Subianto ditantang memimpin salat oleh bekas pendukungnya sendiri.


Pinterpolitik.com

[dropcap]I[/dropcap]badah dan urusan keagamaan lainnya boleh jadi adalah hal yang sifatnya privat dan jarang dibawa ke ranah publik. Akan tetapi, akan beda urusannya jika hal tersebut menyangkut aktor politik Indonesia, terutama para capres yang akan maju di 2019. Semua hal akan dikuliti dari mereka, bahkan ke hal yang paling privat sekalipun seperti urusan ibadah.

Hal tersebut tergambar pada serangan yang ditujukan pada capres nomor urut 02, Prabowo Subianto. Salah seorang mantan pendukungnya yang telah berpindah kubu, La Nyalla Mattalitti, muncul dengan tantangan tidak lazim. Mantan Ketua Umum PSSI itu menantang Prabowo untuk memimpin salat dan membaca Alquran.

Sontak tantangan itu menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pendukung Jokowi di media sosial meminta Prabowo untuk menjalankan tantangan tersebut. Sementara itu, para pendukung Prabowo merasa perkara agama adalah hal yang privat dan tidak relevan dijadikan bahan perdebatan Pilpres.

Terlihat bahwa agama lagi-lagi masuk ke dalam ranah politik. Kali ini, kubu Jokowi tampak menjadi pihak yang membawa urusan privat tersebut ke perbincangan Pilpres 2019. Lalu, apakah strategi semacam ini bisa membuahkan hasil bagi mereka?

Isu Agama

Beberapa penulis di dalam dan luar negeri meramalkan bahwa Pilpres 2019 akan menjadi panggung tentang agama dan politik. Beberapa memang menyebut bahwa ekonomi akan menjadi isu penting, tetapi agama tetap akan menjadi salah satu bahasan utama.

Penulis-penulis mancanegara umumnya menyoroti peran Ma’ruf Amin di kubu Jokowi sebagai faktor pemicu isu agama akan tetap kentara di Pilpres 2019. Selain itu, mereka juga menyoroti dukungan GNPF Ulama sebagai faktor lain yang akan membawa agama kembali ke ranah politik.

Meski sudah diprediksi sebelumnya, sepertinya tidak ada pengamat yang meramalkan bahwa isu agama yang menjadi pembicaraan adalah soal ibadah salat. Apalagi, urusan ibadah tersebut saat ini digunakan untuk melemahkan citra salah satu kandidat, yaitu Prabowo.

Sebenarnya, serangan terhadap urusan privat Prabowo ini bukanlah yang satu-satunya terjadi. Pada tahun 2014, sebuah video tentang urusan ibadah Prabowo juga sempat beredar. Video itu diedarkan kembali di tahun ini seolah untuk melengkapi tantangan salat yang dilontarkan La Nyalla untuk Prabowo.

Wajar saja jika kubu Prabowo tampak geram dengan munculnya wacana tantangan salat tersebut. Nyaris semua pendukungnya  segera pasang badan bagi mantan Danjen Kopassus tersebut, bahkan dari golongan kelompok agama paling puritan sekalipun.

Partai Islam seperti PKS maupun kelompok seperti GNPF Ulama sama-sama enggan membawa urusan ibadah ke dalam politik. Padahal, pada kondisi yang normal, kedua pihak ini dapat dikategorikan sebagai pendukung bertemunya agama dan politik di Indonesia.

Baca juga :  Banteng Terbelah Tiga, Pramono di Mana?

Cawapres Prabowo, Sandiaga Uno, juga terlihat tidak nyaman saat isu ini dialamatkan kepada kubunya. Baginya, isu yang lebih relevan adalah isu ekonomi, sehingga ia enggan untuk mengomentari tantangan salat yang dilontarkan oleh La Nyalla.

Jebakan Politik Agama

Bahasan soal politik identitas terutama agama memang kerap menjadi hal yang paling mudah untuk dieksploitasi. Dalam beberapa kesempatan, para politisi kerap kali menggunakan cara ini untuk menyerang lawannya. Meski demikian, dalam politik, langkah ini sering kali membuat pelakunya menjadi terjebak dalam urusan agama tersebut.

Istilah religious trap atau jebakan agama misalnya dikemukakan oleh Carl Mosk. Meski tidak secara spesifik  membahas jebakan agama dalam konteks politik elektoral, Mosk menggambarkan bahwa banyak pihak yang terjebak dalam isu ini, sehingga tidak fokus pada isu sesungguhnya, katakanlah seperti kemajuan ekonomi. Mosk bahkan menggambarkan bahwa religious trap yang ekstrem justru menyebabkan angka korupsi yang tinggi.

Penulis lain seperti aktivis Linda Burnham dalam artikelnya di The Guardian juga menggambarkan bahwa perkara politik identitas seperti ini bisa menjadi jebakan. Ia bahkan mengingatkan kaum progresif agar tidak tejebak pada  jebakan politik identitas yang biasanya dibawa oleh kelompok konservatif.

Burnham menyebut bahwa masuk dengan suka rela pada jebakan yang disiapkan oleh lawan bukanlah ide yang bagus. Mengadopsi politik identitas yang  merupakan bahasa kaum kanan sama saja dengan melemahkan pertahanan dan membiarkan mereka ke dalam wilayah kaum progresif. Padahal, tidak ada yang lebih lihai memainkan isu ini ketimbang kelompok konservatif itu sendiri.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, dalam kadar tertentu, terlalu fokus  pada urusan identitas privat seperti agama bisa saja menjebak. Dalam kasus Jokowi dan tim pemenangannya, serangan melalui tantangan salat juga bisa saja tidak sesuai dengan gambaran mereka selama ini.

Pada tahun 2014, Jokowi dianggap sebagai wajah dari kaum yang lebih progresif dan reformis. Tidak hanya itu, tim pemenangannya saat ini juga dianggap lebih progresif jika dibandingkan dengan Prabowo yang berisi golongan Islam konservatif.

Jika Jokowi dan tim pemenangannya berkutat di isu politik identitas privat seperti tantangan salat, maka merujuk pada Burnham, mereka telah masuk dalam perangkap yang disiapkan oleh kelompok konservatif yang selama ini menyerang mereka. Saat masuk perangkap tersebut, sebagaimana sudah disebut sebelumnya, tidak ada yang lebih lihai memainkan isu ini selain kubu konservatif tersebut.

Pada titik ini, Jokowi yang dicitrakan lebih progresif akan semakin terjerat jebakan politik identitas dan agama.

Belum Tentu Sukses

Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, tantangan salat yang dilontarkan oleh La Nyalla dan kamp pemenangan Jokowi boleh jadi masih belum teruji  kesuksesannya. Alih-alih membuahkan hasil, langkah tersebut boleh jadi bisa membuat mereka terjebak dalam  isu agama yang tidak sepenuhnya relevan pada hasil akhir Pilpres  2019.

Jika diteruskan, langkah tim Jokowi ini bisa saja  mengulang kesalahan yang dilakukan oleh Hillary Clinton dan tim pemenangannya saat menghadapi Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016. Menurut Robby Mook, seorang ahli strategi politik asal AS, Clinton dan Demokrat saat itu masih melakukan jargon usang dalam kampanye, yaitu saat lawan membuat kesalahan, maka perlu dilakukan serangan secara habis-habisan.

Serangan habis-habisan ini disebut Mook sebagai salah satu penyebab kekalahan Clinton dari Trump. Clinton dan pendukungnya kehilangan fokus karena teralih pada isu yang sifatnya personal. Padahal, mereka seharusnya fokus pada isu di mana Trump paling lemah. Pada titik, ini Clinton terjerat di dalam Trump trap atau jebakan Trump.

Fokus pada isu personal ini membuat pembicaraan Clinton yang lain tidak diingat oleh masyarakat. Orang mengira bahwa Clinton tidak pernah berbicara tentang ekonomi, padahal sebenarnya ia membicarakannya. Semuanya  hilang terserap jebakan Trump.

Jika diperhatikan, serangan habis-habisan serupa juga tengah dilakukan oleh kubu Jokowi terhadap Prabowo. Pada konteks ini, cara kampanye usang tengah dilakukan oleh kubu Jokowi dengan menyerang habis-habisan isu personal Prabowo.

Merujuk pada kondisi yang dialami Clinton, fokus pendukung Jokowi bisa saja teralih karena fokus  pada isu privat Prabowo yang kemudian dibesar-besarkan. Padahal, kondisi itu bisa menjebak mereka dan teralih fokusnya pada isu lain yang sebetulnya lebih substansial.

Serangan all out kepada Prabowo  dalam perkara salat ini juga bisa saja hanya  akan menghabiskan waktu dan tenaga kubu Jokowi. Hal ini terkait dengan asosiasi yang kuat antara Prabowo dengan pemilih Muslim.

Hal ini diungkapkan misalnya oleh Direktur Eksekutif Populi Center, Usep M Ahyar. Menurut survei yang dilakukan lembaganya di beberapa daerah, figur Prabowo kerap dianggap sebagai kontestan yang paling religius, bahkan jika dibandingkan dengan Ma’ruf Amin sekalipun.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa serangan melalui tantangan salat dari kubu Jokowi boleh jadi tidak akan memberi hasil maksimal. Alih-alih bisa menggaet suara lawan, serangan ini bisa saja membuat mereka terjebak karena masuk ke dalam permainan kesukaan lawan. Pada titik ini, idealnya kubu pendukung Jokowi bisa memilih isu yang lebih tepat dan berdampak besar bagi Jokowi. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...