Di tengah berbagai terpaan kasus korupsi yang menimpa kadernya, Golkar diyakini akan tetap bertahan menjadi partai papan atas. Apa faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut?
Pohon beringin dapat memberikan keteduhan bagi siapa pun yang berlindung di bawahnya. Karakternya yang besar dan kokoh dengan daun yang rimbun membuat pohon ini bisa memberikan kenyamanan.
Namun, bagaimana jika pohon yang besar ini terkena badai? Siapa pun yang tengah berlindung tentu akan terganggu akibat kondisi tersebut. Namun, meski beberapa daun dan ranting mungkin akan berjatuhan, diyakini beringin akan tetap berdiri kokoh.
Mungkin, seperti itulah gambaran bagaimana peran Partai Golkar. Dalam beberapa tahun belakangan partai berlambang pohon beringin ini nyaris selalu diterpa badai berupa kasus korupsi yang menimpa kadernya. Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2019 lalu, misalnya, tak tanggung-tanggung badai korupsi menimpa Setya Novanto dan Idrus Marham yang notabene merupakan orang nomor satu dan nomor dua di partai itu.
Terbaru, hanya dalam rentang satu bulan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dua kader Partai Golkar sekaligus, yaitu Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dan Anggota Komisi VII DPR Alex Noerdin.
Baca Juga: Revival Golkar, Partai Penguasa di 2024?
Berbagai pihak menganalisis bahwa eksistensi dan suara partai berlambang beringin tersebut akan anjlok usai diterpa berbagai badai korupsi. Namun, nyatanya, pada pemilu 2019, Golkar tetap berdiri kokoh dengan menjadi partai yang meraih kursi terbanyak kedua di DPR – bahkan mengalahkan Gerindra yang dianggap mendapat coattail effect langsung dari kadernya di Pemilihan Presiden (Pilpres).
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, memaparkan bahwa kasus korupsi yang bergantian menimpa kader Golkar termasuk yang terbaru saat ini tak akan terlalu banyak berpengaruh terhadap popularitas dan elektabilitas Golkar. Lebih lanjut, Ujang menyatakan bahwa Golkar tetap akan menjadi partai papan atas di setiap pemilu.
Lantas, jika benar demikian, mengapa Partai Golkar dianggap mampu bertahan di tengah terpaan badai korupsi? Apa faktor-faktor yang menyebabkan pohon beringin Golkar tetap kokoh?
Golkar, Catch-all Party?
Perjalanan politik Partai Golkar memang diwarnai pasang surut. Pasca-Reformasi 1998, Golkar bertransformasi dari hegemonic party – demikian istilah yang digunakan oleh Leo Suryadinata dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) – menjadi partai besar yang tidak lagi menjadi penguasa utama. Akan tetapi, keberadaannya selalu ada di jajaran partai papan atas. Setidaknya, dalam dua dekade terakhir, posisi partai berlambang beringin ini selalu ada di tiga besar peraih suara terbanyak.
Golkar juga menjadi partai yang tidak lagi punya pusat kekuasaan – katakanlah seperti dulu di bawah Soeharto. Di era Orde Baru, Golkar memang menjadi alat kekuasaan Soeharto. Lihat saja hasil Pemilu sejak tahun 1977 – ketika partai ini meraih 62 persen suara.
Namun, Golkar yang sekarang tak lagi punya pusat kekuasaan. Partai berlambang pohon beringin ini menjadi partai dengan banyak tokoh. Bahkan, bisa dibilang hal ini menjadi keunikan tersendiri – mengingat mayoritas parpol-parpol lain justru hanya punya satu atau dua tokoh sentral dalam partai.
PDIP, misalnya, memiliki Megawati Soekarnoputri sebagai tokoh sentralnya. Partai Demokrat memiliki sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Sementara, di Golkar, ada kubu Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Luhut Binsar Pandjaitan, dan lain-lain. Intinya, banyak corong dan kepentingan yang masing-masing diperjuangkan para tokoh tersebut.
Jika dianalogikan sebagai sebuah perusahaan, misalnya, Partai Golkar dianggap sebagai sebuah perusahaan yang memiliki banyak pemilik atau banyak pemegang saham. Secara ilmu bisnis, sebuah perusahaan yang memiliki banyak shareholder diyakini akan lebih kuat dibanding perusahaan yang hanya bergantung pada satu pemilik demikian pula juga yang dianggap terjadi dalam tubuh parpol.
Kondisi seperti ini dianggap menguntungkan Golkar. Adanya banyak tokoh memungkinkan orang yang menjadi pemimpin partai adalah sosok yang benar-benar punya kemampuan politik yang andal.
Baca Juga: Scientific-Base Party ala Golkar
Setidaknya, hal ini yang diungkap Akbar Tandjung dalam buku The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik yang menyebut Golkar sebagai catch-all party atau partai yang fleksibel untuk bersinergi plus menarik massa dari berbagai karakteristik, latar belakang, dan ideologi.
Lebih lanjut Akbar menyebut kunci keberhasilan Partai Golkar mampu beradaptasi dengan berbagai turbulensi politik adalah karena, sejak awal, partai ini memosisikan diri sebagai kekuatan politik yang terbuka (catch-all party) dan tidak menganut ideologi politik yang ekstrem – baik kiri maupun kanan.
Sikap politik terbuka yang dimaksud adalah kepemimpinan di partai yang tidak tersentralisasi dan merangkul sebanyak mungkin kelompok sosial untuk kepentingan Pemilu. Sikap politik yang moderat dan terbuka tersebut memudahkan partai ini untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi politik.
Faktor tersebut dianggap menjadi faktor utama yang menyebabkan partai ini bertahan di tengah berbagai dinamika situasi politik yang terjadi. Implikasinya adalah bila situasi tersebut dialami oleh partai politik yang menganut paham ideologi sektarian serta tertutup (eksklusif) maka tak mudah bagi partai tersebut untuk bertahan di tengah badai politik.
Partai Demokrat, misalnya, yang dianggap sebagai partai yang tertutup dan hanya memiliki sedikit tokoh sentral dalam partai tidak kuasa membendung badai kasus korupsi yang menggoyang partai ini pada 2013. Saat itu, Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum dan beberapa petinggi partai lain tersangkut kasus korupsi dan ditangkap KPK. Alhasil, suara partai berlambang Mercedes ini turun drastis dari yang semula mendapatkan 26,4% menjadi hanya 10,19% suara di tingkat nasional.
Faksionalisasi Jadi Kekuatan?
Salah satu imbas dari partai yang menganut tipologi catch-all party seperti Golkar adalah munculnya berbagai macam faksi atau kelompok di internal partai tersebut. Raphael Zariski dalam Party Factions and Comparative Politics: Some Preliminary Observations mendefinisikan faksi secara lebih spesifik sebagai kelompok intra-partai – di mana anggotanya memiliki identitas dan tujuan yang sama serta bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut.
Golkar sendiri diketahui merupakan salah satu partai yang mempunyai faksionalisasi internal yang kuat. Ihwal adanya grup-grup besar di Golkar ini juga disebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka musyawarah nasional luar biasa Golkar pada 18 Desember 2017 silam. Dia menyebut sejumlah grup besar seperti grup Jusuf Kalla (JK), Aburizal Bakrie, Luhut Binsar Panjaitan, Akbar Tandjung, maupun Agung Laksono.
Terkait hal ini, diketahui saat ini terdapat tiga faksi besar di Golkar. Pertama, terdapat faksi Hijau Islam. Kelompok ini dianggap mewadahi kelompok ideologis Islam dalam tubuh partai. Beberapa eks-aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berada d isini. Faksi ini dipimpin oleh eks Aktivis HMI seperti Akbar Tandjung dan JK.
Faksi kedua adalah faksi Hijau Militer. Kelompok ini dianggap mewadahi kelompok militer di tubuh partai. Seperti yang disampaikan Leo Suryadinata dalam Golkar dan Militer, kelompok militer merupakan faksi terkuat Golkar sejak berdiri hingga masa akhir reformasi.
Baca Juga: Azis Syamsuddin The Next Setnov?
Faksi ketiga adalah faksi pengusaha. Kelompok ini dianggap mewadahi kelompok pengusaha di tubuh partai. Beberapa tokoh faksi ini di antaranya adalah Aburizal Bakrie.
Lebih lanjut, ketiga faksi tersebut memang berkompetisi keras dalam suatu hal, misalnya saat Musyawarah Nasional (Munas) pemilihan ketua umum. Namun, setelah kontestasi selesai, kelompok-kelompok tersebut dinilai kembali bersatu untuk kepentingan partai.
Merujuk pada tipologi faksionalisasi menurut Francoise Boucek, faksionalisasi yang terjadi dalam tubuh Golkar merupakan jenis faksionalisasi kompetitif. Faksionalisasi ini umumnya akan berujung pada fragmentasi partai tetapi, di sisi lain, pandangan yang berbeda antar-faksi juga dapat berakhir positif – di mana banyak faksi bekerja sama untuk membangun partai.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Dirk Tomsa dalam Party Politics and Democratization in Indonesia yang menangkap bahwa meski Golkar banyak mengalami faksionalisasi internal dan juga pertentangan dengan pengurus-pengurus di tingkat daerah tetapi, di satu sisi, ini justru membuat Golkar memiliki organisasi yang sangat kuat.
Ini juga diakui langsung oleh mantan ketua umum Partai Golkar, Jusuf Kalla (JK). JK mengatakan adanya kelompok atau grup-grup tersebut di Partai Golkar adalah hal yang wajar terjadi. Namun, adanya kelompok tersebut tidak berarti internal Golkar selalu saling berseteru bahkan dalam beberapa aspek kelompok ini justru saling mengkover satu sama lain.
Seiring berjalannya waktu faksi-faksi yang ada justru semakin dinamis. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan beberapa tokoh yang bisa mewakili irisan berbagai fraksi.
JK, misalnya, di satu sisi, dia adalah pemimpin utama faksi ideologis Islam di Golkar tetapi latar belakangnya yang merupakan pengusaha dianggap juga bisa mewakili kelompok pengusaha. Hal yang sama juga terjadi di beberapa tokoh militer yang beririsan dengan kelompok pengusaha seperti Luhut Binsar Pandjaitan.
Pada akhirnya, transformasi yang dilakukan Partai Golkar menjadi partai terbuka (catch-all party) dianggap telah berhasil menjadi kunci kesuksesan partai untuk beradaptasi dengan berbagai turbulensi politik yang terjadi seperti saat menghadapi persoalan korupsi saat ini.
Di satu sisi, keberadaan faksi-faksi internal yang sangat dinamis dinilai berhasil meminimalisir efek dari friksi-friksi internal yang terjadi justru keberadaannya dianggap membuat Golkar memiliki organisasi yang kuat. Selanjutnya, menarik memang untuk melihat berbagai dinamika dan kiprah partai Golkar dalam pemilu 2024 nanti. (A72)
Baca Juga: Azis Syamsuddin Akhirnya Ketemu Setnov?