Walau mendapat penolakan PBB terkait pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel, ancaman Presiden Trump untuk memutus bantuan ekonominya ke beberapa negara masih bergema. Apa dampaknya bagi Indonesia?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]eorang penulis kolom Vox Populi di harian Rakyat Merdeka, Jumat (22/12/2017) menyebut Donald Trump adalah seorang yang psikopat, sombong, dan sok kuasa. Jika bukan kebencian yang sudah kepalang, entah apa lagi namanya. Namun sebagai seorang sipil, emosinya tentu sangat mudah berelasi dengan dukungan sebagian besar pejabat politik negeri.
Pernyataan ‘asbun’ Trump yang menyebut Yerusalem sebagai ibukota Israel, sudah mengundang kecaman dan meletupkan kembali pertikaian di Gaza. Di Indonesia, gerakan Bela Palestina digaungkan di Monas, Minggu (17/12), dan dihadiri berbagai elemen pejabat politik maupun agama, serta masyarakat luas. Intinya, Indonesia sangat lantang, solid, dan vokal dalam menyerukan kecaman kepada Trump.
Belum reda, Trump mengeluarkan pernyataan menghebohkan lainnya. Bahkan bukan lagi pernyataan, namun ancaman. Pria berusia 71 tahun ini menggadang-gadang akan memutus bantuan ekonomi Amerika Serikat kepada negara-negara yang berseberangan dengan pernyatannya soal Yerusalem dan Israel.
Haruskah Indonesia ikut khawatir? Hubungan ekonomi Indonesia dengan Amerika memang baik selama ini. Tapi bagaimana jika ancamannya menjadi nyata, karena Indonesia yang seperti sebagian besar negara lainnya, tak menyetujui pernyataan Trump.
Meneropong Bantuan Amerika
Saat Trump mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi kepada negara-negara yang menentang keputusannya, hal ini tentu tak sama maknanya dengan memboikot produk dan barang-barang Amerika yang berada di pasar Indonesia. Jika demikian adanya, Trump sudah sangat fatal mencelakakan negaranya sendiri. Namun menghentikan atau mengurangi bantuannya ke negara-negara pro Palestina, tentu memiliki dampak ekonomi tersendiri bagi Indonesia.
Bantuan ekonomi Amerika di Indonesia bisa dilihat dari seberapa banyak investasi yan ditanam dan hutang yang dipinjamkan Amerika kepada Indonesia. Jika menilik data-data dari Katadata, besaran investasi Amerika kepada Indonesia adalah sebesar Rp. 15, 5 triliun di tahun 2016. Amerika berada di peringkat keenam setelah Singapura, Jepang, Tiongkok, Hong Kong, dan Belanda.
Investasi Amerika, selain di bidang minyak dan gas, memang masih rendah. Menteri Perindustrian Indonesia, Airlangga Hartarto, pernah menyatakan jika Migas masih jadi prioritas utama dalam kerjasama yang dibangun antara perindustrian Indonesia dengan Amerika Serikat. Ia menambahkan jika ekspor adalah hal terpenting yang harus selalu terjaga stabilitasnya.
“Kalau ekspor ke Amerika Serikat, kami harap tidak terganggu. Karena dalam ekspor itu kita memberi perlakuan positif. Namun, kami juga mendorong agar apa yang diproduksi di Indonesia, tidak diproduksi di Amerika Serikat, dalam artian complementary,” ucap Airlangga.
Ekspor yang dilakukan Indonesia ke Amerika memang tak sedikit dan tak kecil. Dari sini, Indonesia mengirimkan produk tekstil, seperti sepatu, lalu barang elektronik, karet, sawit, hasil hutan berupa olahan kayu, hingga udang. Sementara Amerika mengirimkan gandum dan kacang kedelai dari tahun ke tahun. Jika diamati, keberadaan barang ekspor Indonesia ke Amerika jauh lebih ‘mendesak’ bila dibandingkan dengan Amerika.
Mengapa demikian? Sebab, sebenarnya, produksi kacang kedelai Indonesia adalah yang tertinggi se-Asia Tenggara dengan total produksi sebesar 1, 66 ton. Jawa Timur adalah pusat produsennya. Indonesia masih bisa mengatasi produksi kacang kedelai jika Amerika menutup impornya ke Indonesia.
Sedangkan impor gandum yang sudah berlangsung selama lima dekade terakhir, sangat berpotensi pula untuk digantikan oleh umbi-umbian seperti singkong. Hal ini pernah diutarakan oleh peneliti dari Universitas Brawijaya, Fajrin Hal Lala. Gandum memang bukanlah tanaman asli Indonesia, sebab ia memerlukan lingkungan subtropis untuk tumbuh.
Untuk urusan ekspor-impor, Amerika Serikat juga tak menjadi primadona bagi Indonesia. Negara yang menempati posisi tersebut adalah Tiongkok, dengan total nilai mencapai 12 miliar dolar Amerika pada April 2017 lalu. Di tempat kedua baru ada Amerika Serikat dengan total 3 miliar dolar Amerika.
Soal bantuan sosial dan budaya Amerika, terekam dalam progam Empowering Access to Justice (MAJU) melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Tak tanggung-tanggung, Amerika Serikat menggelontorkan dana sebesar 8,4 juta dolar Amerika Serikat kepada Indonesia. Harapan mereka, keadilan sosial dan hak-hak warga negara, terutama masyarakat miskin dan rentan, bisa lebih maju dan terlindungi.
Bagaimana dengan besaran hutang yang diberikan Amerika kepada Indonesia? Ternyata sama halnya dengan bantuan yang lain, Amerika bukan menjadi tokoh penyalur dana hutang kepada Indonesia. Bank Dunia (World Bank) adalah lembaga yang paling banyak menggelontorkan hutang bagi Indonesia.
Walau Amerika Serikat ikut mengatur laju putaran uang dalam World Bank, besaran dana yang dikeluarkan masih sangat jauh dengan Jepang, Prancis, dan juga Jerman. Amerika Serikat membantu Indonesia dengan menggelontorkan dana sebesar Rp. 8,26 triliun. Sementara Jepang mencapai Rp. 196, 98 triliun.
Jika menilik bantuan ekonomi Amerika Serikat kepada Indonesia, sepertinya pernyataan dari pengamat ekonomi dari The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, seakan menjadi masuk akal. Bhima berkata, jika bantuan Amerika dihapus ke Indonesia, hal tersebut tak akan terlalu berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia. “Ekonomi kita masih akan terus berjalan, sebab kita tak bergantung sepenuhnya pada Amerika” tambahnya.
Di segi militer, keberadaan pesawat tempur F-16 buatan Amerika memang sangat vital artinya bagi Indonesia. Namun, setelah sempat di embargo AS pada 1995 hingga 2005, Indonesia kita juga sudah tidak bergantung lagi pada kekuatan skuadron F-16. Di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Indonesia telah memiliki kekuatan skuadron pesawat tempur lain, yaitu pesawat Sukhoi buatan Rusia.
Dengan demikian, pernyataan Trump terasa salah kaprah jika dihadapkan dengan Indonesia. Nah, bagaimana jika menilik keberadaan Freeport?
Apa Kabar dengan Freeport?
Bukan rahasia lagi kalau tanah Papua sudah menyumbang banyak keuntungan bagi Freeport. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menekan kontrak di Indonesia, tepatnya pada 7 April 1967. Ini pula warisan Soeharto yang paling nyata terlihat. Berkat Soeharto, Amerika juga ikut menambang untung tak terhingga dari Freeport.
Jika Freeport yang tiap tahunnya mampu meraup pendapatan hingga mencapai 3 miliar dollar, menutup perusahaannya terkait ancaman yang dilontarkan Trump, itu akan berimbas pada nilai penerimaan Provinsi Papua, selain juga menghadapi PHK massal.
Menurut data Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Papua, jenis penerimaan dari sistem manajemen tailing ala Freeport ini pada tahun 2013 mencapai Rp35,17 miliar, naik pada tahun berikutnya menjadi Rp36,50 miliar, dan pada tahun 2015 menjadi Rp41,09 miliar.
Artinya, jika operasi pertambangan Freeport Indonesia berhenti, maka potensi pendapatan dari sistem manajemen tailing yang selama ini didapatkan Provinsi Papua juga ikut terancam.
Namun demikian, penutupan tambang Freeport Indonesia di Papua tidak akan terlalu berpengaruh terhadap pasokan tembaga dunia. Hal ini dapat dilihat dari data yang dilansir U.S. Geological Survey dalam “Mineral Commodity Summaries 2016.” Berdasarkan data tersebut, total produksi tembaga dunia pada 2015 mencapai 18,7 juta metrik ton.
Indonesia sebagai negara tempat produksi Freeport Indonesia juga tidak termasuk dalam sepuluh besar negara penghasil produksi emas. Indonesia hanya menyumbang sekitar 75 ribu metrik ton emas pada tahun 2015. Artinya, penutupan Freeport Indonesia di Papua tidak akan berpengaruh signifikan terhadap produksi tembaga dan emas dunia.
Dengan demikian, sebagai negara yang tak bergantung pada Amerika, Indonesia memang masih berjalan dengan skema ekonominya sendiri. Tapi tentu ada turbulensi yang terjadi akibat ancaman sembrono Trump tersebut. (Berbagai Sumber/A27)