Mengawali tahun 2018, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno selaku pemerintah DKI Jakarta membentuk KPK-nya sendiri, bernama Komite PK. Seberapa efektif dan bisa dipercaya sih lembaga ini?
PinterPolitik.com
Kalau tidak heboh, bukan Netizen namanya. Tapi kehebohan terkait Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang dibentuk oleh Gubernur DKI Jakarta ini, layak dibahas. Mengapa? Sebab Anies mendirikan ‘lembaga’ baru lagi di dalamnya. Lembaga baru tersebut bernama Komite Pencegahan Korupsi (Komite PK).
Sayangnya, baru diperkenalkan, komite ini mendapat sorotan tajam sebab dinilai punya tugas dan fungsi yang tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada sebelumnya. Komite PK alias KPK buatan Anies dan Sandi ini, punya tujuan untuk meminimalisir praktik korupsi yang dilakukan oleh aparatur sipil atau PNS yang bekerja di Pemerintahan DKI Jakarta. Setidaknya, itu yang disampaikan oleh Ketua Progres 98, Faizal Assegaf.
Faizal melanjutkan dengan mantap, jika Komite PK ke depannya juga bisa mengungkap aneka skandal korupsi Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah (APBD) di era Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Djarot Saiful. “Siapa bilang di masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya tak ada masalah korupsi dan skandal keuangan? Ada, tapi hal tersebut gugur karena bukti pidananya gugur,” ungkap Faizal.
Dengan Komite PK ini, Faizal berharap dapat membawa aktor utama yang diduga terlibat skandal korupsi ini ke jalur hukum. Kasus yang mendapat sorotan utama dari lembaga ini adalah skandal Sumber Waras dan pembelian lahan di Cengkareng Barat di masa pemerintahan Ahok.
Pernyataan Faizal boleh meyakinkan, tapi isinya berseberangan dengan Anies selaku pihak pencetusnya. Di kesempatan berbeda, Anies malah berkata jika Komite PK tidak akan membawa pelaku (korupsi) ke jalur hukum, sekalipun itu melibatkan PNS yang berada di bawah pemerintahannya.
Lantas, mengapa hanya mengeksklusifkan suatu skandal dari pemerintahan pejabat tertentu saja? Apa sebetulnya tujuan dan fungsi Komite PK ala Anies ini? Rentetan pertanyaan ini belum pula diikuti dengan perbedaan yang dimiliki oleh KPK yang berada langsung di bawah Presiden.
Tumpang Tindih Komite PK
Suara sumbang yang menyambut pendirian Komite PK, datang dari beberapa praktisi dan ahli. Salah satunya dari Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi. Ia berkata bahwa tugas yang diemban oleh tim Komite PK buatan Anies dan Sandi, sebetulnya sudah menjadi wewenang dan tugas pokok Inspektorat dan KPK tingkat provinsi. “Tugas Komite PK Jakarta ini, sebetulnya bisa dikerjakan oleh Inspektorat Jakarta,” ucapnya.
Lembaga Inspektorat Provinsi memang memiliki tugas yang meliputi pengawasan regular terhadap kegiatan pelayanan masyarakat, pengelolaan pemanfaatan keuangan dan aset daerah, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, serta pengelolaan pendapatan daerah. Hal ini tercatat dalam Instruksi Presiden RI No. 5 Tahun 2004.
Namun begitu, kegagalan lembaga Inspektorat dalam menjalankan tugasnya sesuai Inpres, perlu pula diakui. Kemandulan Inspektorat mengawasi pengelolaan aset daerah, seperti yang pernah dikatakan Jusuf Kalla, berkontribusi melahirkan banyak korupsi. Malah, tak menutup kemungkinan bila Inspektorat ikut menjadi ‘aktor’ dan sengaja menutup mata atas korupsi yang dilakukan oleh instansi atau pimpinannya.
Berdasarkan penelusuran KPK, 80 persen korupsi yang terjadi di daerah, termasuk DKI Jakarta, pengadaan barang dan jasa memang menjadi lahan yang paling basah untuk dikorupsi. Bahkan jika sistem diubah menjadi elektronik pun, itu tetap tidak mampu mengurangi praktik korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa.
“Hampir setiap pengadaan barang dan jasa itu sekarang sudah melalui e-procurement dan mungkin lebih dari 80 persen, saya yakin perkara korupsi di daerah itu menyangkut pengadaan barang dan jasa, semuanya lewat e-procurement. Sistem sebagus apapun tetapi kalau ada kolusi, pasti akan terjadi juga,” jelas Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK beberapa waktu lalu.
Di DKI Jakarta sendiri, pencatatan perizinan pembangunan mall, apartemen, dan lahan adalah beberapa contoh yang paling sering memainkan laporan anggaran. Sudah begitu, Pemerintah DKI Jakarta memang paling banyak mengeluarkan anggaran untuk pengadaan barang dan jasa dibandingkan dengan sektor lain, yakni melebihi 50 persen dari dana yang digelontorkan. Bayangkan, betapa banyaknya pundi-pundi uang yang masuk ke kantong pribadi koruptor dari dana yang diselewengkan ini.
Namun tetap saja, ketidakbecusan Inspektorat Daerah melakukan pengawasan sesuai dengan tugasnya, tidak bisa dibereskan hanya dengan membentuk Komite PK seperti yang dilakukan Anies. Apa yang bisa menjamin Komite PK akan bekerja dengan obyektif dan independen dalam menangani korupsi di dalam pemerintahan DKI Jakarta?
Pertanyaan ini juga seakan makin menemukan kerumitan saat Kepala Inspektorat DKI Jakarta, Zainal, tak merasa keberatan sama sekali dengan keberadaan Komite PK yang menjadi ‘tandingan’ lembaganya. Sebaliknya, ia sangat mendukung keberadaan Komite PK. Zainal menyebut tak akan terjadi tumpang tindih dalam perjalanannya, sebab Komite PK dan Inspektorat punya ranah yang berbeda.
“Kalau di kita ada di dalam supervisi, pengawasan dan ketentuan yang berlaku. Nah, kalau di percepatan (Komite PK) kan hanya membantu mempercepat program Gubernur. Kalau tim Gubernur ya tim Gubernur. Beda,” jelas Zainal.
Tetap saja, Zainal tak bisa menjelaskan secara rinci di mana letak perbedaan dalam hal kerja serta independensi lembaganya. Jika pihak Inspektorat, yang seharusnya was-was bahkan malu karena pembentukan Komite PK mengisyaratkan kegagalan lembaganya, lantas apakah keduanya akan bahu membahu melindungi praktik korupsi di tubuh pemerintahan DKI Jakarta?
Jika Komite PK melakukan tugas yang menjadi porsi Inspektorat, lantas apa yang pekerjaan yang tersisa bagi inspektorat?
Komite PK, Balas Budi Anies?
Lain porsi dan tugas pokok, lain pula orang-orang yang berada di dalam Komite PK. Proses perekrutan Anies memilih orang-orang yang berada di dalam tim Komite PK juga menuai pertanyaan. Bagaimana tidak, kualifikasi yang dibutuhkan tidak pernah disebutkan oleh Anies sebelumnya.
Anies sudah hadir dengan orang-orang yang dipilihnya. Mereka antara lain mantan Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Nursyahbani Katjasungkana aktivis LSM HAM, mantan Wakapolri Komjen Pol (purn) Oegroseno, Peneliti dan Ahli Tata Pemerintahan Tatak Ulijati, serta mantan Ketua TGUPP, Muhammad Yusuf.
Yang menarik, dari kelima petinggi komite PK ini, sebagian besar memiliki rekam jejak yang sangat baik dengan Anies. Bahkan jauh sebelum Anies menduduki kursi nomor satu di DKI Jakarta.
Contohnya, Bambang Widjojanto. Nama yang sudah cukup populer ini tercatat menjadi salah satu anggota dari tim inti pemenangan Anies – Sandi pada Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Tak hanya itu, bahkan jauh sebelumnya, di tahun 2016, BW, sapaan khas Bambang Widjojanto, pernah mengkritisi jika ada indikasi koruptif di Pemprov DKI Jakarta.
Hal ini dilihatnya dari data yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) per Mei 2016. Mengingat konsentrasi Komite PK saat ini berfokus pada pembongkaran skandal korupsi di masa pemerintahan Ahok, tidak menutup kemungkinan jika BW memberikan andil terbesarnya di sana.
Selain BW yang tercatat sebagai mantan dari tim inti pemenangan Anies dan Sandi, aktivis HAM yang juga kader PKB, Nursyahbani Katjasungkana serta peneliti dan ahli tata kota Tatak Ulijati, tercatat memang pernah berada di seberang Ahok. Nursyahbani Katjasungkana, bersama dengan komunitas Kampung Kota, kerap mengkritik kebijakan penggusuran Ahok yang merugikan masyarakat miskin.
Sementara Tatak Ulijati pernah membeberkan penelitian yang menyebut jika elektabilitas Ahok berada diurutan buncit. Hasil itu, ia sampaikan melalui Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI) di mana dirinya menjadi direktur. Tatak juga pernah berkata kalau pemilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) beralih ke Anies Baswedan ketimbang ke Ahok.
Hanya Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Oegroseno saja yang dinilai paling ‘netral’ bila dibandingkan dengan anggota yang lain. Dirinya belum pernah terlihat anti atau pro Anies dan Ahok sebelumnya. Namun anaknya, pernah secara terbuka menulis kepada Presiden Jokowi untuk bertindak tegas menghalau kebencian yang tertuju kepada Ahok.
Sedangkan Muhammad Yusuf sebelumnya menjadi Ketua TGUPP. Dengan demikian, keberadaan Oegroseno memang benar-benar menjadi penetral dalam tubuh Komite PK yang berisi orang-orang pro Anies sejak awal. Apakah ini merupakan bentuk balas budi Anies kepada mereka?
Dengan gaji yang fantastis, yakni mencapai Rp. 50 juta untuk ketua Komite PK dan selisih Rp. 10 juta untuk bidang lainnya, sangat wajar bila akhirnya banyak yang mengkritisi atau bahkan menuding pembentukannya hanya sebagai proyek balas budi semata.
Namun, melepas asumsi yang ada, jikalau Komite PK benar-benar berjalan dengan baik dan profesional, muncul pula pertanyaan baru. Apa kerja yang dilakukan oleh Anies dan Sandi? (Berbagai Sumber/ A27)