‘Tamparan’ Sri Mulyani sekaligus menjadi pengingat bagi perusahaan keuangan asing yang saat ini beroperasi di Indonesia: tidak boleh lagi bermain-main di hadapan Bu Sri.
pinterpolitik.com – Rabu, 4 Januari 2017.
JAKARTA – “Human women have been slapping men for being bastard for centuries. You were doing what comes naturally”. Demikianlah kutipan dari tulisan Nalina Singh – novelis dan penulis dari New Zealand – dalam buku serial The Psy-Changeling. Kutipan ini sepertinya cocok disandingkan dengan apa yang sedang dialami oleh JPMorgan Chase & Co. di Indonesia. Buntut dari laporan keuangan yang dikeluarkan JPMorgan pada 13 November 2016 yang berjudul: ‘Trump Forces Tactical Changes’, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjatuhkan sanksi dengan memutus semua bentuk kemitraan antara pemerintah Indonesia dengan JPMorgan. JPMorgan seolah sedang ditampar oleh Bu Sri Mulyani. Keputusan ini terbilang berani – mengingat posisi JPMorgan sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia – dan merupakan respon tegas pemerintah Indonesia terhadap JPMorgan. Apa sebenarnya yang terjadi? Ada apa dengan laporan tersebut? Mari menyeruput kopi sebelum lanjut membaca.
Seperti disebutkan sebelumnya, pada 13 November 2016, JPMorgan mengeluarkan laporan yang isinya adalah untuk memberikan gambaran pada para investor dan klien-kliennya tentang kondisi perekonomian beberapa negara di dunia yang mungkin saja terdampak pasca kemenangan Donald Trump pada pemilu di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. JPMorgan mengawali paparan dalam riset itu dengan menjelaskan efek terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) terhadap ekonomi negara-negara partner ekonomi AS. Karena laporan keuangan ini dikeluarkan oleh lembaga perbankan dan keuangan terbesar ke-7 di dunia, hal ini tentu saja membuat pasar keuangan dunia bergejolak, terutama bagi negara-negara berkembang. Imbal hasil (yield) obligasi bertenor 10 tahun bergerak cepat dari 1,85% menjadi 2,15%, sehingga meningkatkan risiko atas negara berkembang seperti Brasil, Indonesia, Turki dan lainnya.
JPMorgan kemudian memangkas peringkat surat utang atau obligasi beberapa negara. Brasil turun satu peringkat dari overweight menjadi neutral. Begitu juga Turki, dari neutral ke underweight, sebagai akibat adanya gejolak politik dan upaya kudeta yang cukup serius. Indonesia juga dianggap berada dalam posisi cukup buruk, dan peringkatnya diturunkan yakni dari overweight menjadi underweight atau turun dua peringkat. Sementara Malaysia dan Rusia dinaikkan peringkatnya menjadi overweight. Afrika Selatan tetap dalam posisi neutral. Bingung bukan? Tentu saja, istilah-istilah tersebut merupakan istilah teknis di bidang perbankan. Sebagai penjelasan, overweight artinya selama 6 hingga 12 bulan ke depan, pasar keuangan di negara yang diberi peringkat tersebut akan bergerak di atas rata-rata ekspektasi dari para analis keuangan. Sementara neutral artinya dalam rentang waktu yang sama, pergerakan kondisi keuangannya akan sesuai espektasi analis-analis keuangan, sedangkan underweight artinya pasar keuangan di negara tersebut akan berada di bawah espektasi atau diperkirakan lebih buruk.
Atas peringkat Indonesia yang turun drastis tersebut, maka JPMorgan menyarankan agar investor untuk berpikir kembali dalam melakukan investasi di Indonesia dan membeli surat utang dari negara lain yang berada dalam kondisi keuangan yang lebih baik. Gong berbunyi, seperti hukum ketiga Newton: ada aksi, ada reaksi. Riset tersebut kemudian direspons oleh Sri Mulyani lewat surat Menteri Keuangan Nomor S-1006/MK.08/2016 tanggal 17 November 2016. Dalam surat itu, Sri Mulyani menyatakan, riset tersebut berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Hal ini bisa berpotensi melahirkan keguncangan ekonomi dan berpotensi menyebabkan krisis di Indonesia.
Buntutnya, pada 1 Januari 2017, Sri Mulyani resmi memutus kontrak kerja Indonesia dengan JPMorgan. Dengan demikian, JPMorgan harus kehilangan beberapa posisi. Pertama, JPMorgan harus kehilangan posisi sebagai dealer utama atau agen penjual Surat Utang Negara (SUN). Buat yang belum tahu, jika suatu negara mengalami defisit anggaran, maka negara tersebut bisa menjual surat utangnya kepada lembaga-lembaga keuangan di dunia. Surat utang itu menjadi berharga karena ada ‘nilai’ yang ada di dalamnya. Nah, dengan pemutusan kontrak tersebut, JPMorgan kehilangan posisi sebagai dealer atau pembeli yang kemudian bisa menjual kembali SUN Indonesia. Kedua, JPMorgan juga kehilangan posisinya khusus untuk penerbitan Global Bond (GB). Apa itu GB? GB adalah SUN yang diterbitkan dalam valuta atau mata uang asing. Dan yang ketiga, JPMorgan tidak akan lagi termasuk dalam daftar bank persepsi untuk penerimaan pajak atas program pengampunan pajak atau tax amnesty. Kehilangan tiga posisi tersebut tentu saja cukup merugikan bagi JPMorgan. Pasalnya Indonesia adalah negara yang masuk dalam 10 besar ekonomi dunia.
Sri Mulyani menuduh JPMorgan mempermainkan Indonesia dan menggunakan indikator yang kurang tepat dalam menilai perekonomian Indonesia. Menurut Sri Mulyani, lembaga riset sangat penting peranannya dalam mendorong perekonomian sebuah negara. Hasil riset yang dikeluarkan dapat mempengaruhi kondisi pihak-pihak terkait, yang dalam hal ini adalah investor. Sri Mulyani melihat riset yang dikeluarkan oleh JP Morgan tidak berlandaskan indikator yang tepat. Menurut Sri, pemerintah akan melakukan perbaikan di dalam seluruh kebijakan fundamental internal. Namun, dalam hal ini partner yang bekerja sama dengan pemerintah – apalagi mereka mendapatkan privilage yang sangat penting seperti JPMorgan – punya tanggung jawab yang luar biasa penting. Oleh karena itu, riset tersebut tentu saja akan sangat berpengaruh bagi Indonesia.
Polemik pemutusan kontrak yang menimpa JPMorgan ini tentu saja mengingatkan kita bahwa sebuah lembaga keuangan dalam skala global bisa memberikan dampak yang signifikan bagi perjalanan ekonomi suatu negara. Kasus JPMorgan juga membuka mata kita bahwa bisa saja bisnis keuangan yang dijalankan oleh JPMorgan di Indonesia berpengaruh terhadap peta politik dan arah pemerintahan di negara ini. Andaikan karena riset JPMorgan ini, banyak investor yang menarik dananya dari Indonesia, maka boleh jadi kita akan mengalami krisis eknomi seperti yang terjadi pada tahun 1998. Secara tidak langsung, hal ini bisa menekan pemerintah yang berkuasa saat ini. Dalam konteks tertentu, kondisi Indonesia setahun terakhir tidak dipenuhi konflik yang signifikan. Oleh karena itu, keputusan JPMorgan menurunkan rating Indonesia 2 tingkat tentu patut dipertanyakan. Di Indonesia tidak ada kasus kudeta seperti yang terjadi di Turki, sehingga untuk Turki kita bisa memaklumi mengapa peringkatnya bisa turun. Lalu, untuk apa? Who knows, JPMorgan adalah salah satu perusahaan yang saat krisis subprime mortgage pada tahun 2008 terjadi, ‘terselamatkan’ oleh pemerintah AS saat itu. Apakah hal ini ada kaitannya dengan pergantian kepemimpinan di AS dari Obama ke Trump? Mungkin sambil ngopi sore ini, hal ini bisa kita pikirkan bersama.
‘Tamparan’ Sri Mulyani sekaligus menjadi pengingat bagi perusahaan keuangan asing yang saat ini beroperasi di Indonesia: tidak boleh lagi bermain-main di hadapan Bu Sri. Hal ini juga bisa menjadi catatan positif bahwa Presiden Jokowi tidak salah memanggil pulang Bu Sri untuk menjadi Menteri Keuangannya. Pertanyaannya adalah akan seperti apa kelanjutan hubungan Bu Sri dan JPMorgan? Semoga kisah ini berakhir baik dan menguntungkan untuk semua pihak. (S13)