Namun suatu kejanggalan disini adalah kenapa orang – orang dari daerah luar DKI Jakarta harus repot untuk mengurusi jalannya Pilkada DKI Jakarta. Karena jika menyinggung agama seorang pemimpin daerah, para peserta kegiatan ini bisa saja melakukan sebuah gerakan penolakan ke daerah – daerah lain di Indonesia di mana para calon pemimpin daerahnya adalah seorang non muslim sama seperti Ahok.
PinterPolitik.com (A15 – R)
[dropcap size=big]S[/dropcap]etelah Aksi Bela Islam, kini muncul gerakan Tamasya Al Maidah yang mengajak warga untuk menjaga Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada saat pemungutan suara Pilkada DKI putaran kedua. Kelompok yang menyebut diri sebagai alumni aksi 212 bersikeras untuk menggelar Tamasya Al Maidah dengan menerjunkan sejumlah orang ke TPS – TPS di Jakarta. Namun kepolisian memperingatkan akan mengambil tindakan tegas terhadap pengerahan massa di sekitar TPS Pilkada Jakarta.
Gerakan yang dipimpin oleh Ustadz Ansufri ID Sambo atau biasa dikenal dengan nama Ustad Sambo ini di klaim akan diikuti sebanyak 1,3 juta orang. Kegiatan ini dibertujukan untuk mengawal, memantau supaya pelaksanaan pilkada berjalan adil, jujur, dan demokratis. Ustad Sambo mengatakan bahwa pengawalan ini dibuat dalam konsep kumpul-kumpul untuk rekreasi dan silaturahmi. Menurutnya, kegiatan yang akan dilaksanakan pada April lalu itu akan dilaksanakan dalam bentuk yang menyenangkan.
“Namanya juga tamasya. Jadi kumpul-kumpul, rekreasi bersama keluarga, saudara, teman di TPS. Sembari silaturahmi. Ini dibuat sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan menyeramkan. Di situ melihat agar terselenggara pemilu yang demokratis,” tuturnya
Menurut pengacara alumni 212, Eggi Sudjana, meng-klaim jika kegiatan ini sudah mengantongi izin dari pihak KPU DKI dan peserta akan diberikan izin sebagai pemantau. Namun Ketua KPU DKI, Sumarno mengatakan bahwa dirinya tidak pernah memberikan izin apapun baik itu berupa lisan ataupun tulisan. Sumarno mengakui memang panitia Tamasya Al-Maidah pernah datang ke kantor KPU DKI. Namun dalam pertemuan tersebut tak disinggung sama sekali mengenai kegiatan Tamasya Al-Maidah.
“Tidak benar. Memang mereka pernah beraudiensi ke KPU. Mereka meminta jadi pemantau. Mereka tidak nyinggung sama sekali soal Tamasya Al-Maidah. Hanya “nanya-nanya” soal pemantau,” kata Sumarno saat dikonfirmasi.
Jika ternyata kegiatan tersebut illegal, maka bolehkah Tamasya Al Maidah dilakukan?
Tamasya Al Maidah atau Safari Premanisme
Kegiatan Tamasya Al Maidah ini juga berpotensi membuat keributan di TPS di mana paslon ‘idola’ peserta ‘piknik’ kalah. Dengan berbagai alasan mereka bisa menuduh bahwa pencoblosan dilakukan dengan curang. Keributan yang mereka timbulkan bisa dijadikan alat untuk mengaburkan fakta-fakta di lapangan sehingga akhirnya mereka berusaha menempuh jalur hukum di kemudian hari menuntut pencoblosan ulang.
Jika dilihat dari segi pandang mana pun kegiatan ini tidak memberikan dampak positif apapun untuk keberlangsungan Pilkada DKI putaran kedua ini, apalagi dengan rencana menempatkan 100 orang peserta Tamasya Al Maidah di tiap – tiap TPS. kegiatan Tamasya Al Maidah jauh lebih berpotensi menjadi safari “premanisme” untuk mengacaukan Pilkada, terlebih lagi ternyata banyak yang menjadi peserta kegiatan ini bukanlah warga DKI Jakarta, kebanyakan yang mengikuti kegiatan ini adalah warga dari daerah lain yang tidak ada urusannya dengan Pilkada DKI Jakarta.
Tamasya Al Maidah juga dapat berpotensi menyimpan skema yang lain seperti menggagalkan Pilkada DKI Jakarta dengan cara membuat kerusuhan di seluruh wilayah Jakarta. Kerusuhan seperti ini dapat mengancam stabilitas nasional. Menurut Ustadz Ansufri ID Sambo selaku Ketua Panitia Tamasya Al Maidah, dia menegaskan bahwa gerakan yang dia pimpin ini tidak ada maksud untuk mendukung salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Pilgub DKI. Hanya saja, warga DKI harus ingat tentang Surat Al Maidah Ayat 51. Tentu aneh menurutnya jika umat Islam memilih pemimpin seorang yang menistakan agama.
Bagaimana Pendapat Netizen?
Terkait Tamasya Al Maidah ini, para penggiat dunia maya pun memberikan komentar bermacam – macam dalam menanggapinya. Beberapanya seperti,
Intimidasi dan teror terus dialami jamaah dan FPI, keberpihakan aparat juga berat sebelah.
TAMASYA ALMAIDAH 51 kudu jadi!— Ayah Tangguh (@DemonstranTL) April 18, 2017
Klo orang waras mah namanye Tamasya itu ke TMII,Ancol atau Ragunan.cuma orang2 gak waras aje yang Tamasya " Almaidah " ke TPS.
— Fadli Hamzah #AsianGames #HUTRI73 (@PriaKolorIjo) April 18, 2017
Persiapkan jiwa dan raga menghadapi Jihad Konstitusi esok,, Tamasya AlMaidah bukan keharusan tpi KEWAJIBAN sebagai Muslim Sejati!!
— él Ludhvie (@elLudhvie) April 18, 2017
tamasya almaidah sebaiknya dialihkan ke NTB, sowan Tuan Guru, gubernur NTB, seorang muslim, hafidz qur'an, santun, lihat kinerjanya, gitu lo
— Corioushit (@ubedasy) April 18, 2017
Tamasya Al Maidah, bentuk intervensi terhadap Pilkada?
Namun suatu kejanggalan disini adalah kenapa orang – orang dari daerah luar DKI Jakarta harus merasa repot untuk mengurusi jalannya Pilkada DKI Jakarta. Karena jika menyinggung agama seorang pemimpin daerah, para peserta kegiatan ini bisa saja melakukan sebuah gerakan atau aksi penolakan ke daerah – daerah lain di Indonesia yang melakukan Pilkada Serentak lalu, di mana para calon pemimpin daerahnya adalah seorang non muslim sama seperti Ahok.
Jika begitu, agak kurang masuk akal jika kegiatan ini murni bertujuan untuk mewujudkan nilai yang terkandung dalam Surat Al-Maidah ayat 51. Jelas – jelas pasti ada kepentingan politik di dalam gerakan ini yang bersembunyi dibalik nama agama. Tinggal bagaimana masyarakat memahami atau tidak tentang kejanggalan tersebut.
Penolakan juga terjadi di beberapa daerah. Seperti di NTT, Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusa Tenggara Timur melarang seluruh anggotanya mengambil bagian dalam gerakan Tamasya Al Maidah di Jakarta. Ada juga dari Tasikmalaya, Bupati Uu Ruzhanul Ulum akan berkoordinasi dengan Polres Tasikmalaya agar melarang masyarakat mengikuti Tamasya Al Maidah.
Bahkan Ketum PBNU, Said Aqil Siroj menyebut gerakan Tamasya Al-Maidah saat hari pencoblosan Pilkada DKI Jakarta tak perlu dilakukan. Pengamanan tempat pemungutan suara (TPS) sudah dilakukan Polri dan TNI. Dia meminta agar pengamanan dipercayakan kepada aparat serta pihak berwenang terkait pilkada.
Organisasi pemerhati HAM, Setara Institute juga menyebutkan pengerahan massa dalam bentuk aksi Tamasya Al Maidah merupakan teror dan intimidasi politik yang akan mempengaruhi pilihan warga yang bebas, jujur, dan adil.
“Meski pemantauan oleh warga dalam pelaksaan pilkada dijamin UU, tetapi dalam konteks politik DKI Jakarta hal itu bermakna lain. Cukup sudah penebaran kebencian dan intimidasi terjadi selama proses kampanye seperti terjadi sebelumnya,” kata Hendardi, Direktur Setara Institute.
Pro dan kontra pun hangat terjadi di lini masa, namun biar bagaimanapun, Pilkada DKI Jakarta adalah pesta demokrasi warga DKI Jakarta, bukan milik warga diluar DKI Jakarta walaupun memang pada dasarnya DKI Jakarta adalah milik semua warga Indonesia. Jadi marilah kita dukung dan sukseskan Pilkada DKI Jakarta dengan aman dan tertib tanpa terpengaruh dari intervensi siapapun. (A15)