Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditengarai telah menguasai partai politik sebagai kendaraannya melenggang menuju tahta kedua Presiden RI.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]otret partai politik yang memuluskan Jokowi ini mengalami peluruhan kekuatan. Partai politik tak lagi leluasa bisa mengendalikan Jokowi sebagai Presiden RI. Bahkan, kini Jokowi yang mengendalikan dan menguasai partai politik. Mengapa demikian?
Di Pilpres 2014, pernah digulirkan isu mengenai Jokowi ialah bonekanya Megawati dan partai politik pengusungnya. Pada titik itu, Jokowi masih menjadi penurut dengan kebijakan partai politik. Hal ini dapat dibuktikan dengan posisi Menteri – Menteri Kabinet Kerja yang diisi kader partai politik yang sedari awal mendukung Jokowi.
Dari 34 Kementerian Kabinet Kerja, 16 posisi strategis dibagikan kepada kader partai politik diantaranya PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Golkar, PPP dan PAN.
Politik dagang sapi Jokowi saat Pilpres 2014 muncul ke permukaan walaupun secara jelas partai pengusung Jokowi-JK memberikan pernyataan dukungan tanpa syarat. Namun, apalah daya Jokowi yang masih belum bisa mengendalikan diri dari rongrongan partai politik.
Bukan hanya menteri koordinator dan menteri. Namun, posisi strategis lainnya seperti Sekretaris Kabinet, Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan Kepala Lembaga Non Struktural merupakan pesanan dari partai pengusung Jokowi. Artinya Jokowi belum merdeka dan belum mampu menguasai peran dan kekuatan politiknya.
Dalam pertarungan politik 2014, publik seolah terbelah dua akibat pertarungan head to head antara Jokowi – JK yang berhadapan dengan Prabowo – Hatta.
Namun, harap – harap cemas partai politik pengusung Jokowi – JK akhirnya berbuah manis dengan perolehan suara 53,15% atau 70.633.576 suara. Hal ini yang disimpulkan sebagai kemenangan bagi kubu Jokowi – JK dan juga pelepas dahaga bagi PDI Perjuangan yang sudah ‘puasa’ dua periode kepemimpinan nasional.
Namun yang patut dipertanyakan, mengapa keadaan justru berbalik?
Kini Jokowi memegang kendali atas partai politik karena secara sosok Jokowi merupakan jawaban atas pertanyaan partai politik yang haus kemenangan.
Terlebih menjelang tahun politik 2019, Jokowi diproyeksikan tak perlu susah payah melakukan lobi politik mencari partai politik pengusung, namun ‘mau tak mau’ partai politik akan merapat ke Jokowi apabila ingin lancar melenggang menjadi partai pemenang di 2019.
Hal ini dibuktikan dengan merapatnya empat partai politik yang sudah dari jauh hari mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi untuk meraih tahta keduanya.
Modal dasar yang dimiliki Jokowi kini semakin berada pada tren positif. Ada perbedaan antara Pilpres 2019 dibandingkan Pilpres 2014 yaitu Jokowi yang tak dirongrong partai politik.
Sekuat Apa Jokowi?
Masih cukup panjang waktu menuju Pilpres 2019, Jokowi Effect menjangkit partai politik yang menyegerakan deklarasi dukungan untuk mengusung Jokowi kembali menuju tahta kedua di Pilpres 2019.
Dukungan partai politik kepada Jokowi tak main – main. Hal ini bahkan dibahas dalam pertemuan-pertemuan nasional partai politik.
Partai Golkar, Partai Hanura, PPP dan Partai Perindo menginginkan menang secara mudah tanpa kerja politik yang melelahkan. Karena Jokowi memiliki modal yang cukup untuk menjadi pemenang di Pilpres.
Untuk memenuhi presidential threesold 20 persen, apabila menurut data perolehan suara Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 empat partai ini dapat mencalonkan Jokowi kembali dalam perhelatan Pilpres 2019 karena ambang batas dapat terlampaui.
Selain empat parpol di atas, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menetapkan pilihannya untuk mendukung Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.
Selain itu, partai – partai politik pendukung Jokowi ini mengharapkan Jokowi sebagai magnet elektoral bagi partainya agar dapat elektabilitas partai meningkat. Figur Jokowi dinilai dapat meningkatkan elektabilitas partai pendukungnya dan dijadikan bahan yang ditawarkan kepada masyarakat.
Disaat partai terburu – buru menyatakan dukungannya kepada Jokowi untuk maju kembali di Pilpres 2019, namun terasa kontras dengan PDI Perjuangan yang mengusungnya di Pilpres 2014. PDIP masih bersikap dingin dan pasif terhadap pencalonan Jokowi di 2019.
Namun, walaupun tanpa adanya PDI Perjuangan yang memperkuat koalisi Jokowi di 2019, mantan Walikota Solo tetap melenggang dengan memanfaatkan partai – partai yang akan meminang dirinya.
Sementara itu, potensi kemenangan Jokowi akan segera tiba, pasalnya belum ada figur signifikan yang bisa mengimbangi Jokowi untuk bertarung secara sengit di Pilpres 2019. Hal ini dibuktikan dengan berbagai survei yang selalu memposisikan Jokowi di puncak, sementara nama lainnya masih stagnan jauh tertinggal.
Sebagai petahana, Jokowi diuntungkan dengan adanya survei kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi. Bahkan angka kepuasannya mencapai 68,3 %.
Namun, dalam mengamankan posisi ini, Jokowi pun memiliki kekuatan domestik yang menyokongnya untuk melenggang menuju Pilpres 2019.
Hal ini ditunjukkan pada beberapa instrumen keberhasilan Jokowi mengendalikan militer, BUMN dan konglomerat.
Secara infrastruktur politik, Jokowi matang dan lebih siap dalam mengelola kekuatan untuk bertarung. Justru, peran Jokowi akan menguat dan mendegradasi kemungkinan politik dagang sapi dan meluruhnya rongrongan partai politik.
Karena parpol yang membutuhkan Jokowi. Kekuatan post-power syndrome dalam kepemimpinan nasional dikelola dengan baik oleh Jokowi dengan memberikan konstruksi infrastruktur yang kokoh dari kolaborasi militer, BUMN dan kalangan pengusaha sukses.
Hal ini disimpulkan dapat menjadi kekuatan yang secara otomatis menguatkan dan memuluskan untuk Jokowi maju sebagai Presiden dua periode.
Kompromi antara Jokowi dan partai politik akan ditinjau dari nilai tukar partai politik yang melemah seperti tak memiliki taring. Karena latar belakang sederhananya, partai polik mana yang ingin menang maka gerbong Jokowi terbuka.
Sekalipun rivalnya di Pilpres 2014 kembali maju dalam kontestasi, tentunya hanya akan menambah catatan kekalahannya. Karena, sebuah kekuatan politik nasional tidak bisa dikonstruksi dari 1 tahun sebelum proses kontestasi berlangsung.
Jokowi telah mengelola dan menata kekuatan pondasi politiknya dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Presiden RI. Hal ini menekankan pada potensi petahana yang memiliki nilai lebih karena rakyatnya telah merasakan kinerja. Tahun 2019 akan memberikan cerita berbeda. Jokowi tanpa rongrongan partai politik.
Namun, nilai tukar Jokowi atas harga ini perlu ditebus mahal oleh partai politik. Karena trennya menjadi berubah, Jokowi ditinjau sebagai sosok individu, bukan sebagai kader partai ataupun kental dengan partai politik.
Dagang Tanpa Sapi
Saya dapat apa? Mana jatah saya! Saya sudah memenangkan Jokowi jadi Presiden.
Nilai transaksional ini sudah tak laku lagi di Pilpres 2019. Walau masih melekat pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi telah menyesuaikan diri dan menghimpun kekuatannya untuk kali keduanya tahta Presiden akan direbut.
Semasa 2014, Jokowi menggaungkan tidak akan ada bagi-bagi jabatan, namun nyatanya Jokowi masih lesu dan menjadi penurut kepada partai politik pengusungnya.
Terlebih, tren 2019 dihiasi dengan aturan presidential threshold 20 persen yang mengharuskan partai politik untuk berkompromi yang sangat kental dengan nilai transaksional untuk mengusung calon Presiden. Hal ini tidak akan terjadi, karena Jokowi akan muncul sebagai pedagang sapi tanpa sapi.
Semakin diatas angin, Jokowi tentu tidak bisa dirongrong oleh partai politik dengan jual beli jabatan. Karenanya, suka tidak suka, Jokowi cenderung akan membagikan kue kue strategis bukan fokus kepada partai politik pengusungnya tapi lebih mengarahkan kepada kalangan yang terlibat dalam infrastruktur politiknya.
Politik dagang sapi tak lagi dijual Jokowi kepada partai politik. Bahkan, sudah tidak zaman lagi. Hal ini menjadikan posisi partai politik menjadi penurut kepada Jokowi. Hal ini yang membuat politik dagang sapi Jokowi menjadi tanpa sapi.
Besarnya kekuatan Jokowi tentu dapat memastikan potensi politik dagang tanpa sapi Jokowi yang tetap menguntungkan stabilitas politik nasional. Karena Jokowi terhitung diuntungkan dalam perdagangan sapi. Bila diibaratkan, Jokowi akan dikenal sebagai juragan sapi yang sukses.
Tapi, kondisi partai politik pendukung Jokowi akan gigit jari dan menahan kekesalannya karena tidak bisa merongrong Jokowi untuk membagikan jabatan sesuai dengan titah partai politik.
Hal ini akan dikendalikan Jokowi karena kekuatan masyarakat yang cenderung mendukung Jokowi dan didukung dengan infrastruktur politik Jokowi yang kokoh lainnya saling menopang sehingga kekhawatiran stabilitas politik menjadi terganggu cenderung tidak akan terjadi.
Hanya partai politik penurut yang akan menjadi teman baik Jokowi di Pilpres 2019. Pilihannya hanya dua, menjadi partai politik penurut atau menjadi oposisi. Mau pilih mana?
(Z19)