Site icon PinterPolitik.com

Takdir Jakarta Hidup Bersama Banjir?

Takdir Jakarta Hidup Bersama Banjir?

Suasana sejumlah kendaraan melintasi banjir yang menggenangi kawasan Bundaran Bank Indonesia di Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2020) pagi. Hujan deras yang mengguyur Jakarta membuat sejumlah wilayah di Ibu Kota terendam banjir. (Foto: Antara)

Jakarta dan banjir menjadi dua kata yang seolah tidak pernah lepas. Dalam lintas sejarahnya, Jakarta sejak abad ke-4 telah dirundung banjir. Hal ini disebabkan karena memang sulit menanggulangi banjir di Jakarta secara permanen. Lantas, seperti apa melihat takdir Jakarta yang seolah akan selalu hidup bersama banjir?


PinterPolitik.com

Siapa sangka, hasil survei yang dirilis oleh Populi Center membawa angin segar tentang Jakarta dan banjir. Diberitakan, sebanyak 74,9 persen warga Jakarta mengaku puas dengan kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pimpinan Gubernur Anies Baswedan dalam menanggulangi masalah banjir.

Masyarakat menilai puas terhadap pelaksanaan kebijakan penanggulangan banjir melalui penataan sungai oleh Pemprov DKI Jakarta. Sementara yang menilai tidak puas 21,3 persen. Secara detail, survei tersebut mengkategorikan sejumlah program penanganan banjir yang dilakukan Anies.

Dari beberapa program penanganan banjir, sebesar 66,3 persen masyarakat menilai program pengerukan sungai sudah terlaksana dengan baik. Disusul normalisasi sungai sebesar 53,3 persen, sumur resapan 50 persen, membangun waduk 48,3 persen, pembuatan polder air 42,7 persen, dan kolam olakan 34,5 persen.

Mohammad Taufik, Ketua Dewan Pembina DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, memberikan komentar dengan nada yang positif. Taufik sepakat dengan hasil survei Populi Center tentang tren positif responden terhadap pengendalian banjir oleh Anies. Menurutnya, dampak dan durasi banjir di masa kepemimpinan Anies berkurang signifikan.

Tapi, argumentasi berbeda datang dari Muchlis Nurdiyanto dan Maghfira Abida dalam tulisannya Mangkuk Raksasa itu Bernama Jakarta. Meminjam argumentasi geolog Jan Sopaheluwakan, banjir Jakarta disebut tidak akan dapat diselesaikan dengan sistem kanal karena secara geologis Jakarta sebenarnya merupakan cekungan banjir.

Kawasan utara Jakarta, sekitar Ancol dan Teluk Jakarta mengalami pengangkatan karena proses tektonik. Oleh karena itu, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap terjebak di cekungan seperti “mangkuk” besar.

Cekungan ini terbentuk dari endapan aluvial muda sangat tebal, baik berasal dari endapan hasil erosi gunung api purba, maupun dari endapan sungai dan pantai. Endapan tersebut belum terkonsolidasi, sifatnya masih lepas dan belum memadat.  Akibatnya, tanpa memperhitungkan pengaruh aktivitas manusia, secara alamiah, tanah di Jakarta perlahan memadat sehingga muka tanah mengalami penurunan.

Argumentasi geologi ini menjelaskan terdapat semacam takdir yang mengikat antara Jakarta dan banjir dikarenakan kondisi alam yang membentuknya. Dan rupanya, secara historikal, Jakarta dan banjir punya sejarah yang begitu panjang.

Lantas, seperti apa sejarah Jakarta dan banjir yang dapat kita lihat dari masa ke masa?

Baca juga: Banjir Jakarta Didera Tekanan Psikologis?

Cerita Banjir di Jakarta

Edi Sedyawati dalam bukunya  Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, mengatakan penyebab utama Jakarta selalu tergenang banjir adalah karena kondisi lingkungan yang dialiri sepuluh sungai besar dengan sistem drainase yang kurang memadai.

Oleh karenanya, Jakarta identik dengan istilah kota langganan banjir. Tiap kali hujan deras, beberapa daerah di Jakarta hampir selalu tergenang banjir. Perilaku masyarakat yang sering membuang sampah sembarangan ke sungai juga menghambat aliran air ketika hujan turun.

Zaenuddin HM dalam bukunya Banjir Jakarta, mengatakan banjir di Jakarta ada sejak era Tarumanegara, tepatnya saat kepemimpinan Raja Purnawarman. Bukti sejarahnya dapat dilihat dari Prasasti Tugu yang ditemukan pada tahun 1878 di Jakarta Utara.

Secara garis besar, prasasti tersebut berisikan pesan jika Raja Purnawarman pernah menggali Kali Candrabhaga di daerah sekitar Bekasi dan Kali Gomati atau yang sekarang dikenal sebagai Kalimati di Tangerang.

Penggalian tersebut merupakan upaya mengatasi banjir. Sungai yang digali tersebut diharapkan bisa mengalirkan debit air, sehingga banjir di Jakarta kala itu bisa segera surut. Selain itu, penggalian sungai ini juga ditujukan untuk kepentingan irigasi sawah warga.

Kota Jakarta pada masa kolonial Belanda dikenal dengan nama Batavia. Sebagian besar daerah Batavia masih berupa rawa dan hutan liar, sehingga sering tergenang banjir dari beberapa sungai, terutama Kali Ciliwung yang meluap saat hujan deras.

Setidaknya dalam kurun waktu yang panjang, sejarah banjir di Batavia mengalami beberapa fase, mulai dari fase awal, di mana pemerintahan kolonial masih tentatif untuk menanggulangi banjir, sampai ke fase akhir yang terlihat sudah digunakan semacam teknik-teknik khusus penanganan banjir.

Diawali pada 1621, di mana merupakan peristiwa banjir perdana di era kekuasaan VOC, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Saat itu banyak rumah warga yang terbuat dari kayu sehingga mudah hanyut ketika banjir melanda Batavia.

Struktur jalan saat itu sangat sulit untuk dilalui sepeda atau dokar. Meskipun Belanda saat itu pernah membangun kanal sejak dua tahun sebelum bencana banjir terjadi. Namun, usaha tersebut gagal karena tidak mengetahui letak geografis dan struktur topografi Batavia saat itu.

Selanjutnya banjir Batavia pada 1654, saat Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker. Banjir besar kembali melanda dikarenakan hujan deras dan luapan air sungai, terutama Kali Ciliwung dan kiriman air dari hulu di Buitenzorg, penyebutan untuk Bogor. Joan Maetsuycker telah membangun beberapa kanal tambahan, namun usahanya gagal karena kanal selalu dipenuhi sampah, lumpur, dan pasir.

Pada 1872 Banjir kembali melanda tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal James Louden. Penyebabnya kurang lebih sama, yaitu hujan deras dan luapan air sungai. Upaya pembersihan kanal sering dilakukan, namun tetap tidak membantu karena kotoran lumpur yang dibersihkan tetap dibiarkan menumpuk di tepi kanal.

Banjir Jakarta mulai terlihat sangat parah pada 1893. Batavia saat Gubernur Jenderal Carel HA van der Wijck memimpin. Bencana banjir yang hampir melanda sebulan penuh telah merenggut banyak korban jiwa. Karena warga banyak terserang penyakit, seperti disentri, tifus, hingga malaria. Penyebab utamanya adalah air sumur yang tercemar dan sama sekali tidak layak konsumsi.

Banjir Jakarta pada 1909 terjadi karena curah hujan tinggi. Saat itu, Gubernur Jenderal Idenburg dan Belanda tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan banjir ini. Tapi setelah periode ini mulai lah dibangun bendungan untuk menangani banjir.

Pada 1911, Belanda membangun pintu air besar, yaitu Bendung Katulampa di Bogor. Tujuannya supaya bisa mengukur debit air Kali Ciliwung. Pembangunan pintu air besar ini merupakan sistem peringatan dini yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan banjir.

Selama berhari-hari hujan terus mengguyur Batavia pada tahun 1918, akibatnya hampir seluruh rumah di Batavia terendam banjir. Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum dan pejabat Belanda lagi-lagi tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan banjir.

Permasalahan banjir di Batavia pertama kali ditangani secara sistematik pada pertengahan tahun 1920. Kemudian pada 1922, juga disusun rencana perbaikan kampung atau kamppong verbeetering. Namun, rencana ini tidak berjalan lancar karena minimnya alokasi dana. Banjir Jakarta pada 1932 disebut yang terparah kedua setelah 1918, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge.

Menyimak sejarah Jakarta yang dulu bernama Batavia di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa sejarah panjang era pemerintahaan Belanda juga kewalahan untuk menanggulangi bencana alam yang sifatnya force majeure ini.

Well, mungkinkah terdapat role model yang dapat dijadikan contoh pembelajaran penanggulangan banjir yang berhasil di negara lain?

Baca juga: Banjir Jakarta, Antara Anies dan Soeharto

Belajar Dari Bangkok

Sebagai pembanding, mungkin kita dapat melihat Kota Bangkok. Selain sama-sama ibu kota negara, kota Bangkok juga memiliki kondisi geologi dan geografi yang mirip dengan Jakarta.

Kota Bangkok pada tahun 2011 mengalami banjir besar, namun mereka belajar banyak dari banjir tersebut. Bahkan,  Bangkok merupakan salah satu kota di Asia Tenggara yang pernah mengalami banjir besar, tepatnya pada 1986.

Shoko Takemoto dalam tulisannya yang berjudul Moving Towards Climate-Smart Flood Management in Bangkok and Tokyo, mengatakan terdapat kesamaan manajemen penanggulangan banjir antara Tokyo dengan Bangkok, walaupun Tokyo masuk ibu kota negara maju dan Bangkok hanya sebagai negara berkembang.

Bangkok dalam menangani banjir membangun polder system, yaitu sistem yang membangun tanggul kedap air, di mana air yang berada pada daerah polder dipompakan keluar dari polder dan ditampung oleh polder lain di atasnya. Secara teknikal, sistem polder ini terdiri dari beberapa poin di antaranya, tanggul, pompa air banjir, kanal, terowongan, dan waduk. Kesemuanya bekerja secara sistematik dan terintegrasi, dari tanggul di hulu hingga penampungan di waduk untuk hilirnya.

Untuk tanggul pemerintah, dibangun tanggul penahan air di pinggiran sungai. Kemudian Bangkok memiliki sekitar 409 tempat pompa air banjir yang digunakan apabila intensitas hujan meningkat.

Selanjutnya pengembangan kanal, di mana pemerintah Bangkok membangun 1682 kanal dengan total panjang sekitar 2604 Km. Selain kanal, mereka juga memiliki 7 terowongan dengan total panjang 19 Km. Tampungan air itu kemudian dialiri ke waduk, di mana Kota Bangkok memiliki 25 lokasi penampung air atau waduk.

Selain infrastruktur, pekerjaan yang digerakkan oleh sumber daya manusia dalam penanggulangan banjir juga berjalan efektif. Di Bangkok dikenal istilah  Flood Control Center (FCC), di mana pegawai di kantor tersebut bekerja 24 jam dan menginformasikan kepada masyarakat tentang data curah hujan. Informasi tersebut juga disampaikan melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Selain itu, terdapat pula relawan banjir, dan hal ini yang sangat menarik di Bangkok. Terdapat beberapa orang yang dengan sukarela bekerja untuk mengatasi banjir di kota mereka. Semacam kesadaran kolektif warga untuk turut andil menyelesaikan permasalahan umum.

Akhirnya, sebagai kota tua, Jakarta tetap harus belajar dari kota di negara lain, seperti Bangkok. Kota itu mampu menyelesaikan permasalahan seperti banjir bukan hanya menggunakan teknologi semata, melainkan penggabungan atau hybrid antara teknologi dan partisipasi masyarakat secara luas. (I76)

Baca juga: Sandiaga “Terseret” Banjir Jakarta?


Exit mobile version