Sanksi PDIP kepada Dardak bisa jadi senjata makan tuan atau kerikil untuk karir politik Dardak yang masih ‘bayi’?
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]ak semua pihak bisa ikut bergembira melihat calon baru yang mendampingi Khofifah Indar Parawansa di gelaran Pilkada Jawa Timur 2018 mendatang. PDIP kecewa berat, jika tak mau dikatakan muntab. Pasalnya, pendamping Khofifah adalah kadernya, Emil Dardak, yang mbalelo.
Mengapa dikatakan mbalelo? Sebab untuk Pilkada Jatim 2018 mendatang, PDIP sudah mantap mengusung Abdullah Azwar Anas dan Saifullah Yusuf sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Melihat betapa reaktifnya PDIP merespon pencalonan Emil Dardak, tak heran mereka melempar sanksi bahkan ancaman pemecatan kepada Bupati milenial Trenggalek tersebut.
Namun, melihat dukungan bertubi-tubi dari Golkar dan Demokrat kepada Dardak, apakah ‘taji’ ancaman PDIP kepada Dardak mampu mengendurkan jalannya memimpin dalam skala provinsi di tahun 2018 mendatang? Apa kerugian PDIP jika melepas kader cemerlangnya ini?
Sepak Terjang Dardak
Emil Dardak atau yang punya nama lengkap Emil Elisianto Dardak memang layak disebut cemerlang. Begaimana tidak? Selain pernah tercatat sebagai Pelajar Teladan se-DKI Jakarta, ia juga berhasil mendapatkan gelar doktor di bidang Ekonomi Pembangunan di usia sangat muda, 22 tahun.
Gelar doktor tersebut didapatkan setelah meyakinkan para profesornya dengan rajin menulis di jurnal internasional. Ia harus melalui jalan itu sebab saat melamar S3, usianya baru menginjak 20 tahun, sementara syarat mengambil program doktoral minimal 21 tahun.
Keluarga Emil Dardak juga tak sembarangan. Ayahnya, Hermanto Dardak, adalah mantan Wakil Menteri Pekerjaan Umum periode 2010 – 2014, sementara ibunya adalah seorang dosen. Tak hanya itu, kakek Dardak dari sisi ayah dan ibunya tak bisa dipandang sebelah mata pula. Kakek dari pihak Ayahnya, adalah seorang kyai besar NU, bernama Mochammad Dardak, sementara dari pihak ibu, kakeknya adalah mantan Gubernur Lemhanas pertama pada periode Soekarno, Letjen Anumerta Wiloejo Poespojudo.
Memiliki latar belakang elit, dari kalangan militer dan agamawan, serta cerdas secara akademis, tentu bukan masalah besar baginya untuk punya karir yang cemerlang. Ia pernah menjajaki peran sebagai asisten profesor di Universitas Esa Unggul, bahkan di saat usianya baru 17 tahun, ia sudah dipercaya sebagai konsultan ekonomi di Bank Dunia.
Dukungan Bupati Milenial Trenggalek
Jika sepintas menilik latar belakang Emil Dardak, tentu wajar dan tak heran melihat dukungan yang ‘bertubi-tubi’ datang padanya untuk maju menemani Khofifah di gelaran Pilkada Jatim 2018 mendatang. Dukungan tersebut bahkan datang langsung dari Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Demokrat. Tak hanya SBY, Idrus Marham dari Golkar juga tak ketinggalan.
Selain mereka, kalangan kyai besar NU juga merupakan kelompok yang menyodorkan nama Emil Dardak untuk diperhitungkan menjadi pendamping Khofifah. Bahkan Gus Sholah, adik kandung mendiang Gus Dur, juga mendukung penuh pencalonannya. Gus Sholah yang saat ini juga duduk sebagai Ketua Tim 9 atau Tim Pemenangan Khofifah, berharap supaya Khofifah dan Dardak buru-buru mendeklarasikan pencalonannya.
Dengan demikian, tak hanya dari kalangan politisi, Dardak secara perlahan namun pasti juga mulai mengantongi restu dari basis NU, basis agama terbesar d Jawa Timur. Tentu hal tersebut bukannya tak beralasan sama sekali, kakek Dardak adalah kyai NU dan ia sendiri pernah menjabat sebagai Ketua Birokrasi Komunitas Muda NU di Jepang.
Dukungan dari kelompok-kelompok tersebut juga tak lepas dari popularitas Emil Dardak di Trenggalek. Pertama kali menceburkan diri di politik sebagai Bupati Trenggalek, ia mampu merengkuh suara lebih dari 70 persen. Suami dari pesinetron Arumi Bachsin ini disebut-sebut menang telak dari lawannya. Namun begitu, ‘prestasi’-nya itu juga tak bisa dilepaskan dari PDIP yang sudah mengusungnya.
Gertak Sambel PDIP?
Kemenangan Emil Dardak sebagai bupati di Trenggalek memang tak lepas dari keberadaan PDIP. Selain PDIP, Emil Dardak juga diusung oleh koalisi PDIP lainnya, seperti Golkar, Demokrat, PAN, PPP, dan Hanura. Untuk mendampingi Khofifah, ia diusung oleh Demokrat dan Golkar, dan juga seluruh kyai dan ulama NU se-Jawa Timur, seperti yang disampaikan CNN.
PDIP sendiri tak hanya berhasil memenangkan Emil dan Mochammad Nur Arifin di Trenggalek saja, namun juga di beberapa daerah lain di Jawa Timur. Daerah tersebut antara lain, Ngawi, Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Blitar, Mojokerto, Sumenep, Jember, Kediri, Banyuwangi, dan Blitar lewat koalisinya dengan Gerindra.
Sementara itu, dalam tataran DPRD, kader PDIP masih mendominasi kursi DPRD Kabupaten Trenggalek. Jabatan ketua DPRD, wakil ketua DPRD, wakil sekretaris, bendahara, hingga wakil bendahara DPRD Trenggalek diisi oleh kader-kader dari PDIP. Selebihnya, kader dari PKB merupakan kader dominan yang berada di sana.
Selain PDIP, PKB juga dominan mengisi kursi DPRD setelah PDIP. Namun begitu, untuk kepemimpinan di Trenggalek, PDIP tak selalu menjadi sebuah jaminan menangnya seorang calon pemimpin. Dua bupati Trenggalek sebelum Emil Dardak, Dr. Ir. H. Mulyadi WR, MMT dan Soeharto, masing-masing maju melalui PKB. Dalam pencalonan keduanya, PDIP memang masuk sebagai koalisi PKB. Namun, baru bersama Dardak lah, kader PDIP yang berhasil berdiri sebagai Bupati.
Dardak sendiri memang belum genap dua tahun memimpin Trenggalek. Belum ada hasil signifikan terlihat dari kepemimpinannya. Setelah kabar Dardak menerima pinangan Khofifah, kubu PDIP malah mengabarkan jika angka kemisinan Trenggalek melonjak dari angka 267. 274 jiwa ke 272. 792 jiwa di bawah kepemimpinannya.
Namun begitu, di awal tahun 2017 ini, Kabupaten Trenggalek berhasil meraih Government Award dalam kategori Pertumbuhan Ekonomi. Pemimpin muda Trenggalek tersebut, berkebalikan dengan penilaian PDIP, dianggap tim penilai Government Award, yang notabene berasal dari MNC Group, berhasil menaikan pertumbuhan ekonomi menjadi 5, 07 dari awalnya yang hanya 5, 05 persen.
Jika PDIP tetap bersikeras memecat Dardak, sepertinya hal tersebut akan menjadi kerikil tersendiri bagi PDIP. Sebab bagaimana pun, Dardak adalah kader yang memiliki banyak potensi. Hal itu terekam dari jejak karir dan akademisnya, serta latar belakang keluarga dan koneksinya dengan Bank Dunia. Popularitasnya ditambah pula dengan ‘bumbu’ status suami dari artis cantik ibu kota yang sayang keluarga.
Jika Dardak memang dipecat, ia tentu masih terus bisa menjabat sebagai bupati, sampai masuk bursa Pilkada di Februari 2018 mendatang. Tak mendapat dukungan PDIP, ia masih bisa melenggang bersama Demokrat dan Golkar, serta dukungan kyai NU se-Jawa Timur, yang jika dikumpulkan, kemungkinan mampu mengalahkan kekuatan usungan Partai Banteng.
Sementara bagi PDIP, mereka harus lebih giat ‘memoles’ pasangan cagub dan cawagubnya untuk membendung dukungan dan suara terhadap Khofifah dan si bupati milenial pada Pilkada Jatim 2018 mendatang. Jika memang tak tahu lagi meredam ‘apiknya’ calon dari pihak lawan, lebih baik introspeksi jika tak mau dijuluki ‘baperan’.
Dengan demikian, apakah sanksi atau ‘taji’ dari PDIP kepada Emil Dardak bisa menjadi senjata makan tuan bagi PDIP? Atau malah mengeroposkan karir politik Dardak yang masih ‘bayi’? Berikan pendapatmu. (Berbagai sumber/A27)