HTI kembali terkunci, tetapi tangan Yusril selalu siap menyongsong. Akankah HTI korbankan ideologinya dan menyambut uluran Yusril dengan masuk PBB?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]engadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memukul mundur HTI, dengan menolak gugatan mereka yang tak terima dianggap sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) berbahaya di Indonesia.
Keputusan itu disambut aksi sujud syukur berjamaah para pendukung HTI, di halaman PTUN. Aksi tersebut adalah ungkapan kekecewaan, alih-alih syukur. Benar saja, Jubir HTI, Ismail Yunanto langsung berkata bila HTI akan terus mengajukan banding atas putusan PTUN. Bagaimana pun, HTI tetap berpendirian bahwa pembubaran organisasinya adalah bentuk kezaliman dan putusannya pun tak berdasar pada alasan yang jelas.
Di tengah respon yang ada, Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) berkata bila pemerintah berpeluang menghadapi kekalahan di Mahkamah Agung (MA). Sejak disorot pertengahan tahun lalu, Yusril memang terlihat berada di sisi HTI. Praktisi hukum ini tak ragu menampilkan dukungan dan pembelaannya.
Di saat yang sama pula, Yusril berkata partainya akan menerima eks anggota HTI. “PBB terbuka pada siapa saja, asalkan bukan PKI dan kalangan penista agama,” jelasnya. Pernyataannya memang lebih mudah dimengerti, bila PBB akan siap menampung suara kekecewaan terhadap pemerintah untuk bergabung bersama PBB.
Ajakan Yusril supaya eks HTI bergabung dengannya, memunculkan pertanyaan tersendiri. Bagaimana eks-HTI ini bergabung dalam organisasi yang berseberangan dengan ideologi mereka?
Ideologi yang dianut oleh HTI, yang paling kentara adalah menolak sistem demokrasi dan segala proses politik yang berada di dalamnya. Mereka menjunjung keberadaan negara dengan sistem kekhalifahan. Walau tak tampil disruptif dalam usaha menunjukkan keberadaan diri maupun ideologi, seperti halnya Front Pembela Islam (FPI), HTI punya pemikiran kebangsaan yang berseberangan dengan Pancasila.
Tak hanya itu, Yusril juga menambahkan bahwa ideologi yang dipegang PBB adalah Kebangsaan Indonesia dan Islam. Walau Burhanuddin Muhtadi dan Edward Aspinall pernah menyelenggarakan penelitian bahwa parpol Indonesia tak memiliki ideologi ‘pasti’, alias semua parpol sama saja, demarkasi antara HTI dan PBB jelas terlihat dalam dukungan kepada Pancasila dan demokrasi.
‘Tabrakan’ ideologi yang terjadi antara PBB dan HTI ini, mengingatkan pada apa yang pernah disampaikan oleh Francois Facchini, profesor politik-ekonomi dari University of Paris. Dirinya mengemukakan teori soal pergeseran ideologi. Menurutnya pergeseran atau perubahan ideologi, seperti halnya yang terjadi dalam lingkup ekonomi, memerlukan ‘cost’ atau biaya untuk melakukan justifikasi, pembenaran, atau meyakinkan orang lain. Bila ‘cost’ berupa massa, material, moral, dan budaya tak mampu dipenuhi, maka kemungkinan pergerseran ideologi terjadi.
Bila HTI terus tertekan dan tak mampu bergerak, pergeseran ideologi untuk ikut berkiprah dalam sistem politik demokrasi bisa saja menjadi pilihan. Peristiwa serupa pernah terjadi pada Partai Al-Nour di Mesir, yakni partainya para Salafi yang sejak awal punya ideologi untuk berjauhan dari politik praktis.
Salafi Mesir, Buat Pemilu Berdesir
Guncangan yang berlangsung di Timur Tengah, tepatnya di Mesir, tahun 2011, melambungkan popularitas kaum Salafi. Mereka mendirikan Partai Al-Nour dan mendapatkan 20 persen suara. Keberadaan mereka bahkan mengalahkan Partai Liberal, partai beraliran komunisme hingga moderat. Keberadaan mereka hanya kalah dari Ikhwanul Muslimin yang punya 40 persen suara dan merupakan partai tertua di Mesir.
Elektabilitas partai kaum Salafi yang tinggi ini, tentu mengundang kehebohan dan tanya, sebab mereka tidak pernah terlibat dalam revolusi menggulingkan rezim Hosni Mobarak. Sebaliknya, kaum Salafi sangatlah loyal kepada rezim otoriter tersebut. Tak hanya itu, di tahun 1984, mereka bahkan mengkafirkan Ikhwanul Muslimin yang akhirnya terjun ke politik praktis. Kaum Salafi memandang, siapa pun yang terlibat perebutan kekuasaan melalui proses demokrasi adalah sikap haram dan tak dibenarkan dalam kacamata mereka.
Tapi sejak 2011, semua berubah 100 persen. Kaum Salafi mendirikan parpol yang seakan ‘merevisi’ sikap mereka yang anti berpolitik praktis dan memilih ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi pasca-revolusi Mesir.
Namun begitu, kaum salafi juga tak berangkat tanpa modal kecil. Mereka memiliki kemampuan membangun komunikasi politik dengan 30 juta warga miskin di pedalaman Mesir. Seperti apa yang ditulis oleh Hazem Abdurrahman dalam Salafiyyun Lakinnahum Harafisy, mereka memiliki punya kekuatan massa dan basis sosial yang kuat.
Seperti yang disebutkan oleh Facchini, kaum salafi Mesir akhirnya berganti ‘haluan’ dengan kekuatan jaringan, massa, dan ideologi untuk tetap bisa bertahan secara platonik (tak terlihat) dalam pemerintahan, seperti halnya posisi yang aman di masa Hosni Mobarak. Dengan kata lain, jika sebelumnya menghindari politik praktis, kini kaum Salafi sudah berubah menjadi pragmatis.
Tetapi sekali lagi, suara dukungan yang tinggi pada kaum Salafi ini, tak dibentuk dalam waktu semalam saja, tetapi sudah bertahun-tahun sebelumnya. Mereka aktif dalam kegiatan filantropi dan kerja-kerja kemanusiaan di kalangan fakir miskin. Saat Pemerintah Mesir tak mampu melindungi fakir miskin, kaum Salafi tak hanya hadir dengan ideologi tetapi juga pertolongan. Ini yang membuat basis massa Partai Al-Nour kemudian keluar sebagai salah satu yang terkuat.
Walau sudah berganti haluan dalam tataran praktek, kaum Salafi tetap berpegang pada ideologi puritanisme Islam. Mereka masih punya intensi untuk membentuk formalisasi syariat. Bagi mereka mendirikan pemerintahan Islam masih menjadi sebuah keniscayaan, yang ditandai dengan kewajiban berjilbab, larangan minum alkohol, segregasi laki-laki dan perempuan di ruang publik, hukum pidana Islam, dan lain-lain.
Sekilas, ideologi politik yang dijunjung oleh kaum Salafi Mesir (sebelum 2011) selaras dengan HTI. Selain menolak terjun ke dalam politik praktis (demokrasi), HTI sendiri juga memiliki ‘cita-cita’ untuk mendirikan negara dengan sistem syariat Islam. Tetapi, kaum Salafi dan HTI juga tak bisa disamakan, sebab dalam sejarahnya dua kelompok ini pernah terlibat cekcok dan saling serang.
Namun begitu, bila melihat contoh dari Mesir, apakah dengan ajakan Yusril agar eks HTI bergabung bersama dalam PBB, bisa menjadi sebuah ‘cost’ yang patut diambil untuk melanggengkan ideologi dan eksistensinya?
Tabrakan atau Pembauran Ideologi?
Yusril kerap menyebut PBB sebagai partai yang paling dekat mewarisi ideologi Partai Masyumi, partai berbasis Islam yang dibubarkan tahun 1960. Kedekatan yang dimaksud oleh Yusril adalah ‘basis Islam’ yang menjadi landasan partai, bukan gerakan apalagi mobilitas intelektual yang saat itu sempat membuat Pemerintah Soekarno ‘gerah’. Ukuran ‘basis Islam’ ini juga menjadi tolok ukur saat menyebut bahwa pembubaran yang terjadi pada HTI mirip dengan Partai Masyumi.
Sebagai partai yang mewarisi pemikiran Masyumi, PBB tegas menolak dan tidak akan berkompromi dengan Komunisme. Ini adalah pendirian kami!
— Yusril Ihza Mahendra (@Yusrilihza_Mhd) August 22, 2017
‘Basis Islam’ memang menjadi kesamaan yang mudah diterima oleh dua kelompok yang sebetulnya berseberangan ini. Elemen kultural itu pula yang menjadi ‘cost’ bagi HTI untuk meyakinkan masyarakat soal ideologi yang dibawanya.
Tetapi bila hendak meneropong lebih jauh, bergabungnya eks HTI ke dalam PBB sepertinya akan terbuka lebar. Hal ini sudah diamini sendiri oleh Jubir HTI Ismail Yusanto, bila HTI memang mengincar kursi di parlemen sehingga mendukung PBB. Dukungan lain yang diberikan oleh HTI kepada PBB, juga berupa materi. Aroma simbiosis mutualisme pun makin tercium, saat Sekjen PBB Afriansyah Ferry Noor mengamini, bahwa para anggota eks-HTI menambah kekuatan suara PBB dalam Pemilu 2019.
Dengan demikian, ideologi anti Pancasila dan demokrasi yang ‘bertabrakan’ antara PBB dan HTI, hanya menunggu waktu saja untuk membaur. Seperti halnya Partai Al-Nour milik Salafi Mesir, mereka masih memegang ideologi puratinisme Islam, tetapi secara praktik akhirnya terjun ke dalam sistem politik demokratis. Hasilnya pun tak pahit, mereka keluar menjadi kedua terkuat.
Bila HTI menempuh cara yang sama seperti Partai Al-Nour dengan memasuki PBB, memang tak akan ada jaminan kesukseskan yang sama. Basis sosial yang terdiri dari jutaan rakyat, yang digenggam Salafi Mesir, belum dimiliki oleh HTI. PBB juga bukanlah partai populer dengan elektabilitas tinggi saat ini.
Walau begitu, terjunnya eks HTI ke PBB, pada akhirnya tak hanya menggambarkan pergeseran taktik ideologi, tetapi juga pencarian alternatif untuk tetap ‘eksis’. Seperti yang diungkapkan oleh kritikus budaya, Terry Eaggleton, ideologi pada akhirnya bagikan mitos bagi kehidupan post-modern, tetapi ideologi tersebut menjadi realitas yang menawarkan ambiguitas sekaligus alternatif. (A27)