Site icon PinterPolitik.com

Susi vs Luhut Berebut Kuasa Laut

Susi vs Luhut Berebut Kuasa Laut

Presiden Jokowi diapit oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan. (Foto: istimewa)

Silang pendapat yang terjadi antara Menteri Luhut dan Menteri Susi memasuki babak baru. Kini, perbedaan pandangan terkait penghentian aksi penenggelaman kapal itu menyeret nama Presiden Jokowi dan Wapres JK.


PinterPolitik.com

“Tuhan itu luar biasa adil dan akbar. Ikan di laut tidak usah kita kasih makan. Kita hanya biarkan dan kita jaga serta ambil dengan cara tidak semena-mena. Keserakahan kita harus hentikan.”

– Susi Pudjiastuti –

[dropcap]R[/dropcap]iuh ribut perbedaan pandangan antara Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait aksi penenggelaman kapal, memang berhasil tertutupi oleh ramainya surat gugatan cerai Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadap istrinya, Veronika Tan.

Ditambah lagi dengan cabut-pasang calon untuk Pilkada Serentak tahun ini, membuat persinggungan di kabinet kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) seolah tidak punya nilai berita. Padahal, persoalan ini menyangkut hal yang sangat penting, yakni terkait dua pertiga wilayah Indonesia, yaitu lautan.

Permasalahan berawal dari Luhut yang meminta Susi untuk menghentikan aksi penenggelaman kapal di tahun ini. Menurut mantan Asisten Operasi (Asops) Kopassus itu, kapal-kapal yang melakukan illegal fishing dan melanggar kedaulatan laut Indonesia sebaiknya tidak ditenggelamkan, tetapi disita dan dijadikan sebagai aset negara saja.

Ia beralasan, Indonesia butuh kapal. Jadi mengapa tidak menggunakan kapal-kapal yang tertangkap dan nganggur  tersebut untuk menutupi kebutuhan perkapalan yang ada? Selain itu, Luhut juga meminta Susi untuk fokus pada peningkatan ekspor perikanan ke berbagai negara ketimbang mengurusi penenggelaman kapal.

Situasi makin menarik karena komentar Luhut ini diamini oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) – tokoh yang sebetulnya sering berseberangan dengan Luhut. Pria yang juga dikenal dengan nama Daeng Ucu ini berpendapat, penenggelaman kapal selayaknya dihentikan. Ia mengatakan kalau banyak negara telah memprotes kebijakan tersebut. JK bahkan mengungkapkan kalau penenggelaman kapal – apalagi dengan cara dibom – tidak ada dalam Undang-Undang.

Bara panas persinggungan pendapat memuncak, ketika Presiden Jokowi justru memuji kinerja dan aksi penenggelaman kapal yang dilakukan oleh Susi. Dalam kesempatan pertemuan dengan kelompok relawan Bara JP di Rote, NTT, Jokowi menyebut kalau kerja Susi membuat banyak orang takut.

Jokowi menyatakan aksi Susi ini ikut menjaga kedaulatan negara. Ia juga sepakat bahwa ekspor harus menjadi fokus, tetapi penenggelaman kapal jangan diabaikan karena merupakan law enforcement atau penegakan hukum di wilayah laut Indonesia.

Melihat adanya perbedaan pandangan dalam kasus ini, tentu publik bertanya-tanya, ada apa dengan kebijakan penenggalaman kapal Susi? Mengapa JK menolak, tetapi Jokowi memuji?

Ada Apa Dengan Kelautan?

Dengan total luas 3,5 juta km persegi, laut adalah bagian terbesar dari negara ini. Jika demikian, seberapa signifikan sumbangsih sektor laut terhadap perekonomian?

Potensi ekonomi di sektor kelautan memang sangat besar. Jokowi pernah mengatakan bahwa jika dikelola dengan baik, laut berpotensi menyumbang Rp 15.600 triliun per tahun – jumlah yang jauh lebih besar dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2016 yang hanya menyentuh angka Rp 12.500-an triliun. (Baca: ‘Ekonomi Biru Jokowi Masih Mimpi?)

Jokowi juga mengatakan, sektor ini diperkirakan mampu menyedot 40 juta tenaga kerja – jumlah serapan tenaga kerja yang sangat besar tentunya.

Tetapi, bagaimana faktanya? Jika berkaca pada data PDB Indonesia di tahun 2016, sumbangan sektor kelautan dan perikanan misalnya, hanya 2,5 persen terhadap PDB nasional atau sekitar Rp 312 triliun per tahun. Jumlah ini meningkat hanya 0,1 persen jika dibandingkan dengan angkanya di tahun 2015.

Angka tersebut tentu berbanding terbalik dengan bagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan dipersepsikan oleh masyarakat. Ini tentu kontras dengan aksi ‘koboi’ Susi menenggelamkan kapal yang telah mengundang perhatian, bukan hanya di dalam negeri saja tetapi hingga ke dunia internasional.

Artinya, selama 3 tahun pemerintahan Jokowi dengan 363 kapal yang ditenggelamkan dan begitu bombastisnya pemberitaan tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan, apakah sumbangan 2,5 persen terhadap PDB adalah hal yang sepadan? Mungkin inilah yang menjadi salah satu alasan Luhut dan JK meminta Susi tidak lagi menenggelamkan kapal. Tetapi, apakah hanya itu?

Nyatanya, sekalipun perbandingan terhadap PDB masih jomplang, nilai eskpor hasil perikanan Indonesia ke berbagai negara tujuan utama, meningkat di tahun 2016. Ke Amerika Serikat misalnya, ekspor perikanan Indonesia naik 11 persen, sedang Tiongkok 14,5 persen dan Uni Eropa naik 4,2 persen. Penurunan ekspor hanya terjadi untuk tujuan Jepang, yakni sebesar 7,7 persen.

Dengan demikian, walaupun sumbangsih terhadap PDB masih kecil, namun sektor ekspor perikanan mengalami peningkatan yang cukup baik. Ini berarti Susi tentu saja tidak sekedar main ‘koboi-koboian’.

Fakta adanya benturan pendapat antar menteri ini tentu menimbulkan tanda tanya. Mengapa Wapres JK justru terlihat berseberangan dengan kebijakan Susi Pudjiastuti? Padahal jika dilihat dari Undang-Undangnya, jelas ada aturan bahwa penenggelaman kapal berbendera asing adalah tindakan penegakan hukum yang sah.

UU Nomor 45 tahun 2009 pasal 69 ayat 4 secara tegas menyebutkan bahwa penenggelaman kapal berbendera asing yang melanggar wilayah Indonesia, adalah sanksi yang sah.

Hal inilah yang membuat Susi merasa punya legitimasi untuk tindakannya tersebut. Menurut Susi, jika ada yang berkeberatan atau merasa itu tidak pantas, pihak-pihak tersebut harus membuat usulan kepada presiden untuk memerintahkan menterinya mengubah UU tersebut.

Melihat sikap Jokowi yang justru ada di belakang dan mendukung Susi, sulit untuk membayangkan menteri yang bertato di kaki ini mundur dari persinggungan pendapat dengan Luhut dan JK. Susi adalah tipikal pemimpin yang keras dan tidak kenal takut. Ia jelas akan memperjuangkan program-program yang telah direncanakannya dan telah disetujui oleh presiden.

Kepentingan Politik atau Bisnis?

Jika ditelusuri ke belakang, JK sebagai wapres, cukup sering bersinggungan dengan Menteri Susi. Pada pertengahan 2016, JK sempat mengirim surat memprotes kebijakan Susi terkait moratorium, pengaturan sertifikasi kapal, dan larangan transshipment. JK menyebut aturan tersebut menyebabkan penurunan penangkapan ikan di beberapa tempat.

Padahal, aturan transshipment atau bongkar pasang muatan di tengah laut memang sangat penting demi mencegah terjadinya penyelundupan barang dan ekspor ilegal. Selain itu, aksi ini juga melibatkan BBM bersubsidi yang diperdagangkan di tengah laut, dan tentu saja mendatangkan kerugian bagi negara.

Atas surat JK tersebut, ia dikritik oleh Fadli Zon. Wakil Ketua DPR ini mengatakan, bagaimana mungkin komunikasi dalam kabinet dilakukan via surat menyurat. Dengan demikian, boleh jadi suara JK dan Luhut mewakili kelompok yang ‘terganggu’ kepentingannya atas aksi-aksi Susi. Tetapi kepentingan siapa?

Bisa jadi pihak-pihak tersebut adalah negara-negara tetangga yang kerap mengambil ikan dari Indonesia, para pebisnis di sektor perikanan yang merugi, ataupun bisnis perkapalan yang merugi karena kapalnya terus-terusan ditenggelamkan. Jangan salah, harga satu kapal berkapasitas 200-300 gross tonnage (GT) kisarannya ada di atas Rp 10 miliar.

Selain itu, kebijakan Susi membentuk Satgas 115 untuk mengawasi kejahatan perikanan nyatanya membuat wilayah laut Indonesia semakin ketat diawasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan kini punya wewenang yang besar untuk mengawasi, bukan hanya persoalan pencurian ikan saja, tetapi juga arus transportasi di laut. Artinya, kini semakin banyak ‘mata’ yang mengawasi laut.

Secara politik, Jokowi juga akhirnya memiliki lebih banyak ‘informasi’ tentang segala sesuatu yang terjadi di laut. Jelas ada pertaruhan kepentingan di dalam kabinet Jokowi terkait kasus ini.

Kepentingan ini juga sangat mungkin melibatkan ‘mafia’ di sektor tersebut. Aktivitasnya boleh jadi tidak hanya melibatkan persoalan komoditas perikanan saja, tetapi perdagangan ilegal, dan lain sebagainya. Hal serupa juga diakui langsung oleh Susi.

Pertentangan dalam kasus ini jelas menjadi penanda bahwa sektor kelautan punya pertautan kepentingan yang sangat besar. Laut menjadi lalu lintas tranportasi barang, penumpang, minyak, gas, komoditas ekspor-impor, dan lain sebagainya.

Bukan tanpa alasan nama Susi menjadi begitu terkenal di dunia. Ia dianggap bukan hanya berani melawan pencurian ikan saja, tetapi juga mengamankan sektor laut Indonesia yang untuk beberapa lama selalu ‘kebobolan’ oleh aksi kejahatan dan penyelundupan.

Jika demikian, apakah berarti ada muara bisnis dan politik dalam kasus ini? Bisa jadi. Apalagi memasuki tahun politik di 2018 dan 2019, pertautan kepentingan yang melibatkan oligarki, elit partai hingga kalangan pengusaha, dan konglomerasi memang membuat pertentangan semacam ini terjadi.

Pada akhirnya, seperti kata Susi di awal tulisan ini, manusia memang tidak boleh ‘serakah’ di laut. Jadi, jika ada yang menentang kebijakan ini, maka mungkin sebaiknya ditinggelamkan saja ya, Bu Susi? (S13)

Exit mobile version