Terjeratnya Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo dalam kasus korupsi turut melambungkan popularitas pendahulunya Susi Pudjiastuti yang memang vokal menentang kebijakan ekspor benih lobster. Netizen pun ramai menyerukan agar Susi kembali menjabat sebagai MenKP. Akankah seruan warganet itu didengarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi)?
Berita Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo menyita atensi publik dengan begitu masif. Bagaimana tidak? Kabar ini memang sangat mengejutkan bagi aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
Bagi KPK ini merupakan ‘tangkapan besar’. Kasus ini sepertinya juga bisa menyelamatkan ‘muka’ KPK yang akhir-akhir ini kerap menuai sentimen minor karena terlalu sibuk mengurusi dapurnya sendiri.
Bagi pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi), penangkapan Edhy merupakan tamparan telak karena menjadi menteri pertama yang dicokok Komisi Anti Rasuah di periode keduanya. Padahal larangan korupsi merupakan pesan pertama yang ditegaskannya ketika memperkenalkan jajaran kabinet barunya setahun yang lalu.
Namun di balik itu semua, ada fenomena menarik yang juga turut menyertai dinamika penangkapan Edhy, yakni kembali mencuatnya nama eks MenKP sebelumnya, Susi Pudjiastuti.
Sejak melepas jabatannya sebagai menteri, Susi memang menjadi pihak yang paling vokal menentang rencana kebijakan ekspor benih lobster. Bahkan hingga sehari sebelum penangkapan Edhy, Susi sempat melemparkan kritiknya lewat sebuah berita yang Ia posting ulang di akun Twitter pribadinya.
Gaya Susi yang ceplas-ceplos dan tak segan berkonfrontasi dengan siapapun memang membuat masyarakat tak bisa begitu saja melupakan sosoknya. Saking populernya, publik kini mendorongya untuk kembali menjabat sebagai MenKP.
Lantas, dengan mempertimbangkan begitu masifnya desakan tersebut, apakah Presiden Jokowi akan kembali menempatkan Susi ke dalam jajaran kabinetnya?
Popularitas Susi
Sejak diangkat sebagai MenKP di periode pertama Jokowi, sosok Susi memang sudah menyita perhatian publik.
Selain berasal dari lingkaran luar kekuasaan, identitasnya sebagai seorang perempuan dengan keterbatasan pendidikan yang dimilikinya, bisa dianggap telah mendobrak standar seorang menteri yang banyak dibayangkan selama ini. Ditambah, kepribadiannya yang terus terang, apa adanya, dan kerap mengambil kebijakan yang dinilai ‘berani’ semakin membuat sosoknya tak bisa dipisahkan dari sorot media massa.
Sebuah survei yang dilakukan pada 2015 lalu bahkan menyebut Susi merupakan menteri Kabinet Kerja yang paling banyak diberitakan media kala itu. Ini secara tak langsung membuat setiap kebijakan yang diambilnya tersampaikan dengan baik kepada publik.
Selain karena sorot media, konsultan komunikasi publik, M Bahrul Wijaksana juga menilai sikap anti-elite yang ditunjukkan Susi juga berkontribusi besar terhadap popularitasnya di mata publik. Bahrul melihat pemilihan Susi sebagai menteri seperti sebuah ‘olok-olok’ terhadap sistem rekruitmen politik yang selama ini menampilkan aspek-aspek elitis berbasis partai politik, dunia akademis dan para pesohor.
Ia juga tak menutup kemungkinan bahwa sosok Susi sebenarnya merupakan bagian dari pencitraan pemerintahan Jokowi, sekalipun sifat yang Ia tunjukkan kepada publik memang tidak dibuat-buat.
Kendati sudah tak lagi menjabat sebagai menteri, Susi nyatanya tetap menjaga komunikasinya dengan masyarakat, terutama lewat media sosial Twitter.
Selain itu, sikapnya yang dalam beberapa kesempatan kerap menyiratkan kritik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti penanganan pandemi Covid-19 dan pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker), tentu memiliki dampak positif terhadap citranya. Apalagi kini pemerintah tengah dilanda sentimen minor publik akibat sejumlah kebijakan anti-populis yang dikeluarkan Presiden Jokowi.
Tommy Moller dalam bukunya yang berjudul Political Party Dynamics and Democracy in Sweden mengatakan bahwa terdapat nilai positif dari sikap oportunistik dalam perkembangan dinamika demokrasi. Nilai positif itu didapatkan dari fleksibilitas untuk dapat selaras dengan apa yang publik inginkan. Ia menyebut konsep ini sebagai tactical advantage.
Pada konteks ini, Susi agaknya memahami bahwa posisinya yang sudah tak lagi menjabat sebagai penyelenggara negara membuatnya semakin fleksibel dalam membuat pernyataan. Ia kemudian memanfaatkan fleksibilitas ini untuk ikut meresonansi kritik terhadap pemerintah yang memang tengah menjadi bulan-bulanan publik. Lewat cara ini lah kiranya popularitas Susi tetap terjaga kendati dirinya sudah tak lagi memiliki jabatan di pemerintahan.
Lantas apakah dorongan publik dan modal popularitas yang dimilikinya mampu membuat Presiden Jokowi kembali melirik Susi sebagai kandidat kuat pengganti Edhy Prabowo?
Uncompromised Susi
Kendati mampu membuatnya dicintai oleh publik, namun tak dapat dipungkiri sikap keras dan anti-elite Susi agaknya memiliki backlash tersendiri bagi dirinya. Bahkan sikapnya itu disebut-sebut menjadi alasan mengapa dirinya tak lagi ditunjuk sebagai menteri di periode kedua Jokowi.
Fabio Scarpello dalam tulisannya di The Conversation mengatakan bahwa hengkangnya Susi dari kabinet kedua Jokowi disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam membangun koalisi untuk mendukung visi dan tindakannya.
Sebaliknya Susi justru menghabiskan fokusnya untuk menjalin hubungan langsung dengan masyarakat dengan mengeksploitasi citranya sebagai sosok perempuan dalam dunia laki-laki, ibu yang putus sekolah yang akhirnya berhasil, pebisnis yang sukses, serta menteri yang berbicara terus terang dan tanpa kompromi.
Persona yang tidak biasa dan jauh dari gambaran seorang pejabat tinggi di Indonesia tersebut memang sangat disukai oleh masyarakat umum, namun berkontribusi pada pengasingannya di dalam dan luar kementerian.
Selain membuat dirinya terasing, gaya kepemimpinannya yang keras dan anti-kompromi itu nyatanya juga kerap menimbulkan polemik tersendiri. Hal ini diakui sendiri oleh Susi yang mengaku lebih memilih mengikuti prinsip yang dianggapnya benar daripada mengikuti apa kata atasan, sekalipun itu dianggap keras kepala.
Sikap ini lah yang sepertinya menjadi penyebab dirinya pernah bersitegang dengan atasannya sendiri, yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan.
Amy Gutmann dan Dennis Thompson dalam tulisan mereka yang berjudul The Mindsets of Political Compromise mengatakan bahwa sikap anti-kompromi, seperti yang ditunjukkan Susi, memang menguntungkan dalam kampanye politik, namun tidak tepat jika diterapkan dalam pemerintahan.
Hal ini dikarenakan sikap anti-kompromi dapat menghalangi perubahan yang diperlukan. Selain itu sikap tersebut juga berpotensi menghalangi seorang politikus dalam mengenali peluang yang diinginkan ataupun risiko yang ingin dihindari.
Dengan memperhatikan hal tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa kans Susi untuk menjabat kembali sebagai MenKP memang kecil. Selain karena kepribadiannya yang kerap menimbulkan polemik, sikap Presiden Jokowi yang kini cenderung tak lagi mempertimbangkan opini publik dalam pengambilan kebijakan juga semakin menutup peluang Susi untuk comeback ke kabinet.
Lantas jika bukan Susi, siapa kira-kira sosok yang akan dipilih Presiden Jokowi untuk menggantikan Edhy Prabowo?
Kompromi Jokowi?
Perkara rasuah yang menjerat MenKP Edhy Prabowo dinilai sejumlah pihak menghadapkan Jokowi dengan sebuah ujian. Ujian yang dimaksud adalah pemilihan pengganti Edhy yang sudah menyatakan akan mundur dari kabinet.
Pengamat Politik dan Hukum Ketatanegaraan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Agus Riewanto memprediksi bahwa Jokowi akan kembali menunjuk politikus Gerindra untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Edhy. Hal ini mengacu pada komposisi menteri dalam kabinet yang cenderung kompromistis, daripada profesional.
Jika benar demikian, maka setidaknya dua nama yang kiranya berpotensi kuat menggantikan Edhy adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Fadli Zon, atau Sandiaga Uno.
Kans Fadli cukup besar dikarenakan kedekatannya dengan Prabowo. Ia bahkan disebut-sebut pernah direkomendasikan untuk menjadi menteri oleh Sang Ketua Umum.
Di sisi lain, Sandiaga Uno juga memiliki modal politik yang mumpuni. Selain pernah berduet dengan Prabowo di Pilpres 2019 lalu, Sandi juga merupakan sosok pengusaha yang sempat dielu-elukan oleh Jokowi akan menjadi calon kuat di Pilpres 2024 mendatang.
Di luar dari politikus Gerindra, ada sejumlah nama yang kiranya bisa jadi pertimbangan Presiden Jokowi untuk menjadi pengganti Edhy, seperti nama Gellwynn Yusuf yang merupakan kalangan profesional dan pejabat senior di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Meski pernah dicopot Susi, namun track record Gellywnn di KKP cukup panjang. Ia tercatat pernah menjabat Dirjen Perikanan Tangkap di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhyono.
Kendati demikian, jika kita melihat kebiasaan Jokowi, sepertinya posisi MenKP memang masih akan dijabat oleh politikus Gerindra. Ini berkaca dari pengalaman ketika KPK menetapkan Idrus Mahram sebagai tersangka kasus korupsi, Jokowi kala itu memilih Agus Gumiwang Kartasasmita yang juga masih merupakan politikus Partai Golkar untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Idrus.
Dengan demikian, dugaan Agus Riewanto bahwa Jokowi akan kembali berkompromi dalam menetapkan pengganti Edhy Prabowo bisa saja benar adanya.
Bagaimana pun, keputusan untuk pengangkatan menteri memang merupakan hak prerogatif Presiden. Namun yang jelas, siapapun nantinya yang akan ditunjuk oleh Jokowi harus mampu mengembalikan marwah dan kepercayaan terhadap KKP yang kini tengah menjadi sorotan publik. Menarik untuk dinantikan kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut